Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen

Pagi itu, suasana sekolah lebih tenang dari biasanya, seolah badai yang kemarin mengoyak aula besar telah berlalu dan menyisakan reruntuhan emosi. Namun di balik senyum basa-basi para guru dan tatapan heran teman-teman sekelas, para “pelaku podcast” tahu bahwa kedamaian itu hanya ilusi. Karena di dunia maya, badai justru sedang memuncak.

Setelah forum orang tua yang penuh perdebatan itu viral, potongan-potongan videonya tersebar luas. Bukan hanya di Instagram dan TikTok, tapi juga di akun-akun besar edukasi dan politik di Twitter, YouTube, bahkan Reddit.

Satu video menunjukkan Nala berdiri lantang mengatakan, “Kami bukan ingin menghancurkan sekolah, kami hanya ingin didengar.”

Video lainnya memperlihatkan Juno berkata pelan, “Jika kejujuran adalah dosa, maka kami siap menanggungnya.”

Lalu potongan suara Dita yang lirih, “Kami murid, bukan mesin yang disuruh diam dan tunduk.”

Netizen menyambut mereka... dengan dua wajah.

---

Di Instagram, komentar-komentar bermunculan:

> “Anak zaman sekarang makin kurang ajar. Sekolah dikasih gratis, eh malah demo.”

> “Salut buat anak-anak ini. Akhirnya ada yang berani buka suara soal bobroknya sistem pendidikan.”

> “Dita itu yang rambutnya diwarnain ya? Pantes aja kelakuannya...”

> “Gue jadi pengen denger podcast mereka. Link-nya dong?”

Beberapa akun publik figur ikut berkomentar. Ada selebgram pendidikan yang membela, menyebut mereka "bibit perubahan". Tapi ada pula influencer konservatif yang menyindir, “Cuma mau viral aja, ujung-ujungnya endorse skincare.”

Nala duduk diam di kelas, membuka kolom komentar di ponselnya, lalu menutup lagi. Komentar tentang wajah, suara, dan penampilan fisiknya terlalu menusuk. Tidak peduli bahwa yang ia perjuangkan adalah hak murid untuk didengar — netizen tetap melihatnya sebagai bahan hinaan, bukan manusia.

---

Dita lebih parah. Ia menangis diam-diam di toilet sekolah setelah membaca komentar-komentar tentang penampilannya. Foto lamanya diedit dan dipasang berdampingan dengan caption penuh sarkasme.

> “Nggak bisa jawab soal matematika, bisanya cuma nyinyir di podcast.”

> “Ini anak cocoknya jadi seleb TikTok, bukan aktivis.”

Satu akun bahkan membuat utas panjang tentang podcast mereka, menuduhnya sebagai ajakan pemberontakan, dan mengatakan bahwa mereka merusak moral generasi muda.

Juno, seperti biasa, mencoba mengalihkan semuanya lewat seni. Ia mulai menggambar wajah-wajah murid yang dianggap “tidak normal” oleh sistem. Anak yang terlalu pendiam, yang terlalu aktif, yang tak suka pelajaran eksakta, yang lebih suka menggambar, menari, atau hanya duduk sendiri sambil menulis puisi. Ia memajang lukisan itu di ruang podcast.

“Ini wajah-wajah yang dilupakan. Tapi mereka nyata,” kata Juno, saat Nala masuk ke ruang itu.

Nala menatap lukisan-lukisan itu lama sekali. Lalu duduk dan berkata, “Aku capek, Jun.”

Juno tak menjawab. Ia hanya duduk di sampingnya. Kadang diam adalah pelukan paling hangat.

---

Raka mulai merasa dampak lain. Seorang guru menghampirinya saat jam istirahat.

“Kamu tahu nggak, banyak alumni yang kecewa karena kamu disebut anak paling pintar tapi ikut-ikutan podcast ini?”

Raka menatap gurunya. “Saya tidak ikut-ikutan, Pak. Saya berpikir dan memilih untuk bersuara.”

Guru itu mendecak. “Kamu pikir hidup ini cuma tentang bicara? Dunia kerja itu bukan tempat curhat, Ka. Dunia kerja itu kompetisi. Dan kamu baru saja menurunkan nilai jualmu.”

Kata-kata itu menempel seperti noda. Bukan karena Raka takut tidak laku di dunia kerja, tapi karena ia sadar, bahkan orang dewasa menganggap nilai seseorang ditentukan oleh diam atau tidaknya mereka.

---

Sore itu, mereka kembali berkumpul di ruang podcast. Tidak untuk rekaman, hanya untuk duduk bersama dan menyembuhkan luka masing-masing.

Dita memeluk bantal. “Kalian tahu nggak, ada yang ngatain aku cocoknya jadi pemandu karaoke... hanya karena aku nyanyi lagu pop di salah satu episode.”

Juno menjawab sambil tersenyum pahit, “Aku dibilang cocok jadi pemulung lukisan, bukan seniman.”

“Aku dibilang cocoknya jadi aktivis radikal,” kata Raka, “padahal aku cuma murid biasa yang kebetulan baca terlalu banyak buku.”

Nala tak langsung bicara. Tapi akhirnya ia buka suara, “Aku dibilang cocoknya jadi anak jalanan. Karena cara aku duduk dianggap kurang sopan saat ngomong di forum.”

Mereka tertawa. Pahit. Tapi juga lega. Bahwa mereka punya tempat untuk saling bercerita. Tempat yang tidak menghakimi.

---

Beberapa hari setelahnya, sekolah menyebarkan edaran resmi: podcast Gagal Paham akan dibekukan sementara waktu. Alasannya? “Menimbulkan keresahan di lingkungan sekolah dan masyarakat.”

Tak ada diskusi. Tak ada pertemuan. Hanya selembar surat ditempel di mading dan dikirim ke grup WhatsApp.

Itu cukup untuk membuat hati mereka hancur.

“Jadi ini akhir dari semuanya?” tanya Dita sambil menatap kosong papan mading.

“Ini bukan akhir. Tapi jeda,” jawab Nala.

“Tapi mereka sudah menang,” gumam Juno.

Raka menggeleng. “Belum. Kita belum bicara soal satu hal.”

Mereka bertiga menoleh.

“Netizen.”

---

Raka mengusulkan sesuatu yang cukup gila: membuat episode khusus yang membahas komentar-komentar netizen. Bukan untuk membalas, tapi untuk menjelaskan. Bukan untuk membela diri, tapi untuk menyadarkan bahwa di balik semua ini, mereka tetap manusia.

“Kita rekam di luar sekolah. Pakai mic sendiri. Upload-nya nggak usah pakai akun sekolah. Kita tetap bicara, meski dihalangi,” kata Raka.

Dan begitulah, dua hari kemudian, mereka merekam episode paling personal dan emosional dalam sejarah Gagal Paham.

Judul episode: “Kami Juga Manusia.”

---

Nala membaca komentar paling jahat yang pernah ia terima:

> “Pakai kerudung tapi kelakuan kayak preman.”

Lalu ia berkata, “Aku pakai kerudung bukan buat kelihatan suci. Aku pakai karena aku memilih. Sama seperti aku memilih untuk bicara.”

Juno membaca komentar tentang ekspresi wajahnya yang “menyeramkan”.

“Aku punya trauma. Tapi aku belajar mengekspresikan itu lewat seni. Kalau kamu takut, mungkin kamu butuh melihat lebih dalam, bukan menilai dari tampak luar.”

Dita membaca komentar tentang warna rambutnya.

“Ini rambutku. Bukan isi otakku. Dan aku yakin warna rambut nggak pernah jadi penentu baik atau buruknya isi hati.”

Raka membaca komentar soal nilai dan reputasinya yang “rusak”.

“Aku lebih takut kehilangan nurani daripada IPK. Dan jika reputasi harus dikorbankan demi kejujuran, maka biarlah begitu.”

Episode itu diakhiri dengan lagu akustik yang dinyanyikan Dita, iringan gitar dari Raka, dan lukisan wajah-wajah siswa biasa yang ditampilkan Juno di latar belakang.

Mereka upload di YouTube dan Spotify dengan deskripsi sederhana:

> Kami hanya ingin bicara. Jika kamu mau mendengar, inilah suara kami.

---

Dua minggu kemudian, episode itu ditonton lebih dari 500.000 kali. Banyak netizen meminta maaf. Banyak yang berubah pikiran. Tapi tentu, masih ada yang tetap mencibir.

Namun bagi mereka, itu cukup. Bukan karena mereka ingin viral. Tapi karena mereka sadar: mereka tidak sendiri.

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!