Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika

Jam pelajaran matematika adalah momen paling sepi dan paling berisik sekaligus di dalam kepala Juno. Dari luar, dia tampak duduk tenang, mencatat soal di papan tulis, sesekali mengangguk pura-pura paham. Tapi di dalam benaknya, kalimat demi kalimat mengalir seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti—bukan rumus, tapi puisi.

Sore itu, di tengah hitungan integral, Juno menuliskan bait ini di pojok buku catatannya:

> “Jika dunia ini berbentuk persamaan,

> Maka aku adalah variabel tak terdefinisi.

> Dipecahkan dengan logika,

> Tapi tak pernah cukup untuk dimengerti.”

Ia menyelipkan kertas itu ke dalam saku. Tidak ada yang tahu bahwa semua puisinya ditulis di jam pelajaran matematika. Di antara angka-angka, ia menemukan tempat paling aman untuk menjadi dirinya sendiri.

Juno bukan siswa bodoh. Tapi ia benci matematika. Bukan karena sulit, tapi karena kaku. Segalanya harus pasti, harus benar, harus logis. Padahal hidupnya jauh dari semua itu.

Sejak kecil, ia lebih nyaman bicara dengan kata-kata daripada angka. Ibunya dulu sering berkata, “Puisi itu indah, Nak. Tapi tidak bisa buat kamu sukses.” Dan sejak itu, Juno belajar menulis puisi diam-diam, seperti orang menyembunyikan dosa kecil.

“Juno!” suara Bu Nira memecah lamunannya.

“Ya, Bu?” Juno tersentak.

“Silakan selesaikan nomor 5 di papan.”

Juno melangkah pelan. Bukan karena takut, tapi karena sadar ia tidak punya jawaban. Di depan kelas, ia berdiri lama. Spidol di tangan, tapi pikirannya kosong.

“Maaf, Bu. Saya tidak bisa,” katanya akhirnya.

Beberapa siswa tertawa pelan. Ada yang berbisik, ada yang senyum sinis. Bu Nira mendengus. “Kamu ini, Juno. Di kelas cuma melamun, hasilnya ya begini.”

Juno menunduk. Bukan karena malu. Tapi karena tahu, dia sedang ada di tempat yang salah untuk bicara jujur.

Istirahat pertama, Juno duduk di tangga belakang perpustakaan. Di tangan kirinya ada buku tipis berjudul *"Perih yang Tak Pernah Selesai"*—kumpulan puisi dari penyair muda yang ia kagumi. Di tangan kanannya, ia memegang pena, dan mulai menulis:

> “Sekolah bukan tempatku belajar,

> Tapi tempatku kehilangan kata.

> Di kelas, aku dituntut hafal rumus,

> Tapi tak ada yang mau mendengar rasa.”

Suara langkah kaki mendekat. Ternyata Raka. Duduk tanpa bicara, hanya menyalakan rokok elektriknya dan menyodorkan ke Juno.

“Gue nggak ngerokok,” kata Juno sambil senyum.

“Gue juga nggak beneran,” kata Raka, lalu tertawa kecil. “Lo kenapa diem-diem aja di kelas tadi?”

Juno mengangkat bahu. “Gue gak bisa pura-pura ngerti. Dan gue juga capek pura-pura.”

“Lo tahu gak?” Raka menatap ke langit. “Gue malah salut. Lo gak bohong sama diri lo. Gue aja kadang masih suka berpura-pura ngerti biar gak dibilang bodoh.”

Juno menoleh, sedikit tersenyum.

“Kalo kata puisi lo,” lanjut Raka, “lebih baik gak dimengerti, daripada pura-pura paham.”

“Wih, kapan gue nulis gitu?” tanya Juno.

“Gue baca di blog lo yang lo pikir anonim. Tapi nama penanya ‘Juno’ gitu. Cerdas banget.”

Juno tertawa pelan. “Lo yang gagal paham sekarang.”

Sore itu, Juno memutuskan mengunggah puisi baru ke blognya:

> *“Di tengah angka yang berdansa,

> Aku menulis diam-diam.

> Di papan tulis ada soal,

> Tapi di dadaku ada soal yang lebih sulit:

> Siapa aku, jika bukan apa yang mereka mau?”*

Ia tahu mungkin tidak banyak yang membaca. Tapi menulis membuatnya merasa utuh.

Dua hari kemudian, Dita datang ke kelas sambil tergopoh.

“Juno, puisi lo diangkat akun sastra nasional! Gila, ini akun gede banget. Mereka bilang tulisan lo jujur, dan mewakili keresahan anak muda zaman sekarang!”

Juno terpaku. Dita menunjukkan layar HP-nya. Di sana, puisinya yang terakhir—yang ia anggap paling pribadi—diposting ulang dengan ratusan komentar positif.

Raka ikut nimbrung, “Wah, si penyair kita naik daun juga akhirnya.”

Nala menyusul masuk ke kelas. “Lo harus bikin podcast episode sendiri, Jun. Puisi lo itu kayak suara generasi yang gak bisa disampaikan lewat orasi.”

“Gue?” tanya Juno ragu.

“Ya, elo. Justru karena lo pendiam, kata-kata lo lebih terasa. Satu bait lo bisa lebih dalam dari sepuluh menit gue ngoceh.”

Juno terdiam. Ia belum pernah merasa dilihat seperti ini.

Malam itu, Juno merekam suaranya sendiri. Dengan latar musik piano pelan, ia membaca puisi:

> “Aku tidak bisa menjawab soal integral,

> Tapi aku bisa menghitung sakit yang tertinggal.

> Aku tidak tahu akar kuadrat dari 144,

> Tapi aku tahu luka yang tumbuh diam-diam.”

Ia mengunggahnya diam-diam di akun podcast mereka.

Keesokan harinya, itu jadi episode dengan pemutaran tercepat.

Komentar-komentar masuk:

> “Puisi ini bikin gue nangis.”

> “Gue kira cuma gue yang ngerasa sendirian di sekolah.”

> “Terima kasih, Juno. Akhirnya ada yang berani bilang: gak semua orang cocok belajar dengan cara yang sama.”

Tapi kabar baik datang bersama kabar buruk. Di ruang guru, kepala sekolah memutar audio Juno keras-keras.

“Siapa yang izinkan anak-anak ini rekaman suara seperti ini? Ini menyudutkan pelajaran matematika! Ini melecehkan guru!”

Bu Nira diam saja. Di sudut matanya ada emosi yang belum terdefinisi. Apakah marah? Tersinggung? Atau... merasa disindir?

Sementara itu, di kelas, Juno menerima panggilan ke ruang BK.

“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil, Juno?” tanya Pak Robi, guru BK yang sebenarnya cukup sabar.

Juno mengangguk. “Karena saya jujur?”

Pak Robi menatapnya lama. “Karena kamu jujur, tapi jujur tidak selalu aman.”

Juno menggigit bibir. Ia ingin berkata: *Bukankah tugas sekolah adalah membuat kejujuran jadi aman?* Tapi ia tahu, percuma.

Pak Robi akhirnya berkata, “Kamu punya bakat, Juno. Tapi dunia ini belum siap mendengar semuanya. Hati-hati. Kadang kejujuran bisa jadi boomerang.”

Saat pulang, Juno tak langsung ke rumah. Ia duduk di halte, hujan turun perlahan.

Ia menulis lagi:

> “Dunia takut pada yang tak bisa dihitung.

> Maka aku pun dianggap kacau.

> Tapi bukankah cinta, sedih, marah—

> Semua itu juga tak bisa dihitung?”

Ia mengirimkan puisi itu ke Nala. Dan di bawahnya, ia menulis:

> “Kalau kalian masih mau, gue siap bikin episode puisi mingguan di podcast.”

Beberapa menit kemudian, Nala membalas:

> “Kami tunggu, Penyair Matematika.”

Namun tanpa mereka tahu, seseorang sedang memperhatikan semuanya diam-diam dari kursi belakang kelas—Dita. Tatapannya kosong, tapi penuh gejolak. Ada rasa kagum, iri, sekaligus takut. Karena bagi Dita, puisi bukan solusi. Ia ingin bebas dari ekspektasi, bahkan jika itu berarti... menjadi bodoh.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 4 – Dita dan Keinginan Jadi Bodoh]**

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!