Percakapan ringan antara ibu dan anak itu terhenti saat Kinar menyela. Berdiri tepat di depan keduanya sambil menunduk.
“Ma, Mas, makanan sudah dipanaskan,” ucap Kinar. Berdiri kaku dan gugup di sana, mencuri tatap pada laki-laki matang yang bahkan tidak melirik sedikit pun padanya.
Hanya Ibu Citra yang menyambutnya dengan seulas senyum hangat.
“Ayo, Sayang,” ajak Bu Citra menarik tangan Pram yang berdiri dengan malas-malasan menuju meja makan.
Kinar mengekor di belakang, hanya sanggup menatap punggung kekar itu, tanpa bisa menyentuh.
“Kinar memasak semua untukmu,” jelas Ibu Citra tersenyum menatap Kinar yang berdiri di sampingnya. Dengan sudut mata, sang mama memberi kode pada calon menantunya untuk duduk tepat di sisi Pram.
Kinar menurut, dengan ragu menarik kursi di samping Pram.
“Mas, selamat ulang tahun, ya,” ucap Kinar pelan, menatap wajah Pram yang sedang menunduk.
“Dia masih setampan dulu. Saat pertama kali aku melihatnya di depan pintu rumah,” batin Kinar.
Hampir 3,5 tahun kepindahan mereka ke Jakarta, laki-laki ini tetap tidak tersentuh. Tidak jarang, ia menebar jerat di setiap temu, tetapi tidak satu pun berbuah hasil. Pram adalah sesuatu yang sulit dijangkau. Dalam mimpi pun rasanya mustahil. Laki-laki itu membentengi dirinya sebegitu rapat. Bahkan sang mama kandung saja sudah hampir putus asa.
Banyak kecewa yang harus ditelannya, sebuah senyuman tulus saja terasa langka untuknya. Terkadang ingin rasanya menyerah, berhenti menunggu. Namun, sang mama memupuk kembali semangat dan harapan di dalam dirinya.
Ya, Kinar juga memanggil Mama, sama seperti Pram atas permintaan khusus dari Ibu Citra.
“Cepat lambat kamu akan menjadi menantuku. Memanggil sekarang atau nanti sama saja.”
Kata-kata yang diucapkan Ibu Citra padanya kala itu. Membuatnya terpacu untuk menjadi wanita Pram. Wanita dari laki-laki yang hampir sempurna. Kaya, tampan dan bertanggung jawab. Apalagi Pram penyayang keluarga. Lamunan Kinar terhenti saat Ibu Citra mengeluarkan suara.
“Pram, Kinar mengucapkan selamat untukmu,” ucap Ibu Citra, setelah menunggu reaksi Pram. Putranya tidak menanggapi ucapan Kinar sama sekali.
“Hm ... thanks,” sahut Pram menatap piring keramik yang masih telungkup di hadapannya.
“Bicara pun tidak mau menatapku. Sekali menatap, hanya melotot saja penuh amarah,” ucap Kinar dalam hati.
“Pram, menginaplah di sini malam ini,” pinta Ibu Citra, menatap sedih ke arah gadis yang menunduk di sisi Pram. Kinar sedang memainkan serbet putih di tangan kanannya.
“Maaf, aku tidak bisa, Ma,” tolak Pram, mengangkat pandangannya.
“Selalu saja. Apa susahnya Pram,” keluh sang mama. Hampir menyerah pada putra satu-satunya. Takdir mempertemukan mereka kembali, setelah terpisah hampir 40 tahun lamanya.
“Aku punya rumah, punya keluarga sendiri,” sahut Pram, membentang piring di atas meja, bersiap meraih centong nasi.
“Pram ....” Ibu Citra memohon.
“Ma, posisi kita masih sama-sama di Jakarta. Aku akan pulang setelah mama tertidur,” sahut Pram lagi.
Pandangan Ibu Citra beralih ke tangan Pram. Senyum terukir di bibir dengan niat terselubung di hatinya. Ia akan memberi kesempatan Kinar menunjukkan kelayakannya sebagai seorang istri, supaya Pram tidak meragu lagi.
“Kinar, tolong siapkan untuk Pram,” perintah Ibu Citra, saat melihat Pram bermaksud mengisi nasi ke dalam piringnya.
“Maaf, Mas,” ucap Kinar, mengambil alih centong nasi dari tangan Pram. Tangannya sempat menyentuh tangan Pram. Hanya dengan begitu saja, jantungnya sudah berdegup kencang, berdetak tidak karuan.
Pram langsung melepas, pandangannya menyorot tajam pada Kinar. Ia merelakan Kinar menguasai piringnya, mengisi nasi lengkap dengan lauk.
Sesekali perempuan itu bertanya padanya. Sambil tersenyum menunggu jawaban Pram.
“Mas, mau pakai ayam goreng?”
“Mas, mau saya ambilkan udang saos padangnya?”
“Mas, mau sapi lada hitam?”
“Mas, supnya aku pisah di mangkuk, ya?” tanya Kinar dengan nada manja dan penuh kelembutan.
Pram semakin kesal, bangkit dan mendorong kursinya ke belakang.
“Apa saja. Dia tidak cerewet dengan makanan,” sahut Pram, membingungkan kedua wanita di meja makan. Saling berpandangan dengan wajah keheranan.
“Bay!Bay!” teriak Pram. Memanggil sang asisten, supaya segera mendekat.
Bayu sedang menikmati secangkir kopi di ruang tamu. Tangannya pun tengah sibuk mengusap layar ponselnya, saat teriakan Pram terdengar dari ruang makan.
“Ya, Bos,” sahut Bayu, terengah-engah. Buru-buru dengan setengah berlari, menghampiri sang majikan.
“Duduk!” perintah Pram, menarik kursi yang tadi di tempatinya. Memberi isyarat untuk Bayu mengambil alih kursi miliknya, berikut makanan yang tadi disiapkan Kinar untuknya.
“Tapi Bos ....” Bayu ragu, melangkah maju dengan raut kebingungan.
Menatap Ibu Citra yang melotot padanya. Pandangan beralih pada Pram, tidak kalah menyeramkan. Bola mata Pram hampir jatuh keluar.
“Memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Cara melototnya saja bisa sama persis begini,” ucap Bayu dalam hati.
“Bay!" panggil Pram, masih sekeras sebelumnya.
“Duduk di sini! Aku akan memberimu bonus. Sanggup menghabiskan makanan itu, dobel bonus di akhir bulan,” jelas Pram tersenyum, telunjuknya mengarah pada sepiring nasi lengkap dengan lauk yang sudah disiapkan Kinar untuknya.
“Pram, kelewatan kamu. Hargai Kinar!” ucap Ibu Citra, keras.
“Hargai aku dulu!” jawab Pram, tidak kalah tegasnya.
“Bahkan pembantu di rumahku saja, tidak selancang ini. Mengambil alih tugas dan hak istriku.”
“Walau aku membayar mereka mahal untuk melayaniku. Mereka cukup tahu diri,” lanjut Pram
“Bos, tenang. Aku akan menuruti perintahmu,” bisik Bayu berusaha menengahi. Memilih duduk dan menikmati makanan yang sudah lengkap di hadapannya. Berharap Pram tenang dan tidak melanjutkan perang dengan ibu kandungnya sendiri.
Bayu tahu, Pram sangat mencintai ibunya. Rasa cinta yang sama juga untuk istrinya. Pram mencintai keduanya.
Ibu Citra menunduk terisak. Sedih, kecewa dan bercampur malu.
“Maafkan aku. Aku salah membentak Mama di depan semua orang. Maaf, aku tidak sengaja melakukannya,” ucap Pram setelah melihat mamanya menangis.
Terlihat ia berjongkok di sisi Ibu Citra. Meraih tisu dan menghapus air mata yang mengalir karena perbuatannya.
Pram tahu, tidak seharusnya mengeraskan suara di depan mamanya, terlebih ada orang lain di depan mereka.
“Bay, Kinar, bisa tinggalkan kami,” pinta Pram.
Tanpa bicara, keduanya memilih menyingkir, membiarkan ibu dan anak itu menyelesaikan masalahnya. Masalah yang sama setiap keduanya bertemu. Tidak ada yang mau mengalah. Bahkan Bayu dan Kinar, sudah hafal benar.
“Non Kinar, sebaiknya jangan berharap lebih dari Bos. Aku sudah sering cerita ke Non, Pak Pram sudah punya istri, yang seumur hidup tidak akan ditinggalkannya,” jelas Bayu.
“Aku tidak berharap banyak. Kalau dia melirik sedikit saja padaku, aku tidak masalah berbagi. Ini juga demi Mama,” ucap Kinar pelan.
Itu namanya bukan berbagi. Itu namanya memaksa. Berbagi itu kalau keduanya ikhlas. Kalau hanya Non saja yang mau. Itu merebut. Mau merebut sebagian atau semuanya, tetap saja merebut milik orang lain.”
Kinar tertunduk lemas. Ia sudah terlanjur memupuk harapan lebih pada Pram. Bahkan getar-getar di hatinya tumbuh tepat pada pandangan pertama, saat pertama kali ia melihat sosok Pram. Jauh-jauh hari, sebelum ia tahu Pram sudah menikah.
Kinar tahu semuanya, hanya saja menolak untuk menerima kenyataan. Tepat saat pertama kali Ibu Citra meminta Pram menikahinya, Pram menolak tegas. Dan diam-diam mendatangi Kinar, menjelaskan keberadaan Kailla di dalam hidup sekaligus hatinya
Perempuan itu tidak banyak bicara, walau sakit. Tidak ada tempat untuknya di hati Pram. Ia masih berusaha menerima, sambil berharap keajaiban itu ada. Baginya tidak masalah menjadi yang kedua.
Kata-kata yang terus di tanam di pikiran dan hatinya. Ia sendiri tidak mengetahui banyak tentang Kailla. Ia hanya mengenal namanya saja. Pram tidak mau bercerita banyak tentang istrinya.
Namun, Kinar bukan orang bodoh. Sosok istri yang selama ini disembunyikan Pram, pasti memiliki cacat di depan Ibu Citra. Dan itu adalah senjatanya. Untuk mendapatkan posisi di hidup Pram, walau bukan di hati Pram.
Kinar tahu, melunakkan Pram tidak bisa dengan keras atau memaksa. Ia cukup menonton di pinggir, membiarkan sang mama yang bekerja untuknya.
***
Terima kasih..
Love You All
Masih setia dengan Om Pram dan Kailla kan
Happy Weekend
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 209 Episodes
Comments
Nur Lizza
pusing lht kelakuan ibu pram dn kinar
2022-09-30
0
Sifa Nasrullah
iiisshh..si kinar GK laku yaa..mw rebut misua orng..dsr cewek gatel bnyk ngarep ke misua orng..serasa pngn jambak
2021-12-19
0
I Gusti Ayu Widawati
Kinar ibarat pungguk merindukan bulan.
Jangan begitu ah jadi wanita dak punya harga diri.
Bu Citra 40 thn dak ketemua anak ,baru ketemu kok mau dominan sih pakai maksa2, mukul2, apa dak kangen begitu,bersyukur baru ketemu sekian lama.
2021-11-26
0