Sehari setelah surat peringatan itu dikeluarkan, suasana sekolah berubah drastis. Bukan hanya karena para guru mulai lebih berhati-hati, tapi karena mereka mulai bicara. Untuk pertama kalinya, para pengajar itu, yang selama ini seperti tembok tanpa suara, mulai mengungkapkan kegelisahan mereka sendiri meski masih dengan nada yang samar.
Di ruang guru, obrolan biasanya soal nilai, tugas, dan absen, kini mulai menyinggung sesuatu yang lebih dalam.
“Kalau dipikir-pikir, mereka itu memang benar juga,” ucap Bu Santi, guru Biologi, saat sedang membuat kopi sachet di pojok ruangan.
Pak Hasan, guru Matematika yang terkenal paling kaku, hanya mendengus. “Benar? Jadi menurutmu bagus murid-murid bikin podcast nyerang sekolah sendiri?”
“Bukan soal menyerang, Pak. Tapi soal didengar. Saya juga kadang merasa sistem ini bikin saya sendiri capek,” jawab Bu Santi.
Pak Darwis masuk ke ruangan dengan langkah cepat. Semua guru mendadak diam. Ia meletakkan map merah tebal di meja dan menghela napas.
“Kalau kalian ingin diskusi, silakan. Tapi jangan sampai itu bocor ke siswa. Kita sedang diawasi,” ucapnya pelan.
Suasana makin tegang. Semua tahu, podcast itu telah membelah sekolah jadi dua: yang ingin bertahan pada sistem, dan yang mulai mempertanyakannya.
Sementara itu, di dunia luar, podcast Gagal Paham justru menjelma menjadi semacam fenomena. Tak hanya trending di media sosial, tapi juga mulai dibicarakan di televisi. Sebuah program talk show malam bahkan memutar cuplikan suara Nala yang berkata:
> “Kami bukan ingin merusak. Kami cuma ingin didengar.”
Pembawa acara lalu berkomentar, “Anak-anak ini berani. Mungkin terlalu berani untuk usia mereka. Tapi bukankah perubahan memang dimulai dari yang muda dan gelisah?”
Di rumah, orang tua Juno menyaksikan siaran itu. Ibunya terdiam. Ayahnya menatap anaknya dalam-dalam, lalu berkata, “Kamu tahu apa yang kamu lakukan bisa mengubah hidupmu, ‘kan?”
Juno mengangguk. “Aku tahu, Yah.”
“Kalau nanti kamu benar-benar dikeluarkan?”
“Aku akan tetap menulis. Aku akan tetap bicara.”
Ayahnya menatap televisi. “Kamu bikin kami takut… tapi juga bangga.”
---
Di sekolah, dampak dari podcast semakin terasa. Beberapa guru mulai membuka sesi tanya jawab terbuka, mencoba mendekat ke siswa. Tapi sebagian tetap keras—terutama Pak Sugeng, guru sejarah yang merasa terpojok.
“Podcast itu meracuni kalian. Semua jadi merasa benar sendiri. Kalian itu masih anak-anak!” ucapnya lantang di kelas.
Raka, yang duduk di barisan tengah, angkat tangan. “Pak, bukankah sejarah mencatat perubahan justru dimulai dari anak muda?”
Pak Sugeng merah padam. “Tapi tidak dengan cara melecehkan guru!”
“Tidak ada yang melecehkan, Pak. Kami hanya berbicara dari hati,” jawab Raka.
Suasana kelas memanas. Tapi tidak ada teriakan. Hanya keheningan yang menyakitkan, seolah semua murid sadar: ini bukan lagi soal pelajaran. Ini soal siapa yang berani jujur.
---
Nala sendiri mulai merasa lelah. Wajahnya kian tirus, kantung matanya menghitam. Setiap hari harus menghadapi tatapan, perlawanan, dan tekanan, baik dari guru maupun sebagian teman yang menganggap mereka cari sensasi.
Saat duduk sendirian di bangku taman sekolah, Dita datang. Membawa dua kotak susu cokelat.
“Untukmu,” kata Dita, duduk tanpa bicara banyak.
Nala menoleh, pelan. “Kupikir kamu marah.”
“Aku butuh waktu. Tapi setelah aku lihat reaksi guru-guru, aku sadar... ini lebih besar dari sekadar keberanian kalian.”
Nala tersenyum lemah. “Aku takut, Dit. Tapi juga lega. Akhirnya semua ini pecah juga.”
Dita menatap langit. “Kita gak bisa mundur lagi, ya?”
“Enggak. Udah keburu viral,” jawab Nala sambil tertawa kecil.
---
Di rumah, Nala menghadapi pertarungan yang lain.
Ibunya mulai sering ditelepon wali murid. Ayahnya, yang dulu mendukung diam-diam, kini mulai goyah.
“Mama malu, La. Tiap ketemu tetangga, yang dibahas podcast kamu.”
“Tapi ini penting, Ma.”
“Apa lebih penting dari nama baik keluarga?”
Nala terdiam. Ia ingin berkata: "Ma, justru karena aku bawa nama baik itu, aku bicara." Tapi kata-kata itu tak keluar.
Ayahnya duduk di kursi rotan, menatapnya. “Kalau nanti kamu dikeluarkan, kamu mau sekolah di mana?”
Nala menjawab, tenang. “Aku akan cari beasiswa. Kalau enggak dapat, aku tetap bisa belajar. Dunia ini bukan cuma sekolah.”
Ibunya menitikkan air mata. Tapi kali ini bukan karena marah. Tapi karena tahu anak perempuannya benar-benar sudah tumbuh jadi seseorang yang tidak bisa dihentikan.
---
Beberapa hari kemudian, sebuah surat undangan resmi datang ke sekolah. Dari Dinas Pendidikan. Isinya: permintaan agar siswa penggagas podcast dihadirkan dalam forum diskusi terbuka bersama guru dan pejabat pendidikan kota.
Pak Darwis murka. “Ini makin liar! Mereka bukan tokoh masyarakat! Mereka anak-anak!”
Tapi Bu Santi berpendapat lain. “Justru karena mereka anak-anak, mereka perlu ruang.”
Debat panas pecah di ruang guru. Sekolah terbelah dua. Sebagian ingin meredam. Sebagian ingin membuka diskusi.
Akhirnya, sekolah tak punya pilihan. Nala dan Juno diminta hadir dalam forum itu. Dita dan Raka memutuskan ikut, walau hanya sebagai penonton.
---
Hari itu tiba.
Di aula Balai Kota, kursi disusun rapi. Di depan, duduk kepala dinas, perwakilan guru, dan dua kursi kosong untuk Nala dan Juno.
Ketika mereka masuk ruangan, kamera media langsung menyorot. Tepuk tangan kecil terdengar dari beberapa peserta muda yang datang dari sekolah lain.
Moderator membuka forum, “Hari ini kita membahas keresahan yang disuarakan anak muda. Ini bukan untuk mengadili, tapi untuk mendengar.”
Nala diminta bicara pertama.
Ia berdiri, memegang mic dengan tangan sedikit gemetar. Tapi suaranya mantap.
“Nama saya Nala. Saya pelajar. Saya tidak pintar. Saya hanya lelah. Kami semua lelah. Bukan karena pelajaran, tapi karena tidak bisa bicara. Kami ingin belajar, tapi bukan dalam tekanan. Kami ingin dihargai, bukan dinilai dari angka. Kami tahu kami salah dalam cara, tapi salah lebih besar adalah jika kami tetap diam.”
Juno melanjutkan.
“Kami ingin sekolah jadi tempat aman. Bukan tempat terpaksa. Kami tidak melawan guru. Kami hanya melawan sistem yang membuat guru juga jadi korban.”
Tepuk tangan pecah. Tak semua berdiri. Tapi cukup untuk membuktikan: mereka telah mengguncang tembok-tembok bisu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
2025-04-17
0