.
"Bagaimana kalau disini ditambahkan brokat?" Rani mengarahkan telunjuknya pada bagian dada gaun yang ia rancang.
Saat ini ia sedang melayani seorang pelanggan wanita yang akan memesan gaun wisuda.
"Hmm,, boleh juga sih mbak. Tapi sampai bahu aja ya mbak. Yang lengannya saya mau bahan polos aja." Kata gadis itu yang diketahui bernama Dewi.
"Baik, lengannya gimana? Maunya yang payung atau biasa aja?" Tanya Rania lagi.
"Kayanya payung aja deh. Tapi, kalau menurut mbak Nia, mana yang bagus?"
"Kalau aku sih dua-duanya oke. Tapi, lebih ke yang payung aja ya. Biar gak terlalu polos." Rania kemudian tersenyum.
"Oke. Aku setuju."
"Jadi, sekarang silahkan ukur di sebelah sana ya." Kata Rania sambil menunjukkan tempat Dini berdiri.
"Iya mbak."
Rania menghela napas. Jujur saja, kepalanya terasa berat saat ini. Namun, ia tak mau larut dengan perasaannya.
Ia pun menghampiri Yanti yang sedang memasang manik-manik pada sebuah gaun penngantin.
"Hufftt...Yan." panggilnya membuat Ayanti menghentikan aktivitasnya sesaat.
"Hmm." Respon gadis itu.
"Bosan." Satu kata itu berhasil membuat Ayanti berbalik dan menaruh jarum jahitnya di meja.
"Sabar. Namanya juga hidup." Ujarnya menatap sahabatnya itu.
Terlihat jelas mata Rania yang sedikit sembab. Hal itu membuat Ayanti menepuk pelan bahu gadis itu, mencoba menyalurkan kekuatan dengan memberi rangkulan untuknya.
Setidaknya ia telah memberikan semangat kepada sahabatnya itu. Si gadis tegar dan kuat yang sudah berteman dengannya selama kurang lebih 14 tahun itu.
"Aku harus gimana, Yan?" Tanya Rania putus asa.
"Gini ya. Aku takut salah ngomong, Ran. Oke aku kasih saran. Kamu sabar aja. Sekarang apa yang hati kamu mau, itu yang harus kamu lakukan." Yanti terdiam sebentar.
"Kalau kamu ngerasa masih bisa nunggu, kamu tunggu. Tapi, kalau kamu gak bisa, kamu ngerasa gak kuat,,, lupain, kita akan selalu ada buat kamu, Ran. Karena kita sayang sama kamu." Jelas Ayanti tulus.
Rania terharu mendengar perkataan Ayanti. Ia pun memeluk sahabatnya itu.
"Kita gak mungkin bakal ninggalin kamu disaat kamu lagi terpuruk begini." Lanjut Yanti sambil mengelus sayang bahu Rania.
"Makasih, Yan. Kamu memang sahabat terbaik aku. Kalian terbaik." Kata Rania sedikit terisak.
"Hah, malah jadi melow gini." Goda Yanti yang kemudian terkekeh.
"Ya udah. Gak usah berlarut sedihnya. Gak baik loh. Ingat, Allah ada selalu bersama kita. Allah tau mana yang terbaik untuk hambanya." Kata Yanti membuat Rania tersenyum haru.
"Aku lanjut lagi ya. Buat besok ini." Kata Ayanti tersenyum yang kembali diangguki Rania.
Yanti kembali melanjutkan tugasnya. Sedangkan, Rania masih duduk disana. Karena sekarang sudah tidak terlalu ramai, makanya ia dapat bersantai sedikit.
Wanita yang tadi mengukur ukuran badannya bersama Dini terlihat berjalan menghampirinya. Rania langsung melemparkan senyumnya pada gadis itu.
"Gimana, dek? Udah selesai?" Tanya Rania.
"Udah, mbak." Jawab gadis itu. "Oh iya. Aku langsung pamit ya mbak. Masih ada keperluan lain."
"Iya." Jawab Rania.
Ayanti yang menyadari obrolan itu, menoleh dan melemparkan senyumnya saat kebetulan Dewi tersenyum padanya.
"Kalau gitu, aku pamit ya. Makasih, mbak Nia, mbak Yanti. Assalamu'alaikum" pamitnya.
"Wa'alaikumussalam" jawab Rania dan Ayanti hampir bersamaan.
Dini datang dan duduk di kursi di samping Rania. Ia mengambil toples di meja yang berisi cemilan. Gadis itu memang hobi mengunyah. Begitulah ejekan teman-temannya dengan kebiasaan Andini yang suka ngemil.
"Hufft, capek banget. Alhamdulillah ya, rame." Katanya yang kemudian memasukkan cookies itu kemulutnya.
"Alhamdulillah." Jawab Rania.
Ayanti yang melihat Andini hanya menggeleng. Andini pun hanya tersenyum acuh. Ia sudah biasa dengan teman-temannya yang selalu menggodanya.
.
.
"Ian. Gantian gue yang mau curhat." Ujar Adit yang tiba-tiba mnghampiri Gian.
"Apa?" Tanya Gian santai.
"Lo tau kan, Debby?" Gian mengernyit.
"Debby??" Gumam Gian sambil berpikir.
Adit melihat kening Gian berkerut, lalu ia menggeleng.
"Siapa, sih? Gak tau gue, Dit."
"Mantan gue."
Gian hanya beroh ria mendengar penuturan Adit. Mantan.. ia mengangguk kemudian.
"Emang lo punya mantan?" Tanya Adit yang terdengar mengejek.
Adit menatap sinis Gian yang meremehkannya.
"Ya adalah. Emangnya lo."
"Iya iya. Trus kenapa sama mantan lo itu?" Tanya Gian cuek.
"Gue masih sayang, bro. Tapi, gue gak tau mau gimana?" Gian hanya menatap datar sepupunya yang terbilang bijak sekali dalam menasehatinya.
Dan ternyata,,, Adit juga memiliki masalah dengan asmaranya.
Gian hanya diam. Entahlah. Ia bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. Sungguh ia menggeleng dibuatnya setelah mengingat berbagai hal.
Adit yang selalu menasehatinya, memberinya dukungan, memberi masukan, dan bahkan selalu membantunya kini terlihat konyol. Ia tiba-tiba terkekeh sendiri.
"Gak nyangka, ternyata lo juga bernasib sama kaya gue." Gian tertawa.
Adit hanya menatapnya jengkel.
"Eh, sori ya. Kita gak sama. Gue udah pernah ungkapin perasaan gue. Lahh, lo?? Ngomong aja gak berani." Ucapnya balik meremehkan Gian.
Gian dengan muka masam hanya mendelik. Menohok sekali perkataan Adit. Ia pun melempar Adit dengan tutup pulpen di tangannya.
" udah deh. Lo katanya mau curhat. Besok aja. Gue ngantuk. Mau tidur." Kata Adit yang kemudian membereskan barang-barangnya dan berbaring di tempat tidur.
"Eh, Ian." Adit berdecak. Ia jengkel sekali pada Gian.
.
.
Hari ini Rania membantu Clara untuk mempersiapkan diri sebelum acara pernikahan yang akan dilaksanakan lusa. Saat ini ia sedang menbantu Clara memakai hena.
Bukan hanya Rania. Tetapi ada juga Hanif teman dekat Clara dan juga teman-teman dekat Rania. Karena mereka memang dekat juga dengan Clara.
"Assalamu'alaikum." Ucap Winda dan Elina yang baru hendak memasuki kamar milik Clara.
Merekapun menoleh dan menjawab salam bersamaan. Kemudian Winda dan Elina pun bergabung.
"Raraaaa.." sudah bisa ditebak siapa yang selalu mengeluarkan suara cempreng itu.
Benar sekali, Winda. Gadia itu selalu saja lebay. Saat ini ia langsung berlari kecil memeluk Clara yang membuat orang-orang yang ada di situ gemas sendiri.
"Selamat ya. Ternyata udah ngeduluin kita aja." Ucap Winda dengan ekspresi yang dibuat-buat sedih.
"Iya kak. Makasih."
"Semoga jadi keluarga yang sakinah ya. Sampai ke surga. Hehe." Tambah Winda.
"Aamiin."
"Ra. Selamat ya. Semoga langgeng dan jadi keluarga sakinah, mawaddah warahmah." Giliran elina yang bersuara yang diamiinkan seluruhnya.
"Permisi!!!. Makanan datang..." terdengar suara Andini dari luar yang membawa nampan berukuran sedang yang berisi minuman dan cemilan.
Mereka semua terlihat bergembira. Semua menyisihkan waktu untuk hadir. Karena mereka semua sangat dekat seperti keluarga.
Terlihat raut kebahagiaan di wajah Clara. Ruangan itupun dipenuhi dengan canda tawa.
Meskipun begitu, tak dapat dipungkiri jika Rania saat ini sedang dilema. Ia bahagia di hari bahagia sang adik. Tapi, hatinya sendiri sedang berusaha ia damaikan.
Tak ingin berlarut lagi dengan kesedihannya, Rania mencoba tersenyum menanggapi setiap apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya yang kocak itu. Meskipun ia lebih banyak diam dan terkadang ia telrihat melamun.
Aku bahagia melihat dia mendapati cinta yang tulus. Ridhoi lah niat baik ini yaa Rabb. Berilah mereka kebahagiaan.
Do'a Rania yang hanya mampu ia lontarkan dalam hatinya.
Rania sedikit tersentak saat seseorang menyentuh bahunya. Ia terkejut.
"Ran,," panggil Elina yang terdengar seperti gumaman.
"Hmm. Iya El." Jawab Rania sambil tersenyum.
"Ga papa kan?" Tanya Elina prihatin.
Elina mengerti sekali dengan apa yang dirasakan sahabatnya saat ini. Yang lain menatap penuh tanya pada Rania yang debalas senyuman pula.
Rania menggeleng pelan mengisyaratkan ia baik-baik saja.
.
.
Hari ini proyek pembangunan Gian dimulai. Seperti saat ini, ia sedang memantau pekerjaan para pekerjanya yang sudah mulai bekerja dari 3 jam yang lalu. Dan sudah hampir masuk waktu istirahat.
Gian menangguk melihat keseriusan orang-orang itu. Ia berharap proyek ini cepat selesai. Sebagai pengawas tentu saja ia mengharapkan yang terbaik.
Ia melihat jam di tangannya. Sudah pukul 11.37. Waktunya istirahat.
"Oke, semuanya. Silahkan istirahat dulu. Saya permisi." Ujarnya yang diiyakan oleh para pekerja.
Gian menghampiri Adit di sebuah pemondokan kecil. Ia melihat Adit yang sedang sibuk.
"Lagi apa, bro?" Tanya Gian.
"Ini, gue lagi ngecek laporan dari Herman. Katanya ada masalah sama bangunan yang di Pandeglang."
Gian terlihat berpikir sejenak. " trus gimana?"
"Kayanya harus dicek kesana. Siapa yang bakal pergi?"
Gian terdiam. Bingung dengan pertanyaan Adit. Namun, Adit langsung paham melihat raut muka Sepupunya itu.
"Oke. Gue berangkat besok. " ujarnya yang membuat Gian menatapnya.
"Ya, lo aja. Sori, ya." Adit mengangguk.
.
.
Go read gaes......
Silahkan koment kalau ada yg kurang atau mau kasih masukan..
Jangan lupa like nya gaes!!! 👉👉👉🌟🌟🌟
Follow my account, please! 😉😉
IG: @fuji_ps25
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments