...Aku menunggu sekiranya do'aku dikabulkan Allah. Tapi, tidak. Semuanya berbeda. Mungkin bukan kamu calon Imam yang telah disiapkan Allah untukku....
...~Rania Zahrani...
..._ _ _ _ _ _ _ _ _ _...
Suasana di ruang keluarga terasa menegangkan. Oma hari ini memang menginap karena Reno yang mengajak Oma ikut sewaktu ke Pekanbaru minggu lalu.
Oma menurut, katanya ingin menghabiskan waktu mereka lebih lama bersama cucu-cucunya. Dan kebetulan sekali hari ini Oma mendapat kejutan bahwa salah satu cucunya dilamar.
Rania, gadis itu baru saja dinyatakan dilamar oleh anak dari teman Ayahnya. Lebih mirip seperti perjodohan, karena mereka memang belum pernah bertemu dan orang tua mereka sama-sama menginginkan pernikahan itu.
Mendengar apa yang baru saja disampakan Ayahnya, Rania menganga tak percaya. Ia berusaha menahan emosinya untuk tidak menolak permintaan Papanya langsung.
"Gimana Nia?” tanya Papa Aryo sambil menatap lekat putrinya itu. Ia tak mau salah mengambil keputusan, karena itu ia benar-benar memastikan dulu bagaimana pendapat Rania.
“Pah,, Rania minta waktu ya.” ujarnya lembut.
“baiklah. Kapan kira-kira kamu bisa menjawabnya?” tanya Papa lagi membuat Oma menatap nyalang ke arah Papa Rania.
“Aryo,, kamu kenapa seperti menuntut anakmu?” ujar Oma.
Papanya terlihat gelagapan dan menggaruk kepalanya yang tak katal. “bukan Bu. Aku hanya tidak enak dengan Handi. Karena ia sangat ingin putriku menjadi menantunya.”
“biarlah dia berfikir dulu.” kata Oma lagi.
“Nia berangkat dulu, Assalamu'alaikum” satu sahutan itu membuat semua orang yang berada di sana saling tatap. Tanpa bersalaman dengan orang tuanya, Rania pamit begitu saja.
...~@~...
Rania Pov.
“Om Handi melamar kamu untuk anaknya, Nia. Kamu mau?” ujar Papa yang membuatku seketika terkejut.
Tak dapat kupungkiri, rasanya jantungku seperti berhenti berdetak. Darahku mengalir deras hingga ke ubun-ubun. Aku bingung harus bagaimana dengan apa yang baru saja Papa katakan. Jujur saja aku tidak bisa menerima semua ini.
“Bagaimana Rania?” tanya Papa lagi.
Pagi ini moodku sudah dibuat hancur.
Ya Rabb,, apa ini? Kenapa rasanya sangat sakit saat aku mendengar apa yang dikatakan Papa.
Aku ingin menolak, tapi melihat muka Papa yang penuh harap membuatku takut mengecewakan lelaki yang sangat aku sayangi ini. Tapi, aku juga tak ingin menerima begitu saja karena hatiku masih belum bisa terbuka untuk menerima orang baru.
Aku mencintai seseorang yang sudah lama mengisi hatiku. Dan aku sangat berharap agar Allah menjodohkan ku dengannya.
Oh, aku benar-benar bingung sekarang. Berbagai kemelut kini memenuhi otakku. Rasanya aku ingin menangis saat semua pandangan tertuju padaku. Papa, Oma, Bang Reno, dan Rara. Mereka menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
Aku menarik nafas dalam dan melepasnya. Aku harus mengatakannya. Harus,,,,
“Pah, Rania minta waktu” ujarku menatap Papa dengan pandangan memohon.
Entahhlah, rasanya sekarang bercampur aduk. Kesal, cemas, sedih berbaur menjadi satu. Kulihat semua mendengus lega. Kecuali Papa. beliau hanya menatap datar padaku. Namun, tersirat kekecewaan dimatanya.
“baiklah. Kapan kira-kira kamu bisa menjawabnya?” tanya Papa yang terdengar manuntut.
Aku bingung sekarang. Kenapa Papa sepertinya sangat menginginkan aku menikah dengan anak temannya itu. Aneh.
Aku mulai kesal dan aku merasa Papa sudah keterlaluan dengan hidupku. Bukannya aku sok jual mahal, tapi aku benar-benar belum terpikir untuk menikah dengan siapa pun, kecuali dia. Karena, saat ini hatiku masih menunggunya meskipun belum jelas bagaimana dengan perasaannya.
Katakanlah aku bodoh. Tapi, memang inilah yang aku rasakan. Akupun bingung dengan hatiku sendiri yang sampai saat ini masih mencintainya.
“Aryo,, kamu kenapa seperti menuntut anakmu?” Aku merasa diatas angin saat Oma membelaku.
Papa terlihat tegang dan menggaruk kepalanya. Namun sekejap kemudian beliau tersenyum kikuk pada wanita tua yang masih terlihat cantik menurutku.
“bukan Bu. Aku hanya tidak enak dengan Handi. Karena ia sangat ingin putriku menjadi menantunya.”
“biarlah dia berfikir dulu.” Ujar Oma lagi.
“Nia berangkat dulu, Assalamu'alaikum” satu sahutan itu membuat semua orang yang berada di sana saling tatap. Tanpa bersalaman dengan mereka aku segera pergi meninggalkan mereka yang entahlah aku tak tau sedang apa.
Katakanlah aku tidak sopan. Tapi itu kulakukan karena aku takut jika semakin lama mendengar omongan Papa akan membuatku menjadi anak durhaka karena melawan perkataan Papa nantinya.
Maka lebih baik aku pergi. Lagipula Dini katanya sudah hampir sampai di depan rumahku.
Tak lama Dini datang dan Aku langsung saja membuka pintu samping kemudi dan duduk didalam sana. Tanpa berkata, aku menghela napas dalam dan membuangnya. Dini sepertinya menyadari sikapku saat ini tapi ia tak menanyakannya langsung.
Waktu berjalan, sudah jam sebelas siang. Hari ini aku ingin makan di luar bersama teman-temanku. Tapi, tidak untuk ke Resto bang Reno. Aku takut nanti Bang Reno ikut-ikutan memojokkan ku. Alhasil, aku mengajak sahabat-sahabatku untuk makan di Cafe dekat Butikku. Mereka menyetujui ajakanku.
Sepanjang obrolan mereka aku hanya diam. Jujur saja aku masih kesal dengan Papa. Tapi aku tak mungkin melawan. Aku harus memikirkannya perasaan papa juga.
“Ran...” intrupsi dari Winda membuyarkan lamunanku.
“hmm” jawabku dengan wajah terkejut.
“kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Tari sambil menggulung-gulung mie di piring dengan garpu.
“nggak. Nggak apa-apa.”jawabku sambil memaksakan senyum.
Aku yakin mereka menyadari kemurunganku. Kami bukan baru mengenal selama beberapa hari , tapi sudah dari kecil. Mereka terus mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaan agar aku mau bercerita. Hingga aku menyerah dan mengeluarkan semua unek-unekku.
“hahhh,,,, aku dijodohin. Lebih tepatnya ada yang ngajak aku nikah. Aku nggak mau....” aku mulai menceritakan pada mereka.
“sebenarnya aku nggak bisa terima. Tapi, Papa nggak terima penolakan.” air mata ku tak dapat kutahan lagi.
Winda, Tari, Dini, Yanti, dan Anggi hanya bisa diam prihatin mendengar penuturan ku yang mungkin bagi mereka terdengar sangat memilukan. Mereka mengerti alasanku tidak mau menerima lamaran dari orang tak dikenal itu.
Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan tisu wajah yang diberikan oleh Winda tadi. Rasanya sedikit lega setelah aku menceritakan pada mereka. Mereka memang selalu ada untukku.
...~@~...
Setelah mendengar curahan hati Rania, mereka semua hanya bisa menanggapi dengan kata2 yang sekiranya bisa membuat gadis itu mengikhlaskan semua yang terjadi padanya. Toh semua sudah terjadi.
Lagipula tak ada sesuatu pun yang tak luput dari kehendak yang telah Allah tetapkan.
Mereka bingung harus menjawab apa. ini jelas urusan keluarga Rania. Tak mungkin mereka berani ikut campur.
Yanti dan Tari yang berada di kedua sisi Rania hanya bisa mengelus Rania yang bahunya terlihat bergetar. Ia menangis tanpa bersuara sambil menyembunyikan wajahnya nya di kedua tangannya yang ditelungkupkan di atas meja.
“sabar ya Ran. Semua pasti ada jalan keluarnya.” Anggi mencoba menenangkannya.
“Iya,,Ran. Kalau memang kamu jodoh sama dia, berarti kamu harus mencoba membuka hati kamu.” tambah Yanti yang kemudian menarik Rania ke pelukannya.
“dan juga, kita bakalan selalu ada buat lo kok.” Ujar Winda menimpali.
“terima kasih ya. Aku bersyukur punya kalian. Semoga aku bisa menerima nanti.” Kata Rania dengan tatapan penuh dengan kesedihan.
...~@~...
Rania balik ke Butik bersama Yanti dan Dini. Mereka kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing yang sempat tertunda tadi. Yanti kembali mengukur dan memotong bahan kain yang akan dijahit.
Sedangkan Dini, ia langsung ke meja tempat membuat pola pada desaign yang tadi terbengkalai itu. Rania masuk ke ruangannya.
Memang mereka terlihat sibuk. Namun, percayakah Rania kini sedang tidak fokus. Lihat saja matanya yang menerawang meskipun pandangannya mengarah ke kertas yang digambarnya.
Entah apa yang ia buat, pensilnya hanya menorehkan garis-garis tak beraturan yang hampir memenuhi kertas.
Namun, seketika ia tersadar dan berucap istighfar. Ia memejamkan mata sejenak lalu menghempaskan tubuhnya ke kursi putar dibelakang.
“apa aku coba terima aja permintaan Papa?" gumamnya.
Apa yang baru saja ia lakukan itu tak luput dari pandangan kedua sahabatnya. Mereka kemudian menghampiri Rania dan menyuruhnya untuk pulang saja. Karena, Yanti berfikir saat ini Rania butuh ketenangan.
“Ran, mending sekarang lo pulang deh. Nggak fokus gitu, lebih baik lo tenangin diri dulu.” Ujar Dini dengan tatapan prihatin.
Rania hanya mengangguk mengiyakan perkataan dari Dini. Ia mengerti sahabatnya itu juga sedih melihat ia seperti ini.
Selepas obrolan singkat itu, Rania langsung pamit pulang. Benar yang dikatakan Dini dan Yanti bahwa ia butuh menenangkan diri.
Sesampai di rumah, ia langsung masuk ke kamar. Ia merebahkan diri di kasur empuk kesayangannya. Waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga sore. Sebentar lagi Ashar.
Ia memilih memejamkan mata sejenak menjelang masuk waktu shalat. Setelah lima menit, terdengar suara pintu diketuk dari luar.
Rania segera membuka mata sambil menengok ke arah pintu yang sudah dibuka perlahan. Mamanya masuk sambil tersenyum ke arahnya. Senyum seorang Ibu memang mampu membuat hati anaknya tenang.
Ia merasa lega dan mendapat pelita saat menatap Bidadari tak bersayapnya. Namun, Rania tak dapat lagi membendung air matanya saat sang Bunda semakin mendekat padanya. Ia kemudian bangkit dan merentangkan tangannya memeluk sang Mama.
Pelukan terhangat yang pernah ia rasakan dan takkan terganti oleh siapapun.
“Maaa,,” ujarnya terdengar mulai terisak.
Mama Sari memeluk erat putrinya itu. Jujur saja, seorang ibu tak mungkin tega melihat anaknya yang bersedih.
“ssttt,,, udah. Jangan nangis. Udah gede masa masih nangis. Malu tuh sama Clara.” Mamanya mencoba menenangkan.
“Mamaaa,,,” rengeknya manja. “aku lagi sedih Mah,, Mama malah ledekin aku. Aku harus gimana sekarang?” tanyanya masih dengan terisak.
Bu Sari menghela napas dalam, ia juga bingung harus melakukan apa. Ini saja sudah membuatnya bingung harus menuruti siapa. Di satu sisi ia kasihan pada putrinya, di sisi lain ia juga merasa tak enak jika menolak lamaran dari Sahabat suaminya.
“Mah,,, aku harus gimana? Apa Nia harus terima lamaran itu?” tanyanya lagi masih dalam pelukan sang Mama.
“kalau menurut Mama, kamu fikirkan dulu. Kalau kamu siap ya kamu terima. Tapi, kalau nggak kamu bisa ngomong lagi sama Papa buat nolak. Tapi, Nia. Jika kamu terima siapa tau dia memang jodoh yang terbaik buat kamu. Lagi pula, Papa nggak mungkin kan menjerumuskan anak-anaknya ke jalan yang salah.” Jelas Bu Sari sambil mengelus kepala Rania yang tertutup hijab.
Rania sudah menghentikan tangisnya, namun masih sedikit sesenggukan. Ia menengadahkan kepalanya ke atas menatap sang Mama dalam. Ia terlihat berpikir sesaat. Hingga ia melonggarkan pelukannya.
“Mama yakin?” tanyanya menatap sang Mama dengan penuh harap.
Mamanya mengangguk sambil tersenyum meyakinkannya. Kemudian menghapus air mata sang putri yang masih mengalir di pipinya.
“aku,, aku,, aku mau coba. Tapi,, Nia mau ta’aruf aja.” Jawabnya yang membuat Mama Sari menatap tak percaya Rania menerima lamaran itu.
Rania kembali memeluk Mamanya. Ia hanya ingin berada di pelukan sang Mama saat ini. Ia butuh Mamanya. Setelah itu mereka shalat Ashar bersama.
...~@~...
Hi readers!!!!!
Jangan lupa like ya...
😉😉😉
~silvifuji
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments