.
.
Detak jarum jam yang terus berputar mengisi keheningan di dalam ruangan bernuansa biru itu. Terlihat seorang gadis berhijab tengah duduk melamun di sofa kecil yang menghadap ke jendela. Gadis itu memandang lurus ke luar jendela.
Hanya diam yang bisa ia lakukan. Gadis itu Rania. Gadis malang yang kisah kasihnya benar-benar miris. Kisah cintanya begitu rumit. Mengingat apa yang baru saja terjadi padanya, membuat siapapun seakan tak percaya dengan sikapnya saat ini.
Sudah beberapa hari semenjak kebenaran itu terungkap. Dan selalu seperti ini, ia selalu melamun saat teringat kenyataan yang sudah terjadi.
Rania benar-benar patut dijuluki sebagai wanita kuat dan sabar. Ia masih bisa bersikap tenang setelah mengalami patah hati berkali-kali.
Meskipun ia tak marah pada Kevin atau pun pada keadaan, tapi ketahuilah bahwa ia benar-benar rapuh saat ini. Hanya saja ia berusaha untuk menahan selagi hatinya masih bisa bertahan dengan keadaan.
Ia menarik napas dalam seraya tersenyum dan memejamkan matanya.
" aku ikhlas dengan apa yang terjadi, Ya Rabb. Apapun itu, aku yakin sudah Engkau tetapkan sebaik-baiknya . Engkau lah yang Maha Tahu segalanya Ya Allah.." ia tersenyum tipis menahan gejolak di dadanya.
Ia memang tersenyum, tapi hati dan matanya tak bisa berbohong. Setetes bulir bening jatuh di pipinya setelah menggenang tertahan oleh ketegarannya.
Segera ia menghapusnya setelah ia menyadari sesuatu. Hari ini ia ada janji dengan pelanggan. Ia harus segera berangkat ke butik. Jam pun sudah menunjukkan pukul 10 kurang 7 menit.
.
.
Sementara di tempat lain, Gian sedang dalam perjalanan menuju Resto 3R untuk menemui sahabatnya Reno.
Awalnya ia terlupa akan kenyataan bahwa Rania adalah adik kandung sahabatnya, Reno. Namun, disaat ia kalut setelah berpikir cukup lama bagaimana caranya menyelesaikan masalah yang ia alami dengan Rania, akhirnya ia teringat bahwa Reno lah orang yang tepat untuk ia temui saat ini.
Langsung saja ia menyambar kunci mobil dan ia bergegas untuk menuju ke Resto milik Reno.
Sesampai disana, ia menanyakan Reno pada Lula yang sedang bertugas di Kasir. Kemudian Lula mengantarnya ke ruang kerja Reno.
"Silahkan, mas." Ujar Lula setelah memberitahukan pada Reno ada temannya yang ingin bertemu.
"Iya. Makasih."ucapnya dan kemudian memasuki ruangan dihadapannya.
"Assalamu'alaikum."ucapnya tatkala sudah melewati pintu berwarna coklat tersebut.
"Wa'alaikumsalam. Gian. Ternyata elo." Reno tersenyum hangat menyambut kedatangan Gian.
Mereka berjabat tangan dan saling berpelukan. Kemudian, Reno memprsilahkan Gian untuk duduk.
"Rame terus ya." Kata Gian berbasa-basi.
"Ya, alhamdulillah. Oh, ya. Lo gimana? Kerjaan lancar kan?"
"Alhamdulillah juga sih. Sekarang lagi banyak proyek." Kata Gian yang diangguki Reno.
Suasana hening sesaat dan terlihat Gian yang berubah tegang.
"Oh ya. Gue kesini ada yang mau gue omongin sama lo." Kata Gian dengan tatapan gugup, hal itu membuat Reno menatapnya penasaran.
"Gue minta maaf sebelumnya, No. Kalau lo gak bakal suka sama apa yang gue katakan."
"Maksud lo apa sih, Ian?" Reno mengernyit bingung.
Gian menghela napas, entah kenapa ia tiba-tiba menjadi sangat gerogi.
"Gue.. gue.. mau ngelamar adik lo, No." Ucap Gian dengan mata terpejam di akhir kalimatnya.
Reno menatapnya tak percaya. Ia tak menyangka kalau perasaan adiknya akan berbalas. Tapi, tunggu dulu. Ia belum tau apa inisiatif Gian yang tiba-tiba ingin melamar adiknya.
Dan juga, ia belum tau adiknya yang mana yang dimaksud oleh Gian. Ia tak mau gegabah dengan pikirannya sendiri. Cukup sekali saja kesalahpahaman itu terjadi.
"Gue nggak tau siapa yang lo maksud mau lo lamar. Dan gue nggak akan marah juga. Tapi, tolong lo katakan dengan jelas, Ian."
Jujur saja, saat ini Reno benar-benar berdebar. Ia cemas jika yang ingin dilamar Gian adalah Clara. Karena, jika memang, pasti Rania akan semakin kecewa.
"Reno. Gue suka sama Rania. Dan gue udah yakin mau nikahin dia. Gue tau sudah terlambat. Tapi, gue ..." perkataan Gian terpotong karena suara gagang pintu yang terbuka.
Gian dan Reno menoleh ke arah pintu. Mereka terdiam mendapati Rania yang menatap mereka. Rania menatap Gian sendu.
Namun, sesaat kemudian ia kembali menutup pintu dan berlalu pergi. Gian dan Reno hanya bisa saling pandang sebelum Gian tiba-tiba bangkit dan berlari ingin mengejar Rania.
Reno bersandar di sofa sambil mengusap wajahnya gusar. Di satu sisi ia senang, namun di sisi lain, ia cemas akan munculnya masalah baru melihat bagaimana reaksi Rania saat melihat Gian barusan.
Ia memejamkan matanya karena tiba-tiba pusing melandanya.
.
.
Rania sedang berdiri mematung di belakang pintu toilet Restoran. Satu-satunya tempat yang ada di pikirannya saat ingin menghindar dari Gian dan Reno. Ia tak yakin apakah diantara kedua lelaki itu ada yang mengejarnya. Namun, yang pasti pikirannya tadi langsung tertuju pada toilet yang terletak berseberangan dengan ruang kerja Reno.
Ia menatap kosong dinding di depannya. Jantungnya berdetak tak karuan. Ingin rasanya ia berteriak saat ini juga, namun rasanya itu tak berguna.
"Kenapa dia ada disini?" Gumamnya terdengar sangat pelan.
Dadanya sesak. Bagaimana bisa seperti ini. Jika saja boleh memilih, ia tidak akan membuat janji dengan kliennya tadi di sini. Mungkin di butik atau di kafe lain.
Tapi, apa ini takdir dari Allah, ia harus bertemu dengan Gian?. Rasanya ia ingin menangis, namun air matanya saja sudah tak bisa keluar.
.
.
Gian kebingungan mencari keberadaan Rania. Ia sempat bertanya pada Lula apakah Rania tadi keluar dari Resto ini. Namun, jawaban Lula membuatnya kecewa. Ia tak melihat Rania keluar.
Kini ia sedang di mobil hendak menuju ke butik Rania. Satu-satunya tempat yang ia harapkan ada gadis itu disana.
Gian mengambil ponsel di saku celananya hendak menelfon gadis itu, tapi satu hal yang ia sesali, dirinya tidak memiliki nomor ponsel gadis tersebut. Ia mengeram kesal. Segera ia menekan nomor Reno.
"Gimana, Ian? Ketemu?" Tanya Reno begitu panggilan terjawab.
"Nggak, No. Gue minta tolong lo kirimin nomor HP Rania sekarang, ya." Pintanya.
"Oke. Lo tunggu sebentar."
Beberapa saat setelah panggilan berakhir, sebuah pesan masuk dari Reno. Benar, isinya adalah nomor kontak Rania. Segera saja, Gian mendial nomor tersebut.
Tepat setelah nada tunggu ketiga, panggilannya dijawab. Terdengar suara seorang wanita di seberang sana tengab mengatur napasnya.
"Assalamu'alaikum. Maaf Mbak, saya agak telat. Tapi, saya sudah pesan meja nomor 12 tadi. Mbak tunggu saya sebentar ya." Kata wanita di seberang sana yang terdengar menahan gugup.
Gian hanya diam mendengarkan tanpa berniat membalas. Ia langsung mematikan panggilannya dan memutar kemudi mobil kembali ke Restoran.
"Jadi, dia belum pergi dari sana." Gumam Gian dengan senyum miringnya.
.
.
Rania pov
Aku benar-benar tak menyangka akan bertemu dengannya di sini. Padahal aku sudah berusaha untuk melupakannya.
Yang ada di pikiranku tadi hanya toilet saat melihat pintunya yang terbuka. Segera saja aku berlari memasuki toilet yang tak jauh dari ruangan Bang Reno. Hanya untuk menenangkan diri saja. Karena aku juga tak berharap untuk dikerjar oleh mereka berdua seperti di film-film.
Aku nggak tau lagi harus gimana. Mau nangis, tapi air mataku sudah tak bisa lagi untuk keluar. Sejenak aku memejamkan mata untuk menetralkan detak jantungku yang sudah seperti habis lari maraton.
Setelah cukup lama berdiri, aku mencuci muka agar pikiranku juga kembali lebih segar. Setelahnya, aku memberanikan diri untuk keluar, bagaimanapun keadaannya nanti.
Toh, juga Bang Gian nggak tau kan kalau selama ini aku menyukainya diam-diam. Dan juga Bang Reno nggak mungkin bilang sama dia.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, panggilan dari nomor tak dikenal. Aku teringat dengan klien yang sudah janjian dengan ku hari ini. Langsung saja aku mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum. Maaf Mbak, saya agak telat. Tapi, saya sudah pesan meja nomor 12 tadi. Mbak tunggu saya sebentar ya." Kataku langsung tanpa menunggu dia mengomeliku karena sudah menunggu lama.
Namun, tak ada jawaban. Hanya keheningan dan tiba-tiba panggilan diputus. Aku hanya mengangkat bahu acuh. Mungkin gangguan jaringan.
Aku merapikan penampilanku sebentar. Kemudian, dengan mantap aku keluar dari toilet.
Sesampai di luar, aku memandang sekeliling dan melihat belum ada yang mengisi meja nomor 12.
Aku pun berjalan kesana. Dan tiba-tiba ponselku kembali berdering. Ada notifikasi pesan wa yang kulihat isinya ternyata dari klienku tadi. Ternyata ia tidak bisa datang karena harus ke rumah sakit mengantar Ibunya yang baru saja terkena serangan jantung.
Aku hanya bisa menghembuskan napas lelah. Tak boleh mengeluh.
"Lebih baik sekarang aku ke tempat Debby aja." Gumamku sendiri.
Akupun menyetop taksi yang lewat. Namun, saat taksinya sudah hampir sampai di depanku, aku melihat sebuah mobil berhenti di depan Resto. Kulihat Bang Gian yang keluar dari sana dan memanggilku.
Aku tak menghiraukannya dan segera memasuki taksi. Entah kenapa aku tak ingin bertemu dengannya saat ini. Dan menjauh mungkin adalah pilihan yang tepat.
.
.
Debby sedang memantau perkembangan toko rotinya ketika Rania muncul memasuki toko. Ia tersenyum memandang langkah demi langkah sahabatnya itu menghampiri.
"Assalamu'alaikum." Sapa Rania setelah berhadapan dengan Debby.
"Wa'alaikumussalam. Apa kabar Ran?" Sapa gadis cantik berhijab pasmina krem itu sambil memeluk Rania.
Mereka memang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Debby sangat sibuk akhir-akhir ini karena ia sudah membuka 2 toko cabang.
Setelah taksi yang ia tumpangi tadi melaju, Rania mengarahkan kepada supir taksi untuk mengantarnya ke Sweet Day Cake and Bakery. Akan lebih baik baginya jika ia ke tempat Debby. Toh, Gian tak akan mengejarnya.
"Kamu mau pesan kue atau roti gitu?" Tanya Debby.
Rania tersenyum, Ia pun bingung harus melakukan apa disini.
"Mm,, aku pesan sepiring coklat cake aja." Jawabnya yang diangguki oleh Debby.
"Oke, tunggu bentar ya." Rania balas mengangguk.
Ia kemudian memilih duduk di salah satu meja dengan 2 kursi yang berhadapan. Jujur saja ia sangat bimbang. Tak tau harus berbuat apa.
Harusnya ia senang karena Gian menyapanya. Dan bahkan lelaki itu seperti ingin berbicara dengannya. Tapi, sikapnya malah sebaliknya. Ia lebih memilih menghindar.
Debby datang dengan nampan berisi sepiring coklat cake dan dua gelas susu coklat hangat. Ia sudah hafal minuman yang disukai Rania. Dan saat ini yang tepat adalah susu coklat, karena akan ditemani coklat cake.
"Nih, Ran. Silahkan dinikmati tuan putri.." canda Debby menghangatkan suasana.
"Makasih." Jawab Rania sedikit manja.
Debby duduk memilih duduk di bangku yang berada di depan Rania. Mereka mulai mengobrol.
"Kamu kenapa sih, Ran? Murung gitu. Ada masalah lagi?" Tanya Debby yang terlihat heran dengan sikap Rania.
"By. Aku,, aku nggak baik-baik aja sekarang." Ujar Rania pelan.
Ia menatap Debby sendu. Debby menyentuh tangan sahabatnya itu. Ia berniat menguatkan Rania akan masalah yang dihadapinya. Ia mengerti kondisi Rania saat ini.
"Aku ngerti Ran. Tapi, coba cerita sekarang masalahnya apa lagi? Apa yang bikin kamu jadi semakin terpuruk begini?" Tanya Debby prihatin.
"Setelah pernikahanku batal, aku pikir semua masalahnya udah selesai. Tapi, ternyata nggak By. Hatiku malah makin sesak. Rasanya aku makin nggak kuat By." Jelasnya yang mulai serak.
"Dia tiba-tiba muncul di depan aku. Aku merasa takdir seakan menginginkan aku selalu bertemu dengannya. Aku nggak sanggup By. Aku harus gimana lagi sekarang?" Bulir bening menetes di pipi Rania.
"Kamu yang sabar ya Ran. Kamu pasti bisa ngelewatin semua ini. Kita bakalan selalu ada buat kamu. Kamu tenang aja." Kata Debby menguatkannya.
"Makasih ya By." Katanya.
.
.
Bersambung....
Adakah yang lebih sakit dari patah hati. Walaupun ada, tetap saja semua kesakitan itu adalah rasa. Rasa yang Allah berikan untuk menguji seberapa kuat manusia itu. Akan kah ia mampu melewatinya.....
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments