Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara

Hari Senin datang lebih cepat dari yang diharapkan. Setelah diskusi terbuka minggu lalu, suasana sekolah bukannya jadi tenang—justru semakin terasa aneh.

Beberapa guru bersikap lebih ramah, seolah berusaha menunjukkan bahwa mereka “tidak seburuk itu”. Tapi sebagian lain mulai memasang wajah curiga setiap kali melewati Dita, Juno, atau Nala. Seperti polisi rahasia yang mengawasi narapidana.

“Lo ngerasa gak sih sekolah jadi kayak… penjara?” tanya Juno sambil menyender di kursi kantin. Tatapannya kosong mengarah ke lapangan basket.

Dita mengangguk. “Ada tembok tinggi, aturan kaku, jam makan, jam keluar, jam masuk. Cuma bedanya, kita bayar buat masuk ke sini.”

Nala menghela napas panjang. “Dan yang lebih lucu, kita dianggap salah cuma karena bilang kita nggak bahagia.”

Sejak diskusi terbuka itu, mereka mulai sadar: bukan cuma mereka bertiga yang merasa ‘terkurung’. Banyak siswa datang diam-diam, berbisik di lorong atau menyelipkan catatan kecil ke dalam tas mereka. Semuanya berkata sama:

> “Gue juga ngerasa capek, tapi takut kalau ngomong.”

“Lo hebat berani ngomong gitu. Gue pengen juga, tapi takut dikeluarin.”

“Podcast kalian nyelamatin gue minggu lalu. Serius.”

Dan entah kenapa, setiap kali mendengar itu, mereka justru merasa lebih berat.

Karena semakin banyak yang menyuarakan, semakin besar tekanan yang mereka rasakan. Seakan tanggung jawab untuk bicara itu sekarang sepenuhnya ada di pundak mereka. Dan sekolah? Bukannya berubah, justru memperketat pengawasan.

Hari itu, mereka dipanggil ke ruang BK.

Ibu Sulastri menatap mereka lama, lalu membuka map berisi cetakan transkrip episode podcast mereka. Beberapa kalimat digaris merah, seolah itu kutipan dari pelaku kriminal.

> “Kami ingin sekolah bukan cuma tempat menghafal.”

“Kami ingin guru memahami proses, bukan cuma nilai.”

“Kami muak dibungkam.”

“Anak-anak,” kata Ibu Sulastri dengan suara lembut yang mencurigakan. “Saya harap kalian sadar bahwa apa yang kalian ucapkan di media publik punya konsekuensi.”

Nala menatap lurus. “Kami nggak nyebut nama siapa-siapa, Bu.”

“Betul. Tapi orang-orang mengaitkan itu dengan sekolah ini.”

“Kami hanya cerita kenyataan, Bu,” sambung Juno. “Bukan buat menyerang siapa pun.”

“Kalau kenyataan itu menyakitkan, bukan berarti harus disebarluaskan,” ucap Ibu Sulastri, kini dengan nada lebih tegas. “Ada etika. Dan kalian… sedang menginjaknya.”

Mereka keluar dari ruang BK dengan perasaan campur aduk. Di koridor, beberapa siswa yang melihat mereka hanya menunduk. Ada yang diam-diam memberi senyum kecil, ada juga yang pura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Gue kayak tahanan yang habis diinterogasi,” gumam Dita.

“Dan sayangnya, kita bakal dipanggil lagi minggu depan,” balas Nala. “Kepala sekolah minta bicara.”

Di rumah, malam itu, suasana juga tak kalah pengap.

Ayah Nala mengetuk pintu kamarnya dengan ekspresi serius. Di tangannya, ponsel menampilkan grup WhatsApp wali murid.

“Ini… kamu yang ngomong kayak gini di podcast?”

Nala mengangguk.

“Kenapa kamu bilang sekolah kayak penjara?”

“Karena… aku ngerasa gitu, Yah.”

Ayahnya terdiam cukup lama. Lalu duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. “Dulu waktu Ayah sekolah juga keras. Tapi Ayah jalanin aja. Namanya juga sistem.”

“Itu masalahnya, Yah. Karena semua orang ‘jalanin aja’... sistemnya gak pernah berubah.”

Kalimat itu menggantung di antara mereka. Mata ayahnya menatap tajam, tapi tak bisa menyangkal logika itu. Dan dalam diam, Nala tahu: sebagian dari ayahnya mengerti, tapi tidak tahu harus berkata apa.

Esok harinya di sekolah, tekanan semakin meningkat.

Salah satu guru matematika, Pak Rudi, tiba-tiba mengeluarkan sindiran saat pelajaran:

> “Sekarang banyak siswa merasa sekolah ini penjara. Mungkin karena mereka lebih suka main podcast daripada belajar fungsi linear.”

Semua mata mengarah ke Nala, Dita, dan Juno. Tapi mereka diam. Tidak ada yang menimpali. Mereka sadar, melawan hanya akan memancing lebih banyak peluru.

Tapi diam pun ternyata tak cukup.

Sore harinya, muncul kabar bahwa sekolah mempertimbangkan “langkah pembinaan khusus” untuk siswa yang “menyebarkan opini buruk”.

Juno melempar tas ke lantai saat sampai di rumah. “Pembinaan khusus? Ini sekolah atau lembaga pemasyarakatan?”

Dita, yang mendengarnya lewat telepon, berbisik, “Gue takut, Jun. Gue takut beneran dikeluarin.”

“Kalau lo mundur sekarang, Dit,” sahut Nala, “mereka bakal ngira kita lemah beneran.”

“Bukan masalah kuat atau lemah, Nal,” ucap Dita lirih. “Gue cuma… gak mau kehilangan masa depan karena berani ngomong.”

Lagi-lagi, percakapan mereka berakhir dalam hening. Kali ini, lebih pahit.

Di tengah tekanan itu, muncullah ide gila dari Juno.

“Gue mau bikin podcast diam.”

Dita mengerutkan dahi. “Podcast apaan itu?”

“Episode tanpa suara. Cuma ada bunyi jam berdetak, kursi kayu, angin di jendela. Tapi judulnya: ‘Kalau kami tidak boleh bicara, maka beginilah dunia kami terdengar.’”

Mereka bertiga tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena ide itu… terasa benar. Terasa pas.

Dan mereka melakukannya.

Episode baru itu dirilis dua hari kemudian. Hanya berdurasi 9 menit 45 detik. Tanpa suara manusia. Hanya bunyi-bunyi ruang kelas yang hening. Tapi di bagian deskripsi, mereka menulis:

> Kadang diam adalah satu-satunya bahasa yang tersisa. Kalau sekolah adalah tempat kami belajar jadi manusia, maka biarkan kami bersuara seperti manusia. Bukan seperti tahanan yang hanya boleh bicara saat disuruh.

Podcast itu meledak. Dalam dua hari, jumlah pendengar naik dua kali lipat. Beberapa media bahkan menulis artikel tentangnya.

Namun... yang datang lebih dulu justru surat panggilan dari kepala sekolah.

Hari itu jadi hari yang tak mereka lupakan.

Di ruang kepala sekolah, ketiganya duduk berjajar. Di hadapan mereka, ada Kepala Sekolah Pak Triyono, Wakil Kesiswaan, dan seorang perwakilan dari dinas pendidikan.

“Anak-anak,” kata Pak Triyono dengan suara yang biasa dipakai politisi saat mau pidato. “Kami mengapresiasi kreativitas kalian. Tapi kalian juga harus sadar bahwa kalian adalah representasi dari lembaga ini.”

“Kami tidak menyebut nama sekolah, Pak,” sahut Juno dengan nada sopan tapi tegas.

“Tapi orang-orang tahu kalian dari sekolah ini,” jawab Wakil Kesiswaan. “Itu cukup untuk membuat nama baik kami tercemar.”

Nala angkat bicara. “Apa yang kami sampaikan adalah keresahan kami sendiri. Kami tidak pernah berniat menjatuhkan siapa pun. Kami hanya ingin… ruang untuk bicara.”

“Dan kami ingin ketenangan dalam mengelola institusi ini,” balas Pak Triyono. “Jadi kami harap, kalian berhenti memproduksi podcast untuk sementara.”

Kalimat itu... seperti palu godam.

Dita nyaris menangis di tempat. Tapi Nala menggenggam tangannya di bawah meja.

“Kalau itu permintaan, kami bisa pertimbangkan. Tapi kalau itu perintah... kami harus pikirkan ulang,” ujar Juno.

Pak Triyono menatap tajam. “Kalian anak-anak. Kalian tidak tahu dunia luar seperti apa. Jangan sok jadi pahlawan.”

Nala tersenyum. “Justru karena kami anak-anak, kami belum belajar untuk diam seperti orang dewasa.”

Mereka keluar dari ruangan itu dengan degup jantung berpacu. Tapi juga dengan satu tekad: mereka tidak akan berhenti.

Episode baru pun disiapkan.

Judulnya: “Sekolah Rasa Penjara”.

Kali ini, mereka tidak hanya cerita tentang sekolah mereka. Tapi mengundang cerita dari siswa di luar kota, dari luar pulau, dari luar negeri.

Semua punya rasa yang sama. Terjebak. Terkekang. Tidak didengar.

Dan podcast itu... adalah pintu.

Bukan untuk keluar dari penjara, tapi untuk bicara dengan para tahanan lain yang juga sedang mencoba membuka kunci.

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!