Awas!!! banyak typo.
Mohon dimaklumi.
Rania masih terdiam menyaksikan pemandangan di depannya. Reno dan Kevin yang membantu Rara berdiri setelah kejadian beberapa saat yang lalu.
Ia menatap datar ketiga orang tersebut. Tidak, lebih tepatnya Kevin yang terlihat sangat perhatian pada Rara. Lelaki itu juga terlihat cemas saat melihat Rara terjatuh tadi.
Reno kemudian membantu Rara berjalan ke dalam rumah diikuti Kevin di belakang mereka. Namun, Rania masih setia berdiri di tempatnya dengan pikirannya.
Suara klakson mobil di depan gerbang membuyarkan lamunan Rania. Ia pun segera membukakan gerbang agar mobil Papanya bisa masuk.
Setelah Mamanya turun dari mobil, ia mengambil alih belanjaan yang di bawa sang Mama dan mengantarnya ke dapur lewat halaman samping.
"Kenapa basah-basahan gini?" Tanya Mama Sari keheranan.
"Itu abis main siram-siraman sama Abang sama Rara." Jawabnya.
"Trus mereka mana?" Tanya wanita paruh baya itu lagi.
"Di dalam. Rara abis kepeleset tadi. Ada Kevin juga di dalam." Jelasnya santai.
"Kalau itu Mama tau, ada mobilnya kok di depan."
Rania hanya mengangkat bahu acuh. Tiba-tiba ia tak suka membahas Kevin, walaupun ia yang mengatakannya duluan pada Mamanya.
"Kamu bikinin teh deh buat calon suami kamu." Perintah Mamanya yang ditolak langsung oleh Rania.
"Duh, Mah. Nia mau ganti baju dulu. Dingin soalnya. Dahh Mama." Katanya sambil berlalu dengan tak lupa mengecup pipi bidadari tak bersayapnya itu.
.
Sebuah notifikasi masuk terdengar di layar monitor di depan Gian. E-mail dari salah satu kliennya. Setelah membukanya Gian menelfon seseorang.
Sambungan terputus setelah mereka mengakhiri pembicaraan. Ia kemudian bangkit dan berjalan ke arah koper yang terletak di sudut ruangan. Menyiapkan pakaian yang akan ia gunakan ke acara pernikahan Beni siang ini.
Ia memilih celana bahan hitam dengan batik lengan panjang bermotif tumbuh-tumbuhan. Ia tersenyum senang memandang setelan di depannya itu. Baju yang baru ia beli sebelum berangkat.
Terlalu lebay mungkin, tapi ia membeli baju ini setelah tak sengaja melihat di akun Instagram milik Hidayah Butik, tempat kakaknya beberapa waktu lalu memesan kebaya.
Sudahlah, hanya Gian sendiri yang tahu apa yang ia rasakan saat ini. Dan apa yang sebenarnya membuat ia begitu senang.
Krekk,,,
Suara gagang pintu membuat Gian mengalihkan perhatiannya. Adit baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah rapi. Gian kemudian mengambil handuk dan bergantian memasuki kamar mandi. Mereka memang memesan satu kamar.
"Gue mau keluar dulu, Ian." Sahut Adit sambil merapikan rambutnya di depan cermin.
Setelah selesai mereka segera ke tempat acara. Dan kini mereka tengah menunggu acara akad antara Beni dengan Sintya. Gian duduk di salah satu kursi yang bersebelahan dengan Adit, Fadli, Jihan, dan Antika.
Mereka duduk mengelilingi meja bulat yang sudah didekorasi untuk tamu undangan. Gian terlihat risih dengan suasan disana bersama Antika. Karena semenjak pertama bertemu tadi, Antika terus saja memperhatikannya dan sesekali gadis itu mencoba mengambil perhatian Gian.
Adit menyadari keadaan itu. Ia pun mencoba memecah suasana dengan mengalihkan pembicaraan ke hal lain yang membuat Antika tak lagi mengganggu Gian dengan berbagai pertanyaan yang tak penting.
"Ehmmm. Gue mau ke toilet dulu." Sahut Gian yang kemudian berdiri dari duduknya.
Gian menghembuskan napas kasar saat sudah terhindar dari suasana yang menurutnya menyebalkan itu. Ia merapikan rambutnya serta bajunya. Kemudian ia keluar dari toilet.
Namun, saat baru sampai di depan toilet, suara wanita terdengar memanggilnya. Hal itu membuat Gian memejamkan mata menahan kekesalannya. Gadis itu lagi, selalu saja mengganggunya.
"Gian!!"
Wanita itu, Antika kemudian memegang lengan Gian yang terhalang pakaian. Namun, Gian segera menepisnya karena jelas ia tak nyaman.
"Ian. Kamu kenapa sih? Coba sekali aja kamu lihat aku. Aku suka sama kamu Ian." Ujar gadis berambut panjang itu.
Gian terdiam mendengar ungkapan teman SMA nya itu. Bagaimana gadis ini bisa mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan? Apa ia tidak malu?
"Maaf, Ka. Gue nggak bisa." Jawab Gian pelan.
"Kenapa?" Tanya Antika terdengar mendesak.
"Karena udah ada yang ngisi hati gue. Permisi"
"Gian.. Gian" panggilnya berteriak.
Antika menggeram menahan kesalnya.
...~@~...
Gian masih asik bergelut dengan pikirannya ketika Adit memasuki kamar hotel mereka. Adit menghampirinya.
"Ian. Lo kenapa?" Tanya Adit yang hanya dibalas gelengan oleh Gian.
"Antika?" Sahutnya bertanya.
Gian mengusap kasar wajahnya. Ia benar-benar jengah sekarang. Ia ingin segera pulang ke Bandung saat ini juga karena dirinya tak mau lagi-lagi masalah datang tanpa ia duga nantinya.
"Kita ambil penerbangan malam ini bisa nggak?" Tanyanya pada Adit yang membuat kening lelaki itu mengerut.
"Kenapa nggak besok aja?" Adit balik bertanya.
"Gua pengen aja pulang sekarang."
Adit hanya mendengus sebal mendengar jawaban sahabatnya itu. Jujur saja ia bingung melihat sikap Gian saat ini. Padahal baru tadi pagi ia begitu semangat ingin menghadiri acara reuni SMA mereka. Namun, sekarang? Secepat itu Gian berubah.
.
.
Sudah satu minggu semenjak Gian kembali dari pernikahan Beni. Ia pun sudah kembali melakukan rutinitasnya seperti biasa. Siang ini ia dimintai tolong oleh Shanti untuk mengambil pesanan baju kebaya milik sang kakak di butik Hidayah.
Gian menutup pintu ruangannya sebelum pergi. Ia akan langsung pergi ke butik Hidayah. Ada sedikit rasa gugup di hatinya tatkala mengingat kejadian dua minggu lalu saat ia melihat seseorang yang sudah lama tak ia temui.
Gadis itu, yang mampu membuatnya merasa tak karuan beberapa waktu belakangan. Ia sedikit penasaran dengan keberadaan gadis itu disana.
Apa yang dilakukannya disana? Apakah dia bekerja disana?
Gian menenangkan pikirannya sejenak tatkala bokongnya sudah menempel di jok mobil. Setelah merasa santai, ia menyalakan mobil dan melajukannya membelah jalanan.
Butuh waktu 15 menit baginya untuk sampai. Dan kini, ia sudah berdiri memandang bangunan di depannya yang terpajang berbagai busana di dalamnya.
Dengan langkah pasti, Ia pun masuk ke dalam toko pakaian tersebut dan berjalan menyusuri ruang yang tercipta dari deretan pakaian yg membuat sekat di ruangan itu. Hingga seseorang menghampirinya.
"Selamat datang, mas. Ada yang bisa kami bantu?" tanya wanita berhijab yang kemungkinan adalah pelayan di butik itu.
"Iya. Saya mau ambil kebaya atas nama Shanti Amita. Kira-kira 2 minggu yang lalu dipesan." Jelas Gian.
"Baik. Tunggu sebentar." Jawabnya kemudian berlalu.
Gian memandang kepergian wanita tadi dengan wajah datar. Ia memilih untuk melihat-lihat isi toko ini sembari menunggu pesanannya datang.
Tak lama terdengar suara telapak sepatu yang beradu dengan lantai. Kemudian diikuti suara seseorang yang membuatnya terpaku di tempat.
"Permisi mas. Ini pesanannya atas nama Shanti..." Ujar gadis tersebut. Namun, kemudian ia terdiam dengan raut muka yang sulit diartikan.
"Ba..bang Gian." Ucapnya lirih.
Gian menatapnya, namun segera ia mengalihkan pandangannya tatkala ia sadar telah menatap gadis itu terlalu lama. Sama halnya dengan yang gadis itu lakukan.
"Terima kasih." Ucapnya namun terlihat ragu.
Gian merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Jantungnya berdetak lebih cepat saat memandang gadis itu tadi. Hal itu membuat Gian bingung dengan perasaannya sebenarnya.
"Kalau gitu, saya permisi. Assalamu'alaikum."ucapnya sebelum berlalu
"Wa 'alaikumussalam."
Gadis itu, Rania masih terdiam dengan wajah memerah tatkala Gian sudah berlalu dari hadapannya. Sudah lama sekali semenjak mereka bertemu dengan jarak sedekat barusan. Dan, rindu. Itulah yang dirasakan Rania saat ini.
Ia merindukan senyuman dan suara lelaki itu. Walaupun senyum itu bukan untuknya.
Sementara Gian yang sudah keluar dari butik kini bersandar di jok mobil.
"Jadi benar dia bekerja disini." Ucapnya sendiri.
Jujur saja, Gian sebenarnya ingin sekali berbicara lama dengan gadis itu. Menanyakan kabarnya, walaupun hanya sekedar untuk basa-basi. Menanyakan bagaimana keseharian gadis itu.
Dan yang terpenting adalah menanyakan apakah ia sudah memiliki seorang yang mendampinginya, pasangan seumur hidupnya. Jika saja itu bisa ia lakukan.
Namun waktu yang tak mendukung. Dan mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah bahwa bukan sekarang waktunya jika memang ia memiliki kesempatan untuk bisa bersama dengannya.
...~@~...
Rania pov.
Tumpukan kertas, meteran, pensil, penggaris dan alat-alat lainnya berserakan memenuhi meja berukuran satu setengah kali satu meter ini. Aku memejamkan mata tatkala pikiranku mulai sedikit jenuh. Aku menatap kertas yang ada didepanku ini.
Sulit sekali menggambar model gaun ini. Rasanya otakku benar-benar lelah dibuatnya. Tapi, aku puas. Karena hasilnya yang bagus dan ini adalah gaun impianku.
Suatu hari aku akan memakainya di pernikahanku nanti. Dan sekarang aku tersenyum karena membayangkannya.
Tok tok.
Suara pintu mengalihkan perhatianku.
"Masuk." Ujarku kepada seseorang di luar.
"Permisi mbak. Ada yang mau ambil pesanan kebaya atas nama Shanti Amita, mbak. Orangnya menunggu di luar."
"Oke, Ca. Aku ambil dulu."
Aku pun bangkit dari kursi dan melangkah ke arah ruang pengemasan yang langsung terhubung dengan ruanganku. Kemudian aku mengambil kebaya donker yang dipesan Mbak Shanti dua minggu lalu.
Setelah memasukkannya ke dalam paperbag, aku pun segera keluar untuk mengantarnya kepada si pelanggan.
Sesampai di ruang depan, aku melihat seorang lelaki tinggi dengam setelan pakaian yang rapi tengah memperhatikan sekeling tokoku. Aku pun mengernyit penasaran dan menghampirinya.
"Permisi mas. Ini pesanannya atas nama Shanti.." dia berbalik dan lidahku tiba-tiba kelu.
"Ba..bang Gian." Ucapku lirih.
Dia. Sedang apa dia disini. Dan mengapa dia menatapku begitu? Sungguh dadaku terasa sesak saat ia mengalihkan pandangannya dan mengambil paperbag di tanganku.
Ya Tuhan. Kenapa dia datang disaat sekarang? Takdir memang benar-benar sulit ditebak.
Tiba-tiba ruangan ini terasa hening. Dan jantungku berdetak kencang. Entah kenapa rasanya aku ingin menangis saat ini. Tapi tak mungkin, aku harus menahannya.
Dia benar-benar dekat. Dan bahkan sudah lama semenjak kami berada berdekatan, walau tak sedekat ini. Aku rindu. Merindukan senyumnya yang selalu terlihat manis, walaupun tak pernah ia berikan untukku.
"Terima kasih. Kalau begitu saya permisi. Assalamu'alaikum." Katanya yang membuat lamunanku buyar.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku lirih. Dan sekarang dia sudah berlalu.
Oh, Tuhan. Apa ini? Kenapa dadaku semakin sesak. Jangan menangis Rania!
Aku pun berlari ke ruanganku dan meluapkan tangisku yang sejak tadi kutahan. Rasanya sangat sakit saat berhadapan dengan orang yang kita cinta, namun orang itu tidak tau. Dan kamu hanya menyimpannya dan bersikap seperti tidak ada sesuatu yang sedang kamu rasakan.
Lalu sekarang dia datang disaat aku sudah akan melepas kesendirianku yang dari dulu aku selalu mengimpikan dialah orang yang akan menjadi imamku kelak.
Aku menangis namun tak begitu keras karena aku takut akan didengar oleh karyawan yang lain, dan juga sahabat-sahabatku. Semoga saja setelah ini hatiku merasa lebih baik.
Setelah sekian lama menangis, aku pun sudah merasa lega dan memilih untuk duduk menenangkan pikiranku di sofa yang ada di ruanganku ini. Namun, baru saja aku bersandar di punggung sofa, terdengar suara gagang pintu.
"Hai, Ran. Lagi ngapain?" Ujar Dini yang datang dengan dua bungkusan kantong putih di tangannya.
"Lagi istirahat aja." Jawabku berusaha senormal mungkin."
"Nih, gue bawa pukis kesukaan lo. Sama ada jambu biji." Kata Dini yang duduk di sampingku.
"Makasih." Jawabku membuka bingkisan yang agak kecil.
"Gue juga beli pancake banana. Lo mau?" Tanyanya menawarkan. Akupun mengeleng karena memang tak suka makanan yang terlalu manis.
Kami pun menikmati makanan ini bersama.
"Oh, iya Ran. Mbak Shanti udah ambil pesanannya? Katanya Gi...?" Dini tak meneruskan perkataannya dan menatapku dengan ekpresi bingung.
Wajahku langsung berubah dingin dan aku menatap datar ke arah Dini. Hal itu membuatnya terdiam heran.
"Ran." Panggilnya
"Jadi, beneran Gian yang ambil pesenannya?"
"iya. Aku ketemu dia." Ujarku lirih. Moodku kembali buruk.
Aku kesal dan kecewa dengan diriku sendiri. Kecewa karena aku yang tak mau tau dengan apa yang ada di sekelilingku yang aku rasa tidak penting. Ternyata, Mbak Shanty adalah kakak Gian.
Ohh, bagaimana dengan hari-hari selanjutnya disaat Mbak Shanti yang bilang ingin menjadi pelanggan setia toko ini. Dan, Tante Nani yang selalu datang kesini karena sudah menjadi pelanggan tetap kami. Ya Allah. Aku benar-benar pusing.
Bagaimana aku bisa melupakannya sementara orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya terus berada disekitarku. Maka kemungkinan besar ia juga akan terus berada di sekitarku.
Aku tak mungkin tiba-tiba menjauh dari Anggi karena dia sahabatku. Tapi, setidaknya kami jarang bertemu dan aku tak pernah punya waktu untuk bisa berjumpa dengan Bang Gian.
Namun, sekarang sudah berbeda. Seperti yang sudah kulihat, Mbak Shanty menyuruh Bang Gian untuk mengambil gaun pesanannya ke butik ku. Apalagi nanti-nanti.
.
.
.
...Disaat aku ingin mulai membuka hati untuk yang lain dan menutup hatiku darimu, mengapa kamu malah datang lagi?"...
...~Rania...
_______________________
Jangan lupa likenya ya readers!!!
☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Khotim Athofunnisa
ceritanya terlalu bertele-tele menurut aku...
sampai disini semua masih misterius..
2021-04-05
2