...Aku bahagia dan sakit disaat yang bersamaan. Sakitku karena dia telah mengatakan kebenaran yang tak kuduga. Bahagiaku saat melihat dia bersamanya. Karena aku menyayanginya....
...~Rania Zahrani...
.
.
*Di Rumah keluarga Rania.
"Papa bisa pulang nggak? Ada yang mau Rania omongin sama Papa, Bang Reno sama Clara juga." Kata Rania kepada sang Papa lewat telepon.
"Apa sangat penting?" Tanya Pak Aryo yang terdengar heran.
Rania memejamkan matanya mencoba untuk tetap tenang. Meskipun rasanya ia ingin menangis sejadi-jadinya saat ini juga. Sementara Bu Sari masih menatap bingung sang anak yang belum menjelaskan apapun padanya.
Benar, begitu sampai di rumah, Rania langsung mengajak Mamanya ke ruang tengah dan langsung menelfon Papanya.
Ia hanya bilang ingin berbicara dengan semua anggota keluarga kecilnya itu. Perasaan tak nyaman melingkupi Bu Sari tatkala melihat raut wajah Rania yang terlihat sendu.
"Sangat penting, Pah. Rania tunggu Papa di rumah." Jawabnya.
Kemudian sambungan terputus setelah mereka mengakhiri pembicaraan dengan salam.
"Sebenarnya kamu mau bicara tentang apa, sayang? Jangan bikin Mama penasaran, deh." Kata Bu Sari
"Nia mau bahas mengenai pernikahan Nia, Mah. Makanya kita tunggu Papa, Abang sama Rara dulu." Kata Rania yang tersenyum setelahnya.
Entah kenapa Bu Sari merasa tersentuh melihat Rania. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi. Karena, gelagatnya yang terlihat berbeda setelah kembali dari rumah Kevin.
Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya Pak Aryo datang disusul oleh Clara dan Reno. Mereka bertiga memandang Rania bingung.
"Ada apa, Dek?" Tanya Reno yang mulai buka suara.
"Nia mau bicara soal pernikahan Rania. Kayanya Nia nggak bisa melanjutkan rencana pernikahan ini." Kata Rania yang membuat mereka semua terkejut bukan main, kecuali Reno.
Reno hanya merubah posisinya menjadi bersandar pada punggung sofa. Ia sudah menduga hal ini bisa saja terjadi. Karena, memang ia sudah tau alasan Rania memutuskan hal ini.
"Kenapa, nak? Kamu kan sudah menerimanya." Kata Pak Aryo yang tak terima namun masih dengan suara lembut dan penuh harap.
"Nia nggak bisa Pah. Karena,,," Rania ragu untuk melanjutkan perkataannya. Ia pun menatap Clara ragu.
"Karena Kevin nggak cinta sama Rania. Dia sari awal suka sama Rara." Bukan Rania yang menjawab, tapi Reno.
Rania sendiri terkejut mendengar jawaban Reno. Ia tak menyangka kalau Abangnya itu sudah tau.
"Jadi,, Abang udah tau?" Reno mengangguk.
"Kak..." panggil Rara pada Rania dengan perasaan tidak enak.
Rania hanya tersenyum, namun masih jelas raut kecewa di matanya. "Kamu mau terima Kevin?" Tanya Rania.
Clara hanya diam. Sedangkan Papanya terlihat menahan kekesalan. "Rania, jangan sembarangan kamu. Papa nggak mau semuanya jadi kacau. Kamu akan segera menikah sama Kevin. Dan nggak bisa dibatalkan begitu saja." Kata Papanya penuh penekanan.
"Tapi, Pah. Kevin sendiri yang bilang kalau dia suka sama Clara. Dan sebenarnya waktu itu yang mau dia lamar itu Clara bukan Rania." Jelas Rania lagi.
...~@~...
Sementara di lain tempat, Kevin sedang gelisah di tengah kemacetan. Ia sedang di perjalanan menuju ke rumah Keluarga Aryo. Setelah menjelaskan semuanya pada Mamanya tadi, ia langsung pergi ke rumah Rania. Ia akan menjelaskan semuanya dan menyelesaikan masalah ini.
Jujur saja ada rasa bersalah melingkupi hatinya saat ini. Mengingat perkataan Reno tadi malam saat ia memberitahukan kalau sebenarnya ia ingin menikahi Clara bukan Rania.
Flashback
Reno menatap intens Kevin dihadapannya. Setelah mengantar Rania pulang, ia menghubungi Reno ingin berbicara berdua saja. Dan setelah Rania mengambil laptop di kamar Reno, barulah lelaki itu pergi menemui calon adik iparnya tersebut.
Hanya ia dan Kevin yang tau pertemuan mereka. Karena ia hanya mengatakan pada Hilmi dan Aldo kalau dirinya ingin melihat Resto.
"Bang, gue mohon maaf sebelumnya. Mungkin lo akan marah setelah gue mengatakan hal ini. Tapi, jujur gue udah gak tau lagi gimana caranya menahan diri gue untuk nggak bilang."
"Maksud lo apa? Mending langsung ke intinya aja." Kata Reno.
"Sebenarnya orang tua kita salah paham, bang. Gue waktu itu sebenarnya mau ngelamar Clara bukan Rania. Tapi, Papa salah paham dan malah ngelamar Rania."
Reno menautkan alisnya. Entah kenapa ia merasa terenyuh setelah mendengar perkataan Kevin.
Rania akan kecewa lagi. Bagai terkena hantaman, hatinya sakit saat membayangkan bagaimana sulitnya adik pertamanya itu untuk berusaha menerima pernikahan ini, namun ia harus gagal.
Ia memilih diam tanpa mau menyanggah perkataan Kevin. Ia ingin mendengar dulu apa yang akan dikatakan calon adik iparnya itu selanjutnya.
"Gue tau sekarang udah terlambat buat bilang, karena 3 minggu lagi pernikahan. Tapi, gue nggak mau kalau nanti gue nyakitin Rania karena pasti gue nggak bakal bisa mudah untuk mencintai Rania, sementara gue selalu ketemu Clara."
"Gue minta tolong, bang. Tolong bantu gue ngomong karena gue takut bakal bikin Rania tersinggung." Kevin mendesah lelah.
Sebenarnya ia bisa saja memukul Kevin saat ini. Tapi, tak ada gunanya. Ini tentang perasaan. Tak bisa dipaksakan. Ia mengusap wajahnya gusar.
"Gue marah, Vin. Tapi, gue nggak bisa menghakimi lo. Karena ini masalah hati." Kevin tertegun.
"Rania pasti kecewa, Vin. Gue kasihan banget sama adek gue. Dia belum pernah bahagia sama masalah percintaannya." Kata Reno menerawang.
"Gue pikir, ini adalah awal kebahagiaan dia. Dia udah berusaha nerima pernikahan kalian. Gue tau sulit buat dia, Vin. Karena, dia itu dari dulu suka sama teman gue, tapi dia nggak mau ngasih tau sama siapapun. Nggak ada yang bisa bikin dia jatuh cinta selain Gian. Tapi, semenjak lamaran itu, gue lihat dia makin hari makin murung, makin sering ngelamun."
"Gue tahu dia nggak bisa terima, tapi dia masih mikirin Papa. Dan semenjak itu dia berusaha buka hati biar bisa cinta sama lo, Vin. Tapi,, yaa.. begini.." Reno tersenyum paksa.
Kevin yang melihat itu semakin merasa bersalah. Apalagi melihat mata Reno yang sedikit berkaca-kaca. Ia tak menyangka bahwa Reno begitu menyayangi adiknya. Bahkan sangat tau tentang Rania.
.
.
Kevin memarkir mobilnya di halaman rumah minimalis milik keluarga Aryo. Ia langsung bergegas menuju pintu depan untuk memasuki rumah tersebut.
Setelah turun dari mobil, kebetulan Bu Sari keluar membawa kantong kresek berisi sampah. Dengan segera Kevin menghampiri wanita 48 tahun tersebut.
Hal itu membuat Bu Sari terbengong kaget melihat kedatangan calon menantunya. Ia pun membalas sungkeman Kevin yang telah menyatukan tangannya di depan dada.
"Assalamu'alaikum Tante. Rania ada?" Tanyanya dengan sungkan.
"Wa'alaikumussalam. Ada. Silahkan masuk. Dia lagi sama Clara di ruang tengah"
Kevin mengangguk kemudian pamit untuk masuk. Sesampai di ruang tamu yang terhubung dengan ruang tengah, Kevin terlihat ragu untuk menghampiri Rania dan Clara. Ia mendadak menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, namun matanya langsung bersirobok dengan tatapan sendu Rania.
Gadis itu menatapnya sendu. Jelas sekali kekecewaan terpancar dari matanya. Namun, ia berusaha tersenyum.
"A..Assalamu'alaikum." Ucapnya.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Rania dan Clara hampir serentak.
Mata Clara membulat menyadari yang datang adalah Kevin. Lelaki yang membuatnya merasa bersalah pada Kakak kandungnya sendiri.
Dengan langkah ragu, Kevin menghampiri keduanya dan mulai membuka suara. Ia akan membicarakan masalah ini baik-baik.
"Rania.. aku mau bicara sebentar." Rania pun tersenyum yang membuat Kevin semakin merasa bersalah.
"Iya." Jawab Rania singkat.
"Rania aku minta maaf. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. Tapi,,," kata Kevin yang terlihat menyesal.
"Udah Vin. Nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Perasaan nggak bisa dipaksain kan. Aku baik-baik aja kok. Oh, iya. Sekarang kamu harusnya bicara sama Rara. Aku mendukung kalian berdua, kok." Kata Rania tenang yang diiringi kekehan.
Kevin dan Clara tak habis pikir dengan Rania. Mereka saling pandang sesaat. Hingga Rania pamit untuk pergi ke kamarnya.
"Aku mau ke kamar dulu. Kalian silahkan bicara. Tapi, ingat jangan macam-macam. Belum sah loh." Canda nya diiringi kekehan.
Hal itu sontak membuat Clara tak bisa lagi dapat menahan air matanya. Terbuat dari apa hati kakaknya ini. Ya Allah. Rara benar- benar merasa bersalah saat ini. Ia menatap sendu punggung wanita berhijab itu yang mulai hilang menyusuri tangga.
Masih saja Rania tertawa sedangkan jelas sekali hatinya sedang benar-benar hancur.
Sementara Kevin, menatap iba pada Clara. Ia yakin jika hubungan mereka sangat dekat dan baik. Juga dengan Reno, saudara laki-laki mereka satu-satunya.
"Ra... Bisa kita bicara?" Ujar Kevin yang membuat Clara teralihkan dari lamunannya.
Ia mengusap air matanya yang sudah turun deras semenjak kepergian Rania tadi.
"Iya." Jawabnya.
.
.
Di lain tempat, Gian sedang ada meeting bersama beberapa karyawannya. Namun, ia terlihat tidak fokus mendengarkan presentase dari Yasmin yang tengah menjelaskan proyek pembangunan di Kalimantan.
Ia melamun sambil memegang pulpen yang ujungnya ditempelkan ke keningnya. Adit pun berdehem karena sudah beberapa kali Yasmin meminta pendapatnya, namun tak ia hiraukan.
Tanpa menunggu persetujuan dari Gian yang merupakan kepala perusahaannya, Adit pun membubarkan meeting karena memang sudah selesai.
"Ian." Panggilnya namun tak juga dihiraukan lelaki itu.
"Ian. Woii!!" Panggilnya lagi dengan suara yang naik satu oktaf.
Membuat Gian terkejut seketika. Ia pun mengusap wajahnya sambil mendengus.
"Udah selesai?" Tanyanya bingung melihat ruangan yg hanya tersisa dirinya dan Adit.
"Hahh... udah dari tadi lah. Lo bengong aja sih. Masih kepikiran?" Tanya Adit
Gian hanya diam yang dianggap Adit sebagai jawaban iya. Ia pun tersenyum miring. Lalu, ia mengambil ponsel dan menekan nomor kontak Anggi. Dalam 2 detik, panggilan tersambung dan terdengar sapaan dari aeberang telepon.
"Wa'alaikumsalam. Kamu dimana, Nggi?"
"................."
"Oohh. Gitu. Bangdit mau nanya. Tapi kamu tolong jawab jujur." Kata Adit santai namun menyiratkan keseriusan.
"......"
"Apa benar yang kamu bilang sama Gian kemaren? Kalau teman kamu Rania itu suka sama Gian?" Tanya Adit to the point.
Hanya terdengar helaan napas dari seberang. Gian terdiam lesu. Entahlah. Ia seperti tak punya semangat saat ini. Namun, jawaban dari Anggi membuat wajahnya berbinar seketika.
"Jadi bener?" Tanya Gian menyerobot.
"Abang???" Terdengar gumaman dengan nada terkejut dari Anggi. Dan lamgsung saja Anggi mengakhiri telepon setelah mengucap salam.
"Gimana? Seneng kan lo?" Tanya Adit meledeknya.
Gian menaikkan alisnya bangga. Entah kenapa sekarang ia sangat bersemangat dan tak sabar untuk segera mendapatkan gadis pujaannya. Ia masih ingat dengan jelas perkataan Anggi bahwa gadis pujaan hatinya itu tak mencintai lelaki yang sekarang menyandang status sebagai calon suaminya.
Ia pun bertekad akan membebaskan Rania dari keterpaksaan tersebut. (Lebay banget...) Ia tahu kalau sebenarnya tidak boleh melamar atau pun mendekati wanita yang sudah dilamar orang lain. Namun, entah kenapa untuk saat ini hatinya berkata lain.
Ia harus memperjuangkan cintanya untuk Rania sekarang. Karena dirinya yakin, Rania bukan jodoh lelaki itu. Entahlah perasaan dari mana.
Tak henti-hentinya ia tersenyum bahagia hingga membuat Adit menjadi geli sendiri menyaksikan tingkah sepupunya itu.
Ia pun menepuk bahu Gian dan beranjak sambil menyemangatinya.
Please like my story.....
Support kalian semangat untukku readerss..
👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏👏
@fuji_ps25
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments