Di sebuah ruangan yang bernuansa abu-abu putih terlihat seorang lelaki yang tengah fokus pada layar monitor di depannya. Tangannya tak henti menari-nari diatas keyboard PC tersebut. Ia terlihat sibuk sekali.
Lelaki itu Gian Hasbi Pranata. Seorang arsitek muda yang sukses dan kini karir bisnisnya itu sedang lancar-lancarnya.
Gian adalah seorang yang terbilang taat beragama dan ramah. Ia tidak membeda-bedakan untuk dekat dengan siapapun.
Contohnya saja dengan karyawannya. Ia tidak bersikap arogan dan menjaga jarak dengan bawahannya.
Aditia Putra Hadli adalah sepupu yang merangkap menjadi sekretaris dan penasehatnya mengenai masalah hati.
Kenapa Adit bisa menjadi sekretarisnya? Jawabannya adalah dikarenakan saat merekrut sekretaris baru Adit kebetulan sedang tidak ada job dan hanya duduk santai di rumah.
Adit adalah seorang fotografer. Dulu Ia sangat hobi mengambil gambar dan selalu mencoba berbagai gaya jepretan.
Hingga akhirnya pun ia menekuni hobinya itu sebagai profesi disamping membantu sepupunya di kantor.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.40. Gian mematikan dan menutup laptopnya. Ia mengeluarkan benda pipih kekinian itu dari saku celananya.
“lo dimana?” tanyanya pada seseorang di seberang telepon.
“...................”
Gian bangkit dari duduknya. Namun, baru saja ia hendak melangkah pergi, kakinya tidak sengaja menyenggol paper box maroon di rak bawah meja hingga isinya berserakan. Gian langsung mengumpulkan isi paper box tersebut dan memasukkannya kembali.
Tapi, gerakannya terhenti saat melihat benda kecil yang juga berada diantara isi box tersebut. Gian menyentuhnya, menatap benda itu lama.
Benda itu, kalung perak dengan berliontinkan lumba-lumba. Mungkin hanya benda biasa, namun sangat berarti baginya dan mungkin bagi si pemilik.
Sudah hampir 5 tahun semenjak ia menemukan benda itu berserakan di lantai bersama beberapa lainnya yaitu sapu tangan kecil berwarna biru toska, buku catatan harian berwarna biru, miniatur kura-kura kecil dari stainlees.
Gian masih menyimpan benda itu. Ia tahu siapa pemiliknya, namun entah kenapa hatinya enggan untuk mengembalikannya segera. Dan sekarang, sudah hampir tiga tahun mereka tak pernah lagi bertemu.
Tak bisa dipungkiri, Ia merindukan gadis itu, senyuman dan tawa lucunya yang selalu membuatnya ikut tersenyum, meskipun harus sembunyi-sembunyi. Gadis kecil dan cantik yang telah berhasil mencuri hatinya.
Bukan kisah tentang jatuh cinta pada pandangan pertama yang terjadi ketika dua insan tak sengaja bertemu. Lalu, mereka menjadi dekat karena berbagai kebetulan yang mendukung.
Tapi, perasaannya timbul karena memang terbiasa. Terbiasa karena setiap hari harus bertemu, melihat senyumnya dan sifat manjanya yang kadang membuatnya menggeleng.
Itu dulu, sekarang jangankan melihat senyumnya, bertemu saja tidak pernah. Ia benar-benar merindukannya saat ini.
Dan kini, ia tak memungkiri ungkapan 'cinta ada karena terbiasa'. Memang sudah terbukti pada dirinya sendiri.
Namun, hatinya masih ragu. Apakah benar ia sudah mencintainya. Atau hanya sebatas kagum.
“woii,” Tiba-tiba Adit mengagetkannya. Lamunannya buyar seketika.
“katanya nungguin di kantin. Eh, ternyata disini. Ngapain sih lo bengong begini.” Ujar Adit yang kemudian tak sengaja melihat kalung yang dipegang Gian.
“ooohh,,, ternyata lagi nostalgia nih.” Sindirnya sambil melemparkan tatapan mengejeknya pada Gian yang masih diam.
“apaan sih.” Gian terlihat salah tingkah. “udah yuk. Keluar.” Ajaknya mengalihkan pembicaraan.
Adit kembali tersenyum sinis melihat sikap sahabatnya itu. Ia tahu kalau selama ini Gian memiliki perasaan pada Gadis kecil yang ia tau dulu sempat mengagumi Sahabatnya. Hanya saja ia masih meragukan perasaannya sendiri.
Bahkan saat Ia sudah berusaha meyakinkannya, Gian masih saja mengelak dengan berbagai alasan. Walaupun Adit sudah merecokinya dengan berbagai wejangan-wejangan, tapi Gian masih saja diam tanpa bertindak sedikitpun.
“Ian, lo nggak cemas apa, kalau tiba-tiba nanti pas ketemu tuh cewek, dia udah punya pacar?" ujar Adit yang dibalas tatapan tajam oleh Gian.
Entah kenapa ia merasa kesal dengan perkataan Adit barusan. Tapi, ia lebih memilih diam, karena yang ia tahu gadis itu bukan tipe wanita yang mau berpacaran.
Karena itu ia lebih memiih menunggu dari pada harus mengajaknya menjalin hubungan yang dilarang agama tersebut.
Sesampai di kantin, mereka duduk di meja yang masih terdapat dua kursi kosong disana dan Adit langsung memesan makanan.
Gian masih terdiam mencerna kata-kata Adit tadi. Jujur saja apa yang dibilang Adit tadi mengganggu pikirannya.
“Ian.” Panggilnya membuatnya tersadar dari lamunan Gian.
“hmm...”
“gue tau lo sebenarnya suka kan sama dia. Tapi, gengsi aja.” Adit mencoba memancing Gian.
“gue nggak gengsi.” Gian menyangkal
“trus, kalau nggak gengsi apa?”
Gian menarik napas dalam dan menlepasnya.
"Gue juga nggak ngerti sama perasaan gue sendiri"
Adit menatap Gian tak percaya. Sudah selama ini dan sepupunya yang kelewat pintar itu masih belum sadar juga sama perasaannya.
Ingin rasanya ia mengguncangkan kepala manusia di depannya ini agar otaknya tak lelet lagi dalam urusan perasaan. Tapi, itu tak mungkin ia lakukan.
Gian kembali diam, apa yang dikatakan Adit barusan terngiang-ngiang di benaknya. Perkataan Adit benar-benar menyentil hatinya.
...~@~...
Suasana kantin sudah terlihat ramai. Para karyawan di kantor Gian memang sedang makan siang bersama.
Saat mereka tengah asik menikmati makan siangnya tiba-tiba Anggi datang dan bergabung bersama mereka.
Syamila Anggraini, biasa dipanggil Anggi. Adik kandung Gian, tapi lebih manja pada Adit karena memang Adit itu lebih humoris dan juga lebih sering menjahilinya.
“halo abang-abangku tersayang.” Sapanya dengan gembira.
“halo adikku yang bawel.” Ujar Adit sambil memasang ekspresi menggemaskan menatap Anggi. “sama siapa lo kesini?” tanya Adit sambil menyendok makanannya.
“sendiri.” jawabnya sambil tersenyum imut.
“jalan kaki?” tanya Gian yang ikut bersuara.
“ya, nggak lah. yang ada ngesot aku pas nyampe sini.” Jawabnya yang kemudian meneguk jus jeruk milik Adit hingga membuatnya terbengong.
Gian beralih memainkan smartphone nya. Ia terlihat serius sambil men-scrooll layar ponselnya. Sesekali ia terlihat memikirkan sesuatu dan sesekali mengangguk.
“trus naik apa kesininya?” tanya Adit yang ditujukan pada Anggi.
“nebeng sama teman.”
“cowok apa cewek?” kali ini Gian yang menyahut.
“ya cewek lah. Kalo cowok, yang ada kalian berdua pada ngomel kan” jawabnya membuat Gian mencebikkan bibirnya.
Anggi tersenyum kikuk melihat reaksi Gian. ia tau kalau Gian tidak akan suka saat dirinya mengatai abangnya itu. Mereka kemudian mengobrol bertiga. Sesekali Adit mengusili Anggi yang membuat gadis 23 tahun itu kesal.
Hingga suasana berubah hening. Mereka sibuk dengan kegiatan dan pikiran masing-masing.
“Oh, iya. Bang Gian, aku mau minjam flashdisk yang kemaren, soalnya kemaren aku lupa buat mindahin drakornya.” Ujar Anggi.
“kamu, ya. Suka banget nonton cowok-cowok cantik itu. Nggak berfaedah banget.” jawab Gian yang terlihat jengah dengan dengan adiknya itu. “ambil sana di laci”
“oke.” jawabnya langsung beranjak pergi meninggalkan dua pemuda jomblo tersebut.
...~@~...
Di ruangan Gian, Anggi bersenandung berjalan menuju meja kerja milik abangnya itu. Ia langsung saja menarik lacinya, dan kemudian matanya mulai mencari keberadaan benda kecil itu. Dan dapat.
Anggi berniat untuk segera pergi dari ruangan yang kelewat monoton menurutnya. Namun, kakinya tak sengaja ia menyenggol paper bag maroon di dekat kaki meja.
Benda itu menarik perhatian Anggi. Ia pun berjongkok dan mengambil paper bag tersebut. Mukanya berubah seperti tak percaya dengan apa yang ia dapati saat ini.
Benda pertama yang ia lihat adalah miniatur kura-kura, dan juga,,, kalung lumba-lumba. Dua benda itu membuat Anggi mengernyit seperti mengingat sesuatu. Ya, iya ingat. Bahkan sangat ingat.
“ini,, ini,, bukannya..” Sambil memungut kalung tersebut dan mengangkatnya. “lumba-lumba ini.." Gumamnya.
“apa ini punya Rania...” gumamnya yang masih berpikir dan memperhatikan kalung itu.
Ia kemudian berniat ingin mengambil benda lain yang masih ada di dalam paper bag itu. Terlihat seperti buku. Ia benar-benar penasaran.
Namun, suara gagang pintu mengagetkannya dan membuat ia segera memasukkan kembali kedua benda tersebut ke tempatnya.
Gian melangkah santai ke arah meja kerjanya tanpa merasa curiga dengan gerak-gerik Anggi. Ia lalu langsung mengambil beberapa berkas di rak yang terletak di belakang meja kerjanya. Kemudian Anggi pamit pulang setelah menyadari keterdiamannya.
...~@~...
Setelah pamit pada abangnya, Anggi langsung saja pergi dengan rasa penasarannya. Ingin sekali ia menanyakannya pada Gian langsung. Namun, entah kenapa rasanya mulutnya untuk mengatakan langsung.
"Aku yakin banget itu kalungnya Rania. Tapi,, kenapa bisa sama abang??" Pikirnya dengan kernyitan di keningnya yang mulus itu.
"Aku harus cari tahu." Gumam Anggi masih dengan rasa penasarannya...
...~@~...
...
...
...Holla!!!!...
🤓
Jangan lupa like nya ya!!!!
~ silvifuji
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments