Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai

Angin malam membawa aroma tanah basah. Di atas atap rumah Juno, empat remaja duduk berjajar tanpa banyak bicara. Langit malam itu jernih, bintang-bintang menggantung seolah ikut mengawasi kegelisahan mereka. Di bawah, dunia masih seperti biasa sibuk menilai, sibuk menekan, sibuk membungkam.

Nala memeluk lututnya. Tatapannya kosong menembus langit. Telepon ancaman yang diterimanya tadi siang masih berputar di pikirannya. “Kami pastikan kalian tidak lulus tahun ini.” Kalimat itu terus bergema di benaknya.

“Apa kita terlalu jauh?” tanya Nala akhirnya, pelan.

Dita menoleh. “Kalau terlalu jauh artinya sudah di luar batas, mungkin justru itu tandanya kita mulai menyentuh hal yang benar-benar penting.”

“Jadi kita teruskan?” Juno ikut bicara.

Raka menghela napas. “Kita sudah di tengah-tengah badai. Kalau berhenti sekarang, semuanya sia-sia.”

Sejak forum terbuka itu, semua berubah. Beberapa guru mulai mengubah pendekatan, dan siswa mulai percaya bahwa suara mereka bisa didengar. Tapi bersamaan dengan itu, tekanan pun meningkat. Surat pemanggilan, penyebaran hoaks, hingga ancaman.

Tapi satu hal yang pasti suara mereka tak bisa dihentikan.

Esok harinya, suasana sekolah lebih sunyi dari biasanya. Bisik-bisik beredar cepat. Beberapa guru bahkan terlihat enggan menyapa mereka. Di sisi lain, beberapa siswa diam-diam memberikan jempol atau sekadar tatapan penuh dukungan.

Namun di tengah ketegangan itu, kabar besar datang dari luar sekolah: podcast Gagal Paham diundang sebagai narasumber dalam webinar pendidikan nasional yang diadakan oleh salah satu organisasi pendidikan independen.

“Serius? Nasional?” Dita sampai berdiri dari tempat duduknya saat membaca email itu.

“Ini bukan webinar receh. Pembicaranya ada dosen, aktivis, bahkan eks menteri pendidikan,” jelas Juno, matanya berbinar.

Nala membaca ulang emailnya. Mereka diminta menjadi pembicara di sesi bertajuk “Suara dari Sekolah: Perspektif Generasi Z tentang Pendidikan yang Manusiawi”. Hanya 20 menit waktu bicara, tapi itu lebih dari cukup.

Malam sebelum webinar, mereka berkumpul di rumah Raka. Masing-masing membawa catatan dan ide.

“Aku pengen bahas soal sistem nilai. Gimana angka-angka itu nggak selalu ngasih gambaran tentang siapa kita,” kata Dita.

“Aku bakal bahas soal bagaimana guru harusnya bisa jadi fasilitator, bukan penguasa kelas,” tambah Nala.

Juno diam sebentar, lalu berkata, “Gue pengen cerita dari sudut seni. Bahwa kreativitas kita kadang dibunuh pelan-pelan karena dianggap nggak penting.”

Raka menyodorkan draft susunan pembicaraan. “Aku tutup dengan poin tentang ruang aman. Bahwa sekolah harus jadi tempat tumbuh, bukan tempat takut.”

Malam itu, mereka tidak hanya menyiapkan bahan bicara. Mereka menyiapkan suara.

Hari webinar tiba. Mereka tampil dari satu ruangan kecil yang mereka atur seperti studio. Background sederhana bertuliskan “Gagal Paham Suara dari Dalam Sekolah”.

Ketika sesi mereka dimulai, jumlah penonton langsung naik cepat. Di kolom komentar, muncul ratusan pesan dukungan:

> “Akhirnya, suara siswa didengar.”

“Kalian mewakili kami.”

“Ini lebih jujur daripada pidato siapa pun di atas sana.”

Mereka berbicara jujur. Tentang tekanan. Tentang keheningan yang mematikan. Tentang kekerasan verbal yang dianggap biasa. Tentang bagaimana sekolah menghapus keunikan demi keseragaman.

Dan semua itu mereka sampaikan bukan dengan marah-marah, tapi dengan hati-hati, dengan empati.

“Banyak dari kami ingin bicara, tapi takut. Kami tidak ingin memberontak. Kami hanya ingin dimanusiakan,” tutup Nala.

Sesi itu berakhir dengan tepuk tangan virtual dan kolom komentar yang meledak.

Tapi setelah webinar, badai kembali datang.

Kepala sekolah memanggil mereka berempat ke ruangannya. Suasana tegang, tak ada senyum basa-basi.

“Saya tahu kalian merasa punya suara. Tapi kalian sudah melewati batas,” katanya tajam.

“Kami hanya menyampaikan yang kami alami, Pak,” jawab Raka.

“Dan kalian memalukan institusi ini di depan publik nasional,” lanjutnya. “Kalian pikir itu keren?”

Dita menahan napas. Tapi kali ini, Nala bicara dengan tegas, “Lebih memalukan lagi kalau kami diam saat kami tahu sesuatu itu salah.”

Kepala sekolah menatap mereka tajam. “Kalian akan menerima surat peringatan keras. Dan kami akan mempertimbangkan kelulusan kalian jika ini terus berlanjut.”

Tak satu pun dari mereka gentar. Ancaman itu bukan hal baru. Tapi sekarang mereka punya lebih banyak teman, lebih banyak dukungan, lebih banyak suara.

Podcast mereka terus berjalan. Setiap episode kini ditunggu. Judul-judul seperti “Guru yang Gagal Paham”, “Nilai Bukan Segalanya”, dan “Apa Arti Taat?” menjadi trending di beberapa platform audio.

Suatu hari, mereka menerima voice note dari seseorang yang tidak mereka kenal. Seorang ibu guru dari daerah terpencil.

> “Saya mendengarkan podcast kalian diam-diam. Dan saya menangis. Karena selama ini saya merasa bersalah jadi bagian dari sistem yang menekan murid. Terima kasih sudah bicara. Terima kasih sudah membuat saya sadar.”

Pesan itu membuat mereka menangis bersama.

Namun badai berikutnya datang lebih nyata.

Akun Instagram mereka diretas. Semua unggahan hilang. Nama akun diubah. Bahkan logo podcast diganti dengan gambar hinaan.

Juno yang pertama tahu. “Anjing. Akun kita diacak-acak!”

“Aku backup semua episode podcast kita, aman,” kata Raka sambil buru-buru membuka laptop.

Namun serangan itu membuktikan satu hal: ada yang benar-benar ingin mereka berhenti.

Tapi suara tak bisa dihapus begitu saja. Mereka membuka akun baru. Dalam semalam, ribuan followers kembali mengikuti. Komunitas yang mereka bangun lebih kuat dari sebelumnya.

Di sekolah, situasi makin tidak menentu. Kepala sekolah mencoba membungkam mereka dengan membuat aturan baru: “Dilarang menyebarkan konten opini yang mencemarkan nama baik sekolah.”

Namun para siswa sudah sadar. Banyak yang mulai ikut menulis, membuat video, bahkan menyebarkan tulisan anonim di mading.

Satu tulisan berbunyi:

> “Kami bukan angin ribut. Kami hanya jendela yang selama ini tertutup, akhirnya terbuka. Dan itu menakutkan bagi mereka yang nyaman dalam gelap.”

Di tengah semua itu, Juno tiba-tiba menghilang beberapa hari.

Raka mendatangi rumahnya. Ibunya berkata Juno sakit. Tapi wajah sang ibu tampak gelisah.

Ketika akhirnya Juno kembali, wajahnya terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya.

“Ada apa, Jun?” tanya Dita.

Juno hanya duduk, menunduk, lama diam. Akhirnya ia berkata lirih, “Kemarin ayahku dipanggil ke kantor polisi. Katanya karena podcast kita... katanya aku bisa kena pasal penyebaran hoaks dan mencemarkan institusi pendidikan.”

Hening. Hati mereka seperti dihantam palu besar.

“Tapi aku nggak akan berhenti,” lanjut Juno, pelan tapi yakin. “Kalau ini harus dibayar mahal, aku akan bayar. Karena suara kita, bukan cuma buat kita.”

Dan malam itu, mereka merekam episode dengan judul: “Suara yang Tak Pernah Usai”.

Dita membacakan tulisan pendek:

> “Kita dibentuk untuk diam. Diajar menunduk. Disuruh patuh. Tapi suatu hari, kita sadar, suara adalah hak, bukan dosa. Bicara bukan melawan. Mengkritik bukan membenci. Dan diam... adalah bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri.”

Nala menambahkan, “Kami tahu, ini belum selesai. Tapi kami juga tahu, suara kami sudah menyeberang batas. Dan suara yang sudah keluar, tak bisa ditarik kembali.”

Episode itu menjadi yang paling banyak didengar.

Suara mereka kini tak hanya diputar lewat earphone siswa. Tapi masuk ke ruang guru. Masuk ke rapat-rapat dinas. Bahkan, masuk ke ruang makan keluarga-keluarga yang selama ini tak pernah mau mendengar cerita anak-anak mereka.

Karena suara ketika jujur, ketika tulus akan selalu menemukan jalannya sendiri.

Dan suara mereka tak akan pernah usai.

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!