Gian memasuki mobil setelah berpamitan kepada pengurus Pondok Pesantren Darus Salam, tempat ia dulu pernah mengecap pendidikan hafidz dan seni Al-Qur'an disana.
Saat hendak melewati halaman depan ia melihat Reno, Sahabatnya semenjak mereka remaja di Pondok ini dulu. Ia pun langsung menghentikan mobilnya dan meneriaki nama Reno yang membuat pemuda itu menoleh padanya.
"Reno." Panggilnya sambil tersenyum kecil.
Reno menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dan ia tersenyum heran dan tak menyangka akan bertemu Sahabatnya itu disini.
"Gian." Gumamnya dan menghampiri Gian yang sudah turun dari mobil.
"Apa kabar Lo?"tanya Gian saat mereka bersalaman dan berpelukan.
"Alhamdulillah gue baik. Wiihh,, Lo makin keren aja. Gimana bisnis Lo?"
"Ya, Alhamdulillah lancar. Tapi, begini lah. Makin susah waktu buat nongkrong sama kumpul di rumah."
Mereka tertawa kemudian setelah mendengar kabar masing-masing.
"Oh iya, Lo kesini..??" Tanya Reno sambil menautkan alisnya.
"Oh, gue cuma kangen aja sama suasana di sini. Mumpung lagi ada proyek di dekat sini kan." Jawabnya
"Oh, trus Lo sendirian? Bawa pasangan kek sekali-sekali." Canda Reno diiringi tawanya.
"Jomblo bro.." jawab Gian yang kemudian ikut tertawa.
"Eh, sori banget. Gue harus balik. Udah malam juga soalnya."
"Gak nginap aja?" Tanya Reno
"Gak deh. Kapan-kapan aja. Besok pagi gue kerja."
Reno mengangguk. "Oke. Kalau gitu hati-hati ya."
"Iya, makasih. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam"
Gian memasuki mobil kembali dan berlalu meninggalkan Reno yang masih diam memandanginya. Namun, saat ia sudah melajukan mobilnya, tak sengaja ia melihat Rania yang juga menatapnya sedang berdiri di depan pintu rumah Ustadz Bandi.
Ia hanya bisa memandang gadis itu. Jujur saja ia sedikit terkejut saat mendapati Rania berada disana. Karena ketika bertemu Reno ia tak terpikir tentang Rania sedikitpun.
.
.
Rania menatap sendu pemandangan di luar sana. Ia sedang berada di teras ruman Ustadz Ahmad. Tadinya ia hendak ke luar menuju tempat anak-anak santri belajat tilawah al-qur'an. Namun, langkahnya terhenti saat tak sengaja melihat Reno.
Ia terus memandang interaksi kedua pemuda itu. Entah kenapa dadanya terasa sesak. Rasanya ia ingin berteriak mengatakan bahwa dirinya mencintai lelaki itu. Tapi, tak mungkin.
Matanya mulai memanas. Namun, ia tahan hingga ia tersentak ketika, lelaki yang tadi berbicara dengan abngnya itu menoleh padanya sembari berlalu dengan mobil yang melaju meninggalkan area pesantren.
Rania segera berlalu berbalik dan masuk ke dalam rumah kembali. Dengan terpaksa ia mengurungkan niatnya untuk ke pondok.
.
.
Gian menyetir pelan. Entah kenapa wajah Rania yang menatapnya tadi terbayang dipikirannya. Ia beristighfar saat sadar apa yang ia lakukan.
Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, lelaki 25 tahun itu sampai di rumahnya. Ia memarkir mobil di garasi. Dengan wajah lelah ia memasuki rumah minimalis yang tidak terlalu mewah itu.
Ia mendapati Mama, Papa dan sang Adik yang sedang menonton TV d ruang tengah. Ia ikut bergabung setelah menyalami kedua orang tuanya.
"Gimana, Ian. Kamu ketemu Ustadz Ahmad kan?" Tanya Papa Gian yang memang memanggil Ustadz Bandi Sebagai Ahmad karena memang itu nama awalnya.
"Iya Pah. Ketemu kok. Dan katanya nitip salam buat Papa sama Mama."
"Wa'alaikumsalam" jawab Papanya.
"Aku ke kamar dulu, udah gerah banget. Oh iya, Selasa Gian mau ke Kalimantan, Pah. Teman Gian nikah. Jadi, kayaknya Gian butuh bantuan Papa karena Adit juga ikut." Pintanya pada sang Papa.
Pak Faris mengiyakan permintaan anaknya itu. Kemudian Gian bangkit dari duduknya hendak beranjak ke kamar. Namun, ia sempatkan untuk merebut biskuit yang ada ditangan Anggi dan melahapnya tanpa permisi.
Anggi jengkel melihat kelakuan sang Kakak yang sering menjahilinya, meskipun terkadang Gian bersikap dingin dan cuek.
"Abang ihh. Maling tau nggak..." Kesalnya sambil menghentakkan kaki.
Gian tak menggubrisnya dan malah meneruskan langkahnya menaiki tangga.
Sedangkan Mama dan Papanya hanya menggeleng sambil tersenyum melihat kedua anaknya.
Sesampai di kamar Gian langsung melepas sepatu dan juga kemeja yang ia gunakan. Kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang terasa lengket karena keringat yang seharian ini memenuhi tubuhnya.
Hanya butuh kurang lebih 6 menit bagi Gian untuk mandi dan ia keluar dari kamar mandi sudah lengkap dengan kaos oblong dan celana rumahan selutut. Ia kemudian merebahkan tubuh lelahnya di benda empuk yang terbentang indah.
Ia memejamkan mata merilekskan pikirannya. Namun, tiba-tiba ia membuka mata dan menatap menerawang ke langit-langit kamar.
Ia teringat kembali gadis cantik berhijab yang tadi sempat mencuri perhatiannya. Ingin sekali ia menghampirinya, mengajaknya mengobrol atau setidaknya bertegur sapa.
Namun, tak mungkin. Ia masih belum cukup keberanian untuk mendekati gadis itu. Mengingat Rania adalah adik dari sahabatnya yang sangat disayang oleh Reno, dan juga Anggi adalah sahabat Rania.
Ia sangat tahu bagaimana Reno sangat menjaga sang adik, dan Anggi pun begitu. Mereka saling menjaga satu sama lain. Bukan karena siapa yang berani atau penakut, tapi mereka sahabat. Dan sudah berteman dari kecil.
Gian bangun dan memilih untuk turun mengambil air putih untuk melepas dahaganya. Sesampai di ruang tengah ia hanya melihat sang adik yang masih asik menonton TV.
Ia melihat siaran sudah diganti dengan sinetron yang menurutnya ceritanya sangat tidak masuk akal itu. Ia sendiri bingung dengan para pecinta sinetron yang lebay menghayati setiap adegan. Padahal sudah jelas itu hanya setingan.
"Dek. Kenapa belum tidur??" Tanya Gian yang ikut duduk di samping Anggi.
"Belum ngantuk. Abang sendiri kenapa kesini? Katanya capek?" Ucapnya terdengar mengejek diakhir kalimat.
"Tadinya mau ngambil minum, tapi setelah liat kamu disini, Abang jadi pengen gangguin kamu."katanya sambil menarik turunkan alisnya.
Anggi mendelik malas mendengar ucapan Abangnya. Ia semakin kesal saat melihat Gian yang tanpa permisi meneguk air putih miliknya yang masih tersisa setengah botol diatas meja.
Anggi bingung dengan Gian. Terkadang abangnya itu jahil, kadang juga dingin dan cuek.
"Isiin lagi tuh." Sahut Anggi yang seketika membuat Gian menghentikan aktivitas minumnya.
Ia menatap Anggi dari sudut matanya dan kemudian meneguk habis air putih itu. Lalu tanpa rasa bersalah ia menaruh botol tersebut dan berlalu dengan santai ke kamar nya.
"ABAAANG,,," teriaknya. "Dasar jomblo karatan" gumamnya kesal.
Sementara Gian tersenyum puas setelah mengerjai adik kesayangannya itu. Ia bahagia melihat kekesalan Anggi karena memang hanya dengan itu ia bisa menghilangkan kegalauannya karena masalah hati.
.
.
Gian Pov.
Aku masih setia berkemul di dalam selimut tebalku saat mendengar deringan ponsel di nakas. Aku tak menghiraukannya. Aku juga tak tau kenapa rasanya malas sekali untuk membuka mata. Kepalaku sedikit pusing karena itu aku memilih tidur kembali setelah shalat subuh.
Benda pipih itu terus saja berdering membuatku kesal dan dengan terpaksa harus mengangkatnya. Benar saja, yang menelfon adalah Adit.
Dengan malas aku menjawab panggilan darinya.
"Iya.. gue baru bangun."
"Ya ampun Ian. Lo baru bangun jam segini? Jangan bilang Lo ga inget kalau kita ada rapat hari ini. Besok kita mau ke nikahannya si Beni bro."
"Gue bukannya ga ingat. Tapi, cuma lupa. Lagian sekarang gue lagi gak enak badan Dit. Pusing banget gue."
"Hahhh.. terserah deh. Gua tutup. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam"
Aku tidur kembali karena pusing yang aku rasakan belum mereda. Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhku. Mungkin aku kelelahan karena dua hari kemaren harus mengejar waktu.
Rasanya aku hanya ingin istirahat hari ini tanpa ada gangguan dari manapun.
.
.
Sekian dulu part ini.
Jangan lupa dilike ya.🤗🤗🤗🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments