Pagi itu, suasana sekolah lebih tenang dari biasanya, seolah badai yang kemarin mengoyak aula besar telah berlalu dan menyisakan reruntuhan emosi. Namun di balik senyum basa-basi para guru dan tatapan heran teman-teman sekelas, para “pelaku podcast” tahu bahwa kedamaian itu hanya ilusi. Karena di dunia maya, badai justru sedang memuncak.
Setelah forum orang tua yang penuh perdebatan itu viral, potongan-potongan videonya tersebar luas. Bukan hanya di Instagram dan TikTok, tapi juga di akun-akun besar edukasi dan politik di Twitter, YouTube, bahkan Reddit.
Satu video menunjukkan Nala berdiri lantang mengatakan, “Kami bukan ingin menghancurkan sekolah, kami hanya ingin didengar.”
Video lainnya memperlihatkan Juno berkata pelan, “Jika kejujuran adalah dosa, maka kami siap menanggungnya.”
Lalu potongan suara Dita yang lirih, “Kami murid, bukan mesin yang disuruh diam dan tunduk.”
Netizen menyambut mereka... dengan dua wajah.
---
Di Instagram, komentar-komentar bermunculan:
> “Anak zaman sekarang makin kurang ajar. Sekolah dikasih gratis, eh malah demo.”
> “Salut buat anak-anak ini. Akhirnya ada yang berani buka suara soal bobroknya sistem pendidikan.”
> “Dita itu yang rambutnya diwarnain ya? Pantes aja kelakuannya...”
> “Gue jadi pengen denger podcast mereka. Link-nya dong?”
Beberapa akun publik figur ikut berkomentar. Ada selebgram pendidikan yang membela, menyebut mereka "bibit perubahan". Tapi ada pula influencer konservatif yang menyindir, “Cuma mau viral aja, ujung-ujungnya endorse skincare.”
Nala duduk diam di kelas, membuka kolom komentar di ponselnya, lalu menutup lagi. Komentar tentang wajah, suara, dan penampilan fisiknya terlalu menusuk. Tidak peduli bahwa yang ia perjuangkan adalah hak murid untuk didengar — netizen tetap melihatnya sebagai bahan hinaan, bukan manusia.
---
Dita lebih parah. Ia menangis diam-diam di toilet sekolah setelah membaca komentar-komentar tentang penampilannya. Foto lamanya diedit dan dipasang berdampingan dengan caption penuh sarkasme.
> “Nggak bisa jawab soal matematika, bisanya cuma nyinyir di podcast.”
> “Ini anak cocoknya jadi seleb TikTok, bukan aktivis.”
Satu akun bahkan membuat utas panjang tentang podcast mereka, menuduhnya sebagai ajakan pemberontakan, dan mengatakan bahwa mereka merusak moral generasi muda.
Juno, seperti biasa, mencoba mengalihkan semuanya lewat seni. Ia mulai menggambar wajah-wajah murid yang dianggap “tidak normal” oleh sistem. Anak yang terlalu pendiam, yang terlalu aktif, yang tak suka pelajaran eksakta, yang lebih suka menggambar, menari, atau hanya duduk sendiri sambil menulis puisi. Ia memajang lukisan itu di ruang podcast.
“Ini wajah-wajah yang dilupakan. Tapi mereka nyata,” kata Juno, saat Nala masuk ke ruang itu.
Nala menatap lukisan-lukisan itu lama sekali. Lalu duduk dan berkata, “Aku capek, Jun.”
Juno tak menjawab. Ia hanya duduk di sampingnya. Kadang diam adalah pelukan paling hangat.
---
Raka mulai merasa dampak lain. Seorang guru menghampirinya saat jam istirahat.
“Kamu tahu nggak, banyak alumni yang kecewa karena kamu disebut anak paling pintar tapi ikut-ikutan podcast ini?”
Raka menatap gurunya. “Saya tidak ikut-ikutan, Pak. Saya berpikir dan memilih untuk bersuara.”
Guru itu mendecak. “Kamu pikir hidup ini cuma tentang bicara? Dunia kerja itu bukan tempat curhat, Ka. Dunia kerja itu kompetisi. Dan kamu baru saja menurunkan nilai jualmu.”
Kata-kata itu menempel seperti noda. Bukan karena Raka takut tidak laku di dunia kerja, tapi karena ia sadar, bahkan orang dewasa menganggap nilai seseorang ditentukan oleh diam atau tidaknya mereka.
---
Sore itu, mereka kembali berkumpul di ruang podcast. Tidak untuk rekaman, hanya untuk duduk bersama dan menyembuhkan luka masing-masing.
Dita memeluk bantal. “Kalian tahu nggak, ada yang ngatain aku cocoknya jadi pemandu karaoke... hanya karena aku nyanyi lagu pop di salah satu episode.”
Juno menjawab sambil tersenyum pahit, “Aku dibilang cocok jadi pemulung lukisan, bukan seniman.”
“Aku dibilang cocoknya jadi aktivis radikal,” kata Raka, “padahal aku cuma murid biasa yang kebetulan baca terlalu banyak buku.”
Nala tak langsung bicara. Tapi akhirnya ia buka suara, “Aku dibilang cocoknya jadi anak jalanan. Karena cara aku duduk dianggap kurang sopan saat ngomong di forum.”
Mereka tertawa. Pahit. Tapi juga lega. Bahwa mereka punya tempat untuk saling bercerita. Tempat yang tidak menghakimi.
---
Beberapa hari setelahnya, sekolah menyebarkan edaran resmi: podcast Gagal Paham akan dibekukan sementara waktu. Alasannya? “Menimbulkan keresahan di lingkungan sekolah dan masyarakat.”
Tak ada diskusi. Tak ada pertemuan. Hanya selembar surat ditempel di mading dan dikirim ke grup WhatsApp.
Itu cukup untuk membuat hati mereka hancur.
“Jadi ini akhir dari semuanya?” tanya Dita sambil menatap kosong papan mading.
“Ini bukan akhir. Tapi jeda,” jawab Nala.
“Tapi mereka sudah menang,” gumam Juno.
Raka menggeleng. “Belum. Kita belum bicara soal satu hal.”
Mereka bertiga menoleh.
“Netizen.”
---
Raka mengusulkan sesuatu yang cukup gila: membuat episode khusus yang membahas komentar-komentar netizen. Bukan untuk membalas, tapi untuk menjelaskan. Bukan untuk membela diri, tapi untuk menyadarkan bahwa di balik semua ini, mereka tetap manusia.
“Kita rekam di luar sekolah. Pakai mic sendiri. Upload-nya nggak usah pakai akun sekolah. Kita tetap bicara, meski dihalangi,” kata Raka.
Dan begitulah, dua hari kemudian, mereka merekam episode paling personal dan emosional dalam sejarah Gagal Paham.
Judul episode: “Kami Juga Manusia.”
---
Nala membaca komentar paling jahat yang pernah ia terima:
> “Pakai kerudung tapi kelakuan kayak preman.”
Lalu ia berkata, “Aku pakai kerudung bukan buat kelihatan suci. Aku pakai karena aku memilih. Sama seperti aku memilih untuk bicara.”
Juno membaca komentar tentang ekspresi wajahnya yang “menyeramkan”.
“Aku punya trauma. Tapi aku belajar mengekspresikan itu lewat seni. Kalau kamu takut, mungkin kamu butuh melihat lebih dalam, bukan menilai dari tampak luar.”
Dita membaca komentar tentang warna rambutnya.
“Ini rambutku. Bukan isi otakku. Dan aku yakin warna rambut nggak pernah jadi penentu baik atau buruknya isi hati.”
Raka membaca komentar soal nilai dan reputasinya yang “rusak”.
“Aku lebih takut kehilangan nurani daripada IPK. Dan jika reputasi harus dikorbankan demi kejujuran, maka biarlah begitu.”
Episode itu diakhiri dengan lagu akustik yang dinyanyikan Dita, iringan gitar dari Raka, dan lukisan wajah-wajah siswa biasa yang ditampilkan Juno di latar belakang.
Mereka upload di YouTube dan Spotify dengan deskripsi sederhana:
> Kami hanya ingin bicara. Jika kamu mau mendengar, inilah suara kami.
---
Dua minggu kemudian, episode itu ditonton lebih dari 500.000 kali. Banyak netizen meminta maaf. Banyak yang berubah pikiran. Tapi tentu, masih ada yang tetap mencibir.
Namun bagi mereka, itu cukup. Bukan karena mereka ingin viral. Tapi karena mereka sadar: mereka tidak sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments