.
.
.
Gemerlap lampu-lampu jalan menghiasi keheningan malam. Tampak sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota. Sang pengemudi terlihat santai menyetir sambil memperhatikan suasana kota yang ia lewati.
Lelaki itu, Kevin yang tengah menyetir terlihat bimbang. Ia masih memikirkan bagaimana cara meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara keluarganya dan keluarga Rania.
Walau bagaimanapun juga hatinya telah terpikat pada Clara. Gadis cantik berhijab yang sudah berhasil membuatnya jatuh hati yang teramat dalam untuk pertama kalinya. Memang terdengar tak masuk akal karena ia belum mengenal gadis itu. Namun, hatinya yang memilih tanpa ia rencanakan.
Mungkin memang benar, jika ia menikah nantinya dengan Rania, ia bisa belajar mencintai Rania. Namun, jika harus setiap saat bertemu dengan Clara mungkin akan membuatnya semakin sulit melupakan gadis itu.
Maka dari itu ia memilih untuk meluruskan kekeliruan ini. Karena ia tak ingin nantinya membuat Rania terluka karena kenyataan bahwa suaminya tidak mencintainya. Lebih baik semua terungkap sebelum pernikahan yang sakral itu terjadi.
Kevin menggeram kesal karena ia hampir saja menabrak pengendara motor yang tiba-tiba menyeberang. Untung saja ia segera menginjak remnya dengan kuat.
"Akhhh..." geramnya sambil memukul setir mobil.
"Gue harus gimana?" Ujarnya pasrah. "Huff,, Nggak ada cara lain. Gue harus bilang ini sama Rania. Lebih baik dia kecewa sekarang daripada nanti." Ucapnya sendiri dengan perasaan gusar.
Ia menghela napas panjang. Setelah merasa lebih tenang, Kevin segera melajukan kembali mobilnya. Ia berusaha untuk lebih fokus menyetir agar tidak terjadi hal membahayakan lagi.
...~@~...
"Assalamu'alaikum warahmatullah...." Rania mengakhiri shalat sunatnya.
Ia baru saja melaksanakan shalat malam tahajjud. Seperti biasa ia memang selalu terbangun di sepertiga malam. Mungkin baginya ia merasa belum termasuk wanita sholehah yang menjalankan semua kewajiban dan sunnah Rasul. Namun, setidaknya ia selalu mendirikan shalat tahajjud dan dhuha disamping kewajiban shalat lima waktu.
Ia menengadahkan tangannya, berdo'a kepada Allah agar diberikan kelapangan didalam hatinya untuk menerima semua takdir yang digariskan Allah untuknya. Serta memohon untuk dihilangkan keraguan yang semakin hari semakin ia rasakan.
Setelah selesai, ia membereskan perlengkapan shalat. Lalu dilihatnya jam di dinding yang baru menunjukkan pukul 02.40. Ia terbangun lebih cepat tadi. Mungkin tak apa jika kembali tidur sebelum shalat subuh. Karena tubuhnya juga terasa lelah setelah pekerjaan di butik yang sangat banyak.
Sekelebat ingatan tentang kejanggalan-kejanggalan sikap Kevin terhadap Clara kembali merasuki pikirannya tatkala Rania baru memejamkan mata. Langsung saja ia membuka matanya kembali.
"Ya Allah. Kenapa aku masih ragu? Bahkan sangat ragu. Jika ini yang terbaik, maka Yakinkan hamba untuk memilih Ya Allah." Ucapnya yang kemudian memejamkan mata kembali.
Biarlah semua berjalan semestinya. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan.
.
Pagi ini cuaca sangat cerah. Tak ada hujan dan langit pun terang dihiasi awan. Hari ini Gian pergi ke kantor agak siang karena kebetulan pekerjaannya tak banyak. Jadi, ia bisa bersantai.
Saat ia hendak mengambil minuman ke dapur, ia tak sengaja mendengar obrolan Anggi dengan seseorang di seberang telepon. Awalnya ia acuh saja, namun mendadak ia tertarik untuk menguping ketika Anggi menyebut nama seseorang yang menggetarkan hatinya.
Ia pun menyimak apa saja yang dikatakan sang adik meskipun balasan dari seberang tak dapat ia dengar.
Gian masih berdiri disana ketika Anggi telah mengakhiri pembicaraannya di telepon. Saat gadis itu berbalik ia terkejut dengan kehadiran Gian disana.
"Abang? Abang ngapain disini?" Tanya Anggi terlihat terkejut.
Gian tersentak dan gugup karena tak tau harus menjawab apa. Tak mungkin juga ia mengakui kalau dirinya menguping pembicaraan sang adik.
"Nggak. Nggak ngapa-ngapain. Kamu,, abis telponan sama siapa?" Tanya Gian yang membuat Anggi teringat sesuatu.
"Sama Rania. Emang kenapa?" Anggi balik bertanya dengan wajah menantang karena mengerti dengan maksud Abangnya itu.
Anggi memang merasakan kecurigaan terhadap Gian semenjak lelaki itu bertanya mengenai Rania ketika mereka selesai merayakan hari kelulusan SMA. Jelas saja membuat Anggi curiga, karena mereka berbeda SMA dan Anggi tidak ikut berkumpul bersama Rania, Dini, Elina, Yanti, dan Debby. Namun, tiba-tiba Gian bertanya tentang Rania padanya.
Gian mendadak salting. Namun, ia berusaha menetralkan ekspresinya. Ia berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Anggi yang membuat gadis itu terperangah melihat sikap sang kakak.
"Gue yakin kalau abang memang ada perasaan sama Rania." Gumamnya berbisik dengan menatap sinis kepergian sang kakak.
Tak lama, Gian kembali ke ruang tengah dan duduk di sofa yang berseberangan dengan Anggi. Sedangkan sang adik hanya menatapnya aneh.
Anggi sedang berusaha memikirkan cara agar semua rasa penasarannya selama ini terjawab.
"Mmm, bang. Abang nggak ke kantor?" Tanya Anggi membuka suara.
"Nanti jam sepuluh. Kenapa?" Jawab Gian yang tetap fokus pada tab di tangannya.
"Mm, kebetulan. Aku tuh pengen ngobrol aja sama Abang. Aku mau cerita." Kata Anggi sambil menatap wajah datar Gian.
"Cerita apa? Tumben!" Jawab Gian datar.
"Yaa, nggak apa-apa."
Anggi terlihat berpikir. Ia menimbang-nimbang dan menerka bagaimana reaksi Gian saat ia beritahu jikalau Rania akan menikah.
"Aku tuh lagi bingung banget. Teman aku ada yang mau nikah." Anggi diam sejenak.
"Ya trus? Bagus dong." Kata Gian cuek.
"Masalahnya, dia nggak mau bang. Karena, dia cintanya sama orang lain. Tapi, papanya pengen banget dia nikah sama orang ini, karena papanya itu sahabatan sama papa cowok yg ngelamar dia."
Gian melongo mendengar penjelasan sang adik yang terdengar rumit menurutnya. Kasus ini mirip sama perjodohan. Masih ada aja ya perjodohan zaman sekarang, pikir Gian.
"Jadi, maksud kamu teman kamu itu dijodohin?" Tanya Gian.
"Bukan. Tapi, tiba-tiba aja si cowok itu ngelamar dia. Padahal mereka nggak kenal."
Gian mengernyit bingung. "Trus. Kenapa kamu yang bingung? Kan bukan kamu yang mau nikah." Kata Gian yang otomatis membuat Anggi jengkel.
Anggi pun tersenyum miring. Dalam hati ia tertawa jahat membayangkan bagaimana reaksi sang kakak jika mengetahui kalau teman yang ia maksud itu adalah Rania.
" ya karena dia teman aku. Dia udah curhat kalau dia belum bisa nerima pernikahannya."
"Belum kan. Berarti nanti bisa." Anggi memutar bola matanya.
"Yaa, menurut abang gimana? Apa yang harus dia lakuin?"
"menurut Abang, kalau dia nggak mau sama cowok itu, ya minta aja cowok yang dia suka itu nikahin dia." Jawab Gian enteng yang kemudian bangkit dan hendak pergi ke kamarnya.
Anggi yang melihat Gian bangkit pun tergagap. Hingga ia mengeluarkan semua kegeramannya dengan mengatakan langsung kalau temannya itu adalah Rania.
"Gimana mau minta dinikahin, abang aja nggak tau kan kalau Rania suka sama abang?" Ucap Anggi sewot.
Sontak hal itu membuat Gian yang baru berjalan beberapa langkah berhenti dan berbalik menoleh ke Anggi. Ia menatap Anggi datar.
"Jadi,, teman yang kamu maksud itu Rania?" Tanya Gian datar dan dingin.
Anggi terdiam. Perasaannya bercampur aduk antara cemas, takut dan kesal melihat sikap Gian yang kelewat dingin ini.
Gian lalu beranjak pergi meninggalkan Anggi yang masih diam di tempatnya. Anggi pun merutuki respon Gian yang terlihat biasa saja. Ia sungguh tak habis pikir dengan kakaknya ini.
"Gila ya. Nggak punya perasaan banget tuh orang." Ia masih tak percaya dengan sikap Gian. Sedangkan matanya sudah berkaca-kaca.
Entah kenapa hatinya ikut sakit melihat respon Gian yang di luar dugaannya.
...~@~...
"La, lemon jus nya satu ya." Pinta Rania pada Lula. Ia baru sampai di Resto.
"Iya mbak. Tunggu sebentar ya." Jawab Lula yang diangguki Rania.
Ia kemudian ikut bergabung bersama Dini, Tari, dan Winda yang sudah datang lebih dulu darinya.
"Hai.." sapanya yang dibalas juga oleh ketiga cewek hijabers itu.
"Anggi belum nyampe?" Tanya Rania yang mendapat gelengan dari ketiganya.
"Palingan bentar lagi." Kata Tari sambil mengaduk minuman di gelasnya.
Benar saja, tak lama Anggi datang sambil menenteng paper bag bermotif batik. Ia menghampiri mereka berempat.
"Eh, besok ada pameran seni di gedung Teater loh. Nonton yuk!" Ajak Winda.
"Nggi. Lo kan kosong nih besok. Ikut ya! Jarang-jarang loh." Ujar Winda pada Anggi.
"Hmmm, insya Allah deh. Gue usahain." Jawabnya yang membuat Winda tersenyum senang.
"Oke. Uuuuuhh." Winda memeluk Anggi dengan gaya manjanya.
Mereka kemudian membahas hal-hal lain. Namun, Anggi terlihat gelisah dan sering melirik Rania dengan perasaan gugup. Hal itu tak luput dari perhatian ketiga temannya yang lain.
"Rania." Panggil Reno dari arah ruang pribadi milik lelaki itu.
"Iya bang."
"Kesini sebentar." Perintahnya yang langsung dituruti Rania.
Rania segera menghampiri Reno setelah berpamitan pada keempat sahabatnya terlebih dahulu. Setelah ia berlalu, barulah Winda, Tari dan Dini memberondong Anggi dengan pertanyaan.
"Heh. Lo kenapa sih? Dari tadi gue liat lo gelisah aja." Tanya Dini.
"Iya. Aneh banget lo, Nggi." Tari ikut angkat bicara."
"Duuhh, gue tuh nggak enak banget sekarang. Gue,, gue juga ngerasa bersalah sama Rania." Jawabnya takut-takut jika kertiga temannya itu marah.
Winda, Tari dan Dini saling pandang karena tak mengerti dengan maksud ucapan Anggi barusan. Namun, detik berikutnya mereka terkejut mendengar kelanjutan penjelasan gadis behijab itu.
"Abang gue udah tau kalau Rania suka sama dia."
"Kok bisa sih?" Tanya Tari.
"Tadi pagi dia dengar gue telfonan sama Rania. Dan dia kayak penasaran gitu. Nah, abis itu gue punya ide buat mancing bang Gian karena gue yakin dia tuh juga suka sama Rania. Tapi setelah gue bilang, Bang Gian malah langsung pergi."
Mereka kemudian terperangah dan memilih menyandarkan punggungnya ke kursi. Hingga Rania kembali menghampiri mereka.
Rania menyadari keheningan diantara kelima orang didekatnya itu. Ia menautkan alisnya memandangi mereka satu persatu meminta penjelasan.
"Kenapa, sih?" Tanya Rania. " kok pada diem?" Tambahnya.
"Nggak apa-apa." Jawab Winda tersenyum kikuk.
...~@~...
Sementara Itu, di sebuah ruangan bernuansa putih abu-abu, Gian termenung sendiri bersandar di kursi kerjanya. Perkataan Anggi tadi pagi masih terngiang-ngiang di telinganya.
Ia pun heran dengan dirinya, kenapa hatinya merasa sakit saat mengetahui kalau Rania akan menikah. Bukankah ia hanya sekedar menyukai gadis itu karena ia sudah menganggapnya seperti adiknya sendiri.
Bohong, jika ia berfikir begitu. Kenyataannya yang ia rasakan lebih dari itu.
"Arggghh....." erangnya sambil meremas rambutnya.
"Rania. Nggak nyangka gue." Kemudian ia menggeleng menyadari kekonyolannya yang berbicara sendiri.
"Makin pusing gue." Gumamnya sendiri. Ia pun memijit pelipisnya.
Satu ide muncul di pikirannya. Ia akan menemui Adit meminta pendapat pada sepupunya itu. Bagaimana pun juga ia butuh Adit sebagai penasehatnya sekarang.
Tanpa pikir panjang lagi segera ia keluar dari ruangan bernuansa putih abu itu dan berjalan ke arah ruangan Adit yang berseberangan dengan ruangannya.
.
.
.
.
Hallo readers!!!
Gimana ceritanya? Maaf ya kalau ceritanya agak ngambang atau ngawur. Mohon dimaklumi ya.
Jangan lupa dilike dan komen ya!!!
🙄🙄🤗🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments