Pagi ini Rania dan Rara membantu Bude Ranti memasak makanan di dapur. Sesekali mereka tertawa karena obrolan mereka bertiga yang terdengar lucu.
"Oh, iya Bude. Kak Mita kapan pulang sih Bude? Kangen loh aku." Ujar Clara ditengah obrolan mereka.
"Hari ini mungkin. Katanya Oma udah ngasih tau mau kesini. Makanya dia juga mau ketemu sama Oma." Jawab Budenya itu sambil mengaduk sayur asem yang hampir matang.
"Yeey. Aku bisa jalan-jalan sepuasnya sama Kak Mita."
Rania hanya mencebikkan bibirnya melihat tingkah adiknya itu. Clara memang terkesan lebay.
Setelah selesai berkutik dengan masakan, mereka menghidangkan makanan di meja makan. Lalu, mereka sarapan bersama.
Suara dentingan sendok menghiasi suasana sarapan mereka pagi ini. Karena sudah menjadi kebiasaan jika saat makan tak boleh mengobrol.
Selesai sarapan, Reno ikut Pakde Bandi ke pondok. Ia sudah rindu dengan suasana pondok yang sejak lama ia tinggalkan.
Sementara di rumah, Rania tengah mencuci piring di wastafel yang ada di dapur. Saat sedang fokus dengan pekerjaannya tiba-tiba Bude Ranti menghampirinya. Ia hanya melemparkan senyum simpul melihat adik ipar Papanya itu.
"Nia,, Bude mau tanya sesuatu sama kamu." Bude Ranti membuka obrolan.
"Iya Bude."
"Mm,, mengenai lamaran. Kamu udah kasih jawaban sama Papa kamu?" Tanya Bude membuat Rania seketika menghentikan kegiatannya.
Ia menggeleng sambil menatap sendu ke arah piring-piring di wastafel.
"Jadi, kamu mau terima apa nggak?" Tanya Bude Ranti lagi.
"Sebenarnya Nia masih bingung Bude. Nia belum mau nikah, tapi Nia juga nggak mau ngecewain Papa." Jawabnya yang sudah beralih menatap wanita cantik meskipun sudah berumur itu.
Bude Ranti hanya bisa menghela napasnya mendengar penjelasan Rania. Ia mengerti dengan apa yang Rania rasakan karena mertuanya yang tak lain Oma sudah menceritakannya kejadian masalah yang terjadi.
"Kemaren Gian datang kesini." Kata Bude Ranti membuat Rania menatapnya canggung.
"Dia bertanya soal kamu yang katanya temenan sama Adiknya. Apa benar?"
"Iya. Anggi sahabat Rania."
Bude hanya mengangguk mendengar jawaban Rania.
Sebenarnya ada hal lain yang ingin ia katakan. Tapi, mengingat kemaren Gian melarang untuk menyampaikan pada Rania, ia mengurungkan niatnya itu. Biarlah nanti ia menunggu sampai waktunya tiba.
...~@~...
Dengan wajah ditekuk, Rania duduk di ayunan yang ada di taman, tepat disamping rumah Pakde dan Budenya itu.
Masalahnya dengan Hilmi belum menemukan titik terang, tapi sekarang sudah muncul lagi masalah baru. Ditambah lagi masalah hatinya yang belum kelar. Lengkap sudah permasalahannya saat ini.
Bahkan untuk dapat tersenyum lepas tanpa beban pun ia tak bisa. Hanya kegalauan yang kini ia rasakan.
Benda pipih di tangannya berdering. Terlihata notifikasi chat grup dari sahabat-sahabatnya yang membuat Rania menggeleng sambil tersenyum tipis.
Ia tak ingin membalas pesan tersebut. Saat ini dirinya butuh sendiri menenangkan hati dan pikirannya tanpa ada hal lain yang harus ia pikirkan, baik itu masalah lamaran itu ataupun masalah pekerjaannya di butik. Toh, liburan sehari takkan membuat pelanggan butiknya komplain.
Saat sedang asik melamun, Mita datang menghampirinya. Namun, Rania tak menyadari kehadiran adik sepupunya itu.
Dengan jahilnya, Mitha mengagetkan Rania hingga ia terlonjak dan HP nya hampir terlepas dari genggamannya.
"Dorr.."
"Astaghfirullah,, ya ampun Mita. Kamu ini ada-ada aja deh" ujarnya sedikit kesal.
"Hahahhahahhaha" gelak tawa itu membuat Rania semakin kesal.
"Maaf deh kak. Lagian kakak aku lihat ngelamun aja dari tadi." Mita berkata setelah melihat tatatapan tajam Rania yang mengarah padanya.
Tanpa aba-aba lagi, Mitalangsung memeluk kakak sepupu tersayangnya itu karena rindu yang ia rasa sudah tak terbendung lagi.
"Kamu baru datang?" Tanya Rania yang sudah mulai hilang kekesalannya.
"Iya. Baru aja. Umi bilang ada kakak disini makanya aku langsung nyamperin. Kangen banget tau." Jelasnya dengan suara dibuat-buat manja.
"Kakak juga kangen." Ia tersenyum bahagia saat Pelukan hangat dari sang adik ia rasakan.
Namun, senyumnya itu berubah menjadi raut kebingungan ketika Mita melepas pelukan mereka dan menatapnya dengan tatapan menyelidik. Rania yang heran dengan sikap Mita yang berubah hanya diam menatap sang adik penuh tanya.
"Kakak mau nikah, kenapa nggak bilang?" Ucapnya dengan muka dibuat cemberut.
Rania hanya diam menatap datar sang adik yang tanpa sengaja merusak mood nya kembali. Ia sama sekali tak berniat membahasnya. Tujuannya kesini berharap bisa melepaskan beban karena masalahnya dengan melupakannya sejenak.
Tapi kenapa rasanya semua tak memihak padanya. Semua orang selalu membahas lamaran dan lamaran itu.
Melihat keterdiaman Rania, Mita menjadi tak enak hati. Pasalnya, ia sudah tau masalah sebenarnya kalau Rania menolak untuk segera menikah. Niat awalnya hanya untuk menggoda kakak sepupunya itu dan tak disangka malah membuat Rania galau.
.
Sementara di tempat lain, Seorang gadis cantik berhijab tengah duduk di sofa sambil mengunyah stik kentang balado. Ia menatap lelaki muda di kursi berbeda di sebelah kanannya yang tengah sibuk dengan iPad di tangannya.
"Kenapa kamu?" Tanya Lelaki itu spontan saat menyadari sikap sang adik yang terlihat aneh menurutnya.
"Ah, enggak!"jawabnya gelagapan.
Gian, lelaki itu lanjut dengan kegiatan yang ia lakukan tadi. Namun, ia masih memperhatikan sang adik yang masih bersikap seperti tadi.
Dengan sigap, Gian langsung menaruh iPad nya di meja. Dan menatap Anggi datar dan dengan tatapan penuh intimidasi.
"Apa?" Tanya Anggi yang terdengar seperti menantangnya.
"Harusnya Abang yang nanya sama kamu. Kenapa dari tadi natap Abang kaya gitu? Mau minta uang jajan karena uang jajan kamu dipotong sama Mama?" Tanyanya dengan pernyataan yang membuat Anggi menganga tak percaya.
Bagaimana mungkin Abangnya yang kelewat PD ini mengatakan hal itu. Ia tidak membuat masalah dan juga tidak mendapat hukuman itu.
"Siapa yang ngomong gitu? Sok tau deh." Jawabnya kesal.
"Lagian kamu tuh aneh. Dari tadi ngeliatin orang mulu kerjaannya. Gak jelas banget." Kata Gian yang mulai jengah dengan tingkah sang adik yang sangat menyebalkan baginya.
"Aku mau nyampein sesuatu sama Abang tadinya. Tapi, ngeliat sikap Abang kaya gini, yang songongnya kebangetan aku batalin aja." Jawabnya cuek.
Hal itu membuat Gian menatapnya penasaran. Ia tentu ingin tau apa yang akan dikatakan adiknya itu padanya.
"Apa emangnya?"
"Gak jadi. Udah batal. Aku mending ke kamar, Bye." Ucapnya yang kemudian melenggang pergi ke kamarnya.
Kini malah Gian yang dibuat cengo oleh kekonyolan sang adik. Ia hanya bisa menahan kekesalannya meski sesungguhnya Anggi benar-benar menyebalkan. Tapi ia juga menyadari dirinya lebih menyebalkan bagi adiknya.
"Batal batal. Lo kira wudhu pake batal" gumamnya yang tentunya tak didengar oleh sang adik.
.
Gian sudah selesai mengepak keperluan yang akan ia bawa ke Samarinda. Ia akan menghadiri acara pernikahan teman SMA nya dan besok pagi adalah jadwal keberangkatannya.
Namun, entah kenapa semenjak saat ia menjemput kakak nya ke butik waktu itu ia terus teringat pada Rania. Ditambah lagi tatapan sendu Rania kemaren malam saat tak sengaja melihatnya di Pesantren.
Kenapa gadis itu terlihat sedih dan terluka saat melihatnya? Itulah yang dipikirkan Gian saat ini.
Ia mengusap wajahnya. Tak ingin larut dalam kegundahan, Gian beralih mengambil ponselnya dan menanyakan jadwal keberangkatannya pada Adit. Dan ia meminta Adit untuk membeli tiket Pesawat.
Setelah memastikan ia turun ke bawah untuk makan malam bersama orang tua dan adiknya.
Sesampai di meja makan, ia langsung duduk dan mengambil makanannya. Mereka makan dengan suasana hening. Hingga suara Papanya memecah keheningan.
"Jadi, jam berapa kamu berangkat besok, Ian?" Tanya Papanya.
"Jam 9 pagi Pah." Jawabnya yang kemudian meneguk air putih di gelasnya.
Papanya mengangguk. Namun, suara Mamanya membuat Gian cengo seketika
" kamu ke nikahan temanmu kan, mereka kapan ke nikahan kamu?" Ujar Mamanya sarkastis.
Anggi yang mendengar itu terlihat menahan tawa dengan mengatupkan kedua bibirnya. Sedangkan sang Papa hanya meliriknya sambil mengangkat bahu.
"Umur udah 25 tapi kaya orang gak punya semangat cinta. Gak mau nikah apa? Zano yang lebih tua kamu setahun aja udah punya anak." Lanjut Mamanya lagi.
"Mah, apa sih? Nanti nikah kalo udah siap."
"Kapan siapnya? Udah mapan kok menurut Mama. Iya kan, Pah?" Mamanya kembali menyerang.
"Iya!" Jawab Papa nya membuat Gian memejamkan matanya kesal.
Gian kemudian beralih menatap Anggi yang sudah tak bisa lagi menahan tawanya. Adiknya itu benar-benar menjengkelkan.
Ia kemudian mengangkat sendok di tangannya mengisyaratkan hendak memukul Anggi. Namun, hanya dibalas dengan menjulurkan lidah oleh sang adik. Ia semakin geram.
.
.
Jangan lupa dilike ya Readersss💕💕
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments