Ting...
Bunyi notifikasi WhatsApp mengalihkan perhatian Rania dari buku novel yang ia baca.
Winda: Raniaku cintaku sayangku sedang apa dirimu sekarang???
^^^Aku lagi d kamar baca buku...☺️^^^
Winda: 🙁🙁gak usah pake emot senyum. Gue tau Lo lagi sedih padahal kan!!
^^^Gak Win.. aku gak lagi sedih kok.^^^
Dini: heh.. mulut mercon. Lo sok tau banget sih. Jangan kompor deh. @Winda
Deby: iya.. Winda kenapa sih? Siapa tau Nia bahagia kan mau nikah sama cowok ganteng. Jangan bikin Nia jadi galau dong 😒
Winda: what's..siapa yang bikin sedih sih. Kan gue cuma nanya. Siapa tau aja kan Sahabat kita frustasi banget karena tiba2 ada yg lamar, terus gantung diri deh d pohon toge...😉
Tari: Diniiiiii.....dasar Lo ya. Mulut tuh asal ngoceh aja. Gue sumpel juga pake kresek bekas gorengan, mau Lo.
Winda:ehhehe... Gue bercanda doang kok.
Tari: 😒
Deby : 😒
Dini: 😒
Winda: 😉😉😉 tenang2.. gua minggat, bye!!!
Tari: kebiasaan. @winda
...~@~...
Rania hanya menggeleng kepala melihat serentetan perdebatan sahabat-sahabatnya itu. Ia hanya mampu tersenyum tanpa berniat lagi untuk membalas obrolan mereka.
Hingga suara notifikasi pesan pribadi membuatnya mengerutkan dahinya. Elina mengirim sebuah pesan padanya. Dengan sekali pencet layar itu sudah menampilkan pesan WhatsApp dari sahabatnya itu.
Elina: Niaa,, beneran kamu ada yg ngelamar??
^^^Iyaa^^^
Setelah satu kata itu dibaca oleh Elina, ia tercengang melihat panggilan masuk dari sahabatnya itu. Rania ragu untuk menjawab. Namun, tak ada pilihan lain.
"Wa'alaikumussalam."
"Kamu beneran dilamar? Sama siapa? Ganteng nggak orangnya? Terus kamu mau?.." serobot Elina saat sudah diangkat oleh Rania.
"Nanyanya satu-satu dong El."
"Oke,,,, siapa orangnya?"
"Gak tau."
"Jadi, kamu dijodohin gitu??"tanya Elina lagi dengan suara yang ditinggikan. "Ya elah. Ini bukan jaman siti Nurbaya kali ya."
"Aku juga gak tau El. Tiba-tiba aja Papa bilang gitu. Lagian kalau aku nolak, juga gak bisa. Papa gak Nerima penolakan."
"Ya udah. Yang sabar ya Ran. Semoga ini yang tebaik."
"Iya, El. Makasih ya."
Rania mengakhiri pembicaraannya. Ada notifikasi lagi dari,, Anggi. Membuatnya kembalj terdiam.
Seandainya dulu aku nggak ketemu kamu, seandainya aku gak pernah liat kamu,,, seandainya aku gak langsung jatuh hati sama kamu. Cinta ini salah...
Seandainya Ya Allah,, seandainya aku gak cinta sama dia. Mungkin gak akan sesakit ini saat aku harus mengakhiri kesendirianku dengan orang lain. Sedangkan kamu adalah orang yang selama ini aku harapkan. Tapi, Aku salah jatuh cinta sama kamu...
Rania membatin dengan air mata yang kembali mengalir deras di pipinya.
Ia masih mengabaikan panggilan telepon dari Anggi karena ia lebih fokus pada pemandangan di luar sana.
Gerimis yang entah sejak kapan turun membasahi bumi. Alam saja seperti mendukung keadaan hatinya saat ini.
"Kak.." Clara tiba-tiba sudah berada di kamarnya.
"Kak Anggi tuh. Kok gak dijawab??" Katanya lagi.
Rania segera menghapus air matanya tanpa menoleh pada adiknya.
"Wa'alaikumussalam, Nggi."
"gue udah baca chat grup tadi. Apa benar yang dibilang Winda?"
"Iya, Nggi. Papa bilang gitu."
"gue nggak ngerti deh. Kenapa lo bilang kata Papa lo?"
Rani mendesah, menghembuskan napasnya panjang.
"Papa bilang kalau ada temannya yang mau aku nikah sama anaknya. Dan aku gak kenal sama sekali Nggi. Aku gak tau harus gimana. Aku gak punya pilihan selain terima lamarannya, karena Papa gak mau aku nolak. Alasannya dia Sahabat Papa dari lama." Jelas Rania.
"Dan lo yakin mau nerima gitu aja? Apa gak ada jalan lain buat nolaknya Ran?"
"Aku udah pusing mikirin ini. Dan aku bakalan terima karena aku gak mau bikin Papa kecewa." Jawab Rania menahan kesal.
"Dan mungkin ini takdir dari Allah."
Anggi terdengar kembali menghembuskan napas pasrah mendengar keputusan sahabatnya itu. Ia juga tak mungkin bisa berbuat apa-apa.
...~@~...
"Kak, aku mau ke Pondok sama Abang sama Oma juga. Kakak mau ikut nggak?" Tanya Clara hati-hati takut membuat kakaknya marah atau bagaimana.
"Kapan berangkatnya?"
"Sekarang. Mumpung masih sore."
"Iya deh. Kakak ikut."
"Oke. Aku tunggu di bawah."
Rania menatap kepergian adiknya yang menghilang dibalik pintu. Ia bangkit dari ranjang untuk mengambil barang-barang yang sekiranya perlu untuk ia bawa.
Al-Qur'an kecil itu salah satunya. Barang penting yang selalu ia bawa. Selain memang wajib membacanya, itu juga benda yang berharga untuknya. Ada rahasia tersendiri yang tak diketahui siapapun selain ia dan Sang Pencipta.
Rania menuruni anak tangga dengan santai tanpa tergesa-gesa. Ia kemudian langsung menghampiri sang Mama yang duduk di ruang tengah bersama Oma dan Bi Sum.
Rania duduk di samping sang Mama dengan memeluk malaikat tanpa sayapnya itu. Ia betah sekali untuk bermanja-manja dengan Mamanya. Oma dan Bi Sum hanya bisa tersenyum melihat kelakuan gadis berhijab 23 tahun itu.
"Masih manja aja ya kamu" kata Oma meledeki cucu tersayangnya itu.
"Biarin. Orang emang butuh kasih sayang dari Mama kan"jawabnya dengan nada manja seperti anak kecil.
Mereka hanya menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah Rania.
"Ya udah, kita berangkat sekarang. Keburu Maghrib ntar." Oma mengingatkan Rania.
Dengan tak rela ia melepas pelukan hangat itu.
"Nia berangkat , Ma. Jangan lupa telfon."katanya
"Lo kira mau ke Pekanbaru. Cengeng banget Lo." Ledek Reno yang sudah berada di belakang mereka.
Rania hanya menatap sinis pada Abang kandungnya itu.
"Bi aku pergi dulu." Pamitnya juga pada Bi Imah.
Mereka kemudian berangkat ke Pesantren milik keluarga mereka yang menempuh perjalanan selama 2 jam dari rumah.
Sepanjang perjalanan Rania hanya termenung meskipun Clara sesekali menyinggung namanya saat berbiacara dengan Oma. Ia duduk di depan, sedangkan Clara di belakang bersama Oma.
Ia menyadari Reno yang sesekali meliriknya. Tapi, ia hanya melemparkan senyum sebagai isyarat bahwa ia baik-baik saja.
Reno kembali fokus menyetir, hingga mereka sampai tepat saat Adzan Maghrib berkumandang. Mereka langsung melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam dengan shalat berjamaah di Mesjid yang ada di Pesantren itu.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments