.
.
.
Tok tok....
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Gian. Ia menengok ke arah pintu yang mulai terbuka dan mendapati seorang gadis cantik dengan setelan modis di sana. Ia tersenyum ke arah Gian, sementara yang disenyumi tak berniat menanggapi.
Gadis itu perlahan melangkah ke arah dimana Gian kini sedang duduk sambil menatapnya datar. Ia tak suka dengan kehadiran wanita itu.
"Hai, Gian." Panggilnya sambil tersenyum percaya diri.
"Kenapa lo bisa disini?" Tanya Gian tak berniat basa basi.
"Aku kesini mau ketemu teman aku. Dan kebetulan banget aku ingat sama kamu. Ya, aku mampir deh." Jawab gadis itu.
"Dari mana lo tau kantor gue?" Gian mulai jengah dengan teman lamanya itu.
Melihat gelagat Gian yang seperti tidak suka dengan kehadirannya membuat gadis itu menunduk dan mengulum bibirnya.
"Kamu nggak suka ya aku datang kesini? Padahal aku senang banget ketemu kamu. Aku sayang sama kamu Gian." Katanya yang membuat Gian geram.
Benar-benar memalukan teman lamanya ini. Dengan terang-terangan ia mengatakan suka pada dirinya.
"Antikaa." Panggil Gian geram. "Gue udah bilang sama lo. Kalau gue udah punya PACAR. Jadi tolong jangan GANGGU gue." Katanya lagi dengan menekankan di kata pacar dan ganggu.
Antika merasa kesal, namun ia menahan dan berusaha bersikap lembut agar Gian merasa care padanya. Siapa tau hati Gian bisa terbuka untuknya, pikir gadis itu.
"Jadi, aku ganggu kamu, ya?" Tanyanya dengan nada yang dibuat-buat sedih. " ya udah deh. Aku pergi aja."
Antika bangkit dari kursi yang ia duduki dan berlalu meninggalkan ruangan benuansa abu-abu putih itu. Ia berharap Gian akan menahannya agar tak pergi. Namun, Gian tak berniat menahannya sedikitpun.
Belum habis bebannya karena gadis yang beberapa waktu belakangan ini selalu merasuki pikirannya, kini muncul lagi si pengganggu yang selalu dengan seenak hatinya muncul mengusiknya.
Gian mengusap kasar wajahnya sembari menggeram kesal tatkala Antika sudah menghilang di balik pintu. Bukan karena apa, ia memang tak memiliki perasaan pada teman SMA nya itu.
Di luar ruangan, gadis cantik yang baru saja keluar itu tengah mengomel sendiri. Ia tak sadar jika ada yang mengikutinya dan mendengarkan ocehan tak pentingnya itu.
"Iiiihh, sok jual mahal banget sih tuh orang. Sombong lagi. Untung gue cinta. Kalau nggak... hahh. Awas aja. Gue bakalan bikin lo bertekuk lutut sama gue nanti. Gimana pun caranya." Kata gadis itu geram.
Sedangkan orang yang berjalan di belakangnya hanya tersenyum meremehkan mendengar ocehan gadis itu. Ia pun menarik tali sling bag gadis itu yang digantung di bahu sebelah kirinya. Hal itu membuat si empunya tertarik ke belakang sambil memekik pelan.
"Aaa" pekik gadis itu tertahan.
"Heh, punya niat jahat ya lo sekarang mak lampir!!" Ujar Adit menatap tajam Antika yang terlihat gugup.
"A,,apa sih? Jangan asal nuduh deh." Ucapnya membela diri.
Adit tersenyum sinis. "Sekarang mending lo pergi dari sini. Enek gue lihat muka lo. Dasar cewek licik lo."
Antika dibuat ternganga mendengar ucapan lelaki di hadapannya saat ini. Bagaimana Adit bisa berkata seperti itu padanya, padahal selama ini ia selalu bersikap baik di hadapan lelaki itu dan teman-teman lainnya.
"Lo kenapa sih?" Teriaknya kesal. "Gue juga bakalan pergi tanpa lo suruh, ya." Katanya dengan menekan setiap katanya.
Dengan menahan rasa kesalnya, gadis berparas cantik itu melenggang pergi sambil mengibaskan rambutnya.
.
.
"Dia ngapain kesini?" Ujar Adit yang tiba-tiba masuk ke ruangan Gian tanpa mengetuk pintu.
Adit berjalan mendekat ke meja kerja Gian dan menatap lurus sepupunya itu.
"Huufft... nggak nyangka gue sama Antika. Barusan dia bilang suka sama gue." Kata Gian.
Adit tersenyum miring mendengar perkataan Gian. Ia sudah menyangka kalau Antika akan melakukan hal itu.
Deringan ponsel Adit memecahkan suasana di ruangan tersebut. Adit segera mengangkatnya karena Bundanya yang menelfon.
"Halo. Assalamu'alaikum. Ada apa Bun?" Tanya Adit to the point.
"Wa'alaikumsalam. Kamu dimana sekarang?"
"Lagi di kantor, sama Gian. Kenapa Bun?"
"Kamu jemput Nabil di Bandara ya. Abis itu langsung pulang sama Gian juga. Bunda abis bikin brownis pisang keju." Jelas bundanya.
"Oke Bun. Siap. Kalau gitu, Adit mau jalan dulu." Kata Adit yang kemudian mengakhiri obrolan mereka.
"Gue mau jemput Nabil di bandara sekarang." Kata Adit pada Gian yang masih memandangnya penuh tanya.
"Dia udah balik?" Tanya Gian yang diangguki oleh Adit.
"Oh iya, Bunda nyuruh ke rumah abis ini. Ada brownis kesukaan kita katanya." Adit menaik turunkan alisnya sambil tersenyum yang dibalas Gian dengan senyum juga.
.
*Di Butik
"Kamu ngapain kesini?" Tanya Rania bingung karena kedatangan Kevin yang tiba-tiba ke butik.
"Aku jemput kamu. Sekalian ajak kamu makan malam." Jawabnya.
Rania terdiam memikirkan sesuatu. Ia kembali teringat kejadian seminggu yang lalu dan hal itu membuatnya tersenyum paksa. Ia mencoba berpikir positif meskipun sejujurnya ia merasakan kejanggalan pada Kevin.
Saat hendak memasuki mobil, langkah Rania terhenti kala matanya menangkap seseorang yang baru saja memasuki mobil di dekat trotoar sana. Ia melihat hampir dengan jelas siapa orang itu. Ia hanya bisa menarik napas dalam.
"Rania." Panggil Kevin membuyarkan lamunannya. "Ayo!"
Rania mengangguk dan kemudian masuk ke mobil meskipun ia masih merasa penasaran dengan apa yang ia lihat barusan.
"Hilmi? Ngapain dia disana?" Pikirnya sambil melamun.
"Rania!" Panggil Kevin yang membuat Rania tersadar dari lamunannya.
"Eh.. iya." Jawabnya gugup.
"Kamu kenapa sih? Ngelamun aja dari tadi." Kata Kevin yang masih fokus menyetir.
"Nggak. Nggak apa-apa." Ia kemudian tersenyum kaku.
Kevin hanya tersenyum dan terdiam. Ia bingung harus mengobrol apa. Jujur saja ia sebenarnya ingin membahas masalah hubungan mereka. Namun, ia takut jika Rania akan tersinggung.
Setelah beberapa lama mereka sampai di sebuah restoran. Kevin memang benar ingin mengajak Rania makan malam. Meskipun sekarang baru hampir memasuki maghrib.
Mereka memilih untuk shalat maghrib terlebih dahulu yang memang di restoran tersebut disediakan tempat shalat. Setelah itu barulah mereka makan.
Keheningan menyelimuti suasana diantara mereka berdua yang fokus melahap makanan masing-masing. Hingga keduanya sudah selesai menyantap makan malamnya, Kevin mulai membuka suara.
"Rania. Aku mau ngomong sesuatu." Ujar Kevin nampak ragu.
"Ya, ngomong aja." Jawab Rania polos.
Kevin terlihat menghembuskan napas kemudian menatap wajah polos Rania.
"Bagaimana perasaan kamu sama aku?" Tanya Kevin membuat Rania ikut menatapnya.
"Aku,, aku,, kenapa kamu tanya itu?"
Kevin mendengus lelah sambil memejamkan matanya. Ia kemudian meneguk minuman yang tersedia untuknya.
"Kenapa kamu terima lamaran Papaku?" Tanyanya yang kali ini dengan wajah serius.
Rania mengalihkan pandangannya ke bunga yang ada di hadapan mereka.
"Karena aku sudah siap menikah. Lagipula menikah itu sunah Rasul. Mama juga udah nanya-nanya kapan aku nikah." Jawab Rania. "Karena aku juga ingin belajar melupakan cinta pertamaku"
"Tapi, kamu belum ada rasa apapun sama aku. Kenapa kamu memilih menerimanya?" Tanya Kevin lagi membuat Rania menghela napas panjang.
"Nggak ada pilihan. Papa ingin aku menikah sama kamu. Aku terima karena aku berpikir mungkin kamu memang jodoh yang ditakdirkan Allah untuk aku." Jawab Rania yang membuat Kevin bungkam.
Kevin memejamkan matanya. Pusing dengan situasi yang saat ini terasa rumit baginya. Bagaimana ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Rania sebelum semuanya terjadi dan mereka benar-benar menikah.
Memang ada benarnya yang dikatakan Rania, namun entah kenapa ia merasa ragu pada gadis itu. Hatinya benar-benar telah memilih Clara.
"Sekarang aku yang mau nanya. Kenapa kamu ngelamar aku? Padahal kita nggak pernah kenal kan sebelumnya?" Tanya Rania .
Mungkin inilah saatnya ia mengatakan semuanya pada gadis berhijab dihadapannya ini, yang sudah menyandang status sebagai calon istrinya.
"Sebenarnya,, aku.." perkataannya terhenti karena Suara seseorang yang memanggil nama Kevin.
"Kevin!"panggil orang tersebut sambil melambaikan tangannya.
"Fian?" Gumam Kevin.
Orang yang dipanggil Fian itu berjalan menghampiri meja mereka. Kemudian mereka berjabat tangan yang hanya dilihat oleh Rania.
"Oh iya, kenalin ini Rania. Ran, ini Fiandri teman aku. "
Rania menyatukan telapak tangannya di depan dada membuat Lian yang telah menyodorkan tangannya salah tingkah.
Fian ikut duduk bersama mereka. Ia berbincang bersama Kevin dan sesekali bertanya-tanya pada Rania. Mereka mengobrol lama, hingga tanpa mereka sadari Rania sudah bosan dengan situasinya sekarang.
...~@~...
Reno, Aldo dan Hilmi sedang asik bermain games di gadget mereka tatkala Rania mengetuk pintuk kamar Reno.
"Bang, pinjam laptop dong. Laptop aku lagi dicharge." Ujar Rania
"Pake aja." Jawab Reno yang masih asik dengan gamesnya.
"Hai Do, Mi." Sapanya dengan senyum sumringah.
"Hai Kak. Ciee yang udah ketemu jodoh. Langgeng ya." Ucap Aldo yang dibalas tawa oleh Rania.
"Aamiin. Makasih ya" ucapnya, namun mukanya berubah heran ketika melihat Hilmi yang terlihat acuh.
Rania menatap Hilmi lama ingin memastikan apakah benar sahabat abangnya yang sudah menjadi sahabatnya itu sedang cemberut. Ia pun menghembuskan napas kasar melihat hal itu.
Ia juga teringat sesuatu dan berniat menanyakannya pada Hilmi.
"Hilmi.!"panggilnya hati-hati.
"Hmm." Jawab Hilmi dengan deheman.
"Ihh lihat kek, orang mau gomong juga."omelnya kesal.
Hilmi menatapnya jengah. "Iyaa. Apa?"jawabnya acuh.
"Kamu tadi kemana? Kok aku ngeliat kamu di depan butik tadi?"
Hilmi terlihat kaget setelah mendengar pertanyaan Rania namun ia berusaha bersikap tenang.
"Nggak. Nggak ada. Salah liat kali lo."elaknya.
Rania terlihat berpikir. "Ah. Masa sih. Padahal bajunya sama, terus mirip. Mobilnya juga sama." Jawab Rania yakin.
Hilmi memutar bola matanya jengah. Entahlah, lelaki itu terlihat tak senang menanggapi Rania saat ini. Ia merasa kecewa karena Rania akan menikah dengan orang lain.
Jujur saja saat ini ia masih mencintai sahabatnya itu. Meskipun ia sudah berusaha membuang perasaannya.
Ia diam saja ketika Rania menunggu jawabannya. Namun, gadis itu merasa jengkel karena tak kunjung bersuara.
"Hilmi. Iihh. Kenapa sih. Ngeselin tau nggak." Marahnya yang hanya dibalas tatapan sinis oleh Hilmi.
Reno dan Aldo yang menyaksikan hanya menggeleng kepala. Mereka mengerti bagaimana perasaan Hilmi saat ini. Ia jelas patah hati dengan kabar pernikahan Rania, sahabat yang sudah lama ia suka.
Oke....
Jangan lupa like dan komennya. Karena komentar dari Readers itu penting buat aku koreksi ceritanya nanti.
Thank you.!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments