Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan

Pagi itu, Nala tidak sempat menyentuh sarapan. Tangannya gemetar saat membuka ponsel. Notifikasi tak berhenti berdatangan sejak subuh. Instagram mereka dibanjiri DM, mention, dan tagar #GagalPahamPodcast bahkan masuk trending lokal. Satu hal yang pasti: badai telah datang.

Juno sudah menunggu di halte depan rumah Nala. Matanya sembab, tapi wajahnya penuh tekad. Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan menuju sekolah. Mereka tahu, hari ini, bukan hari biasa.

Di gerbang sekolah, mata-mata itu sudah menunggu. Siswa-siswa, guru-guru, bahkan penjaga kantin ikut melirik penuh bisik-bisik. Begitu Nala dan Juno melangkah masuk, suasana seperti membeku. Bukan karena ketakutan, tapi karena semua orang tahu: dua murid ini sudah menyentuh ranah yang tak seharusnya mereka sentuh.

“Lihat tuh, yang katanya reformis sekolah,” bisik seseorang.

“Pahlawan kesiangan,” balas yang lain.

Nala menghela napas, tapi tidak berhenti. Ia tahu, langkah ini akan dihujat. Tapi dia tak mengira bahwa bahkan Dita pun kini menjauh.

Di lorong menuju kelas, mereka berpapasan dengan Dita. Biasanya, Dita akan menyapa ceria, mungkin dengan sedikit sinisme manja. Tapi kali ini, Dita menunduk dan mempercepat langkah. Juno sempat menatapnya, ingin memanggil, tapi lidahnya kelu.

“Dia takut,” kata Nala pelan.

“Bukan takut… mungkin dia belum siap,” jawab Juno.

Di dalam kelas, suasana tak kalah panas. Armand duduk dengan ekspresi menyebalkan seperti biasa. Tapi hari ini ia lebih aktif—menyuarakan suara-suara minoritas yang tak setuju dengan podcast.

“Kalau semua siswa kayak mereka, sekolah bisa bubar, guys.”

“Cuma ngeluh doang, bukan solusi.”

Raka yang duduk di belakang menunduk, tampak gelisah. Ia ingin bicara, tapi enggan terjebak di tengah-tengah perang opini ini. Ia sendiri masih bimbang: apakah semua ini benar? Apakah ini jalan yang tepat?

Tiba-tiba, ketua OSIS berdiri di depan kelas, membawa pengumuman.

“Diminta kepada siswa bernama Nala Fadhilah dan Juno Wijaya untuk menuju ruang kepala sekolah. Segera.”

Seluruh kelas menoleh ke arah mereka berdua.

Ruang kepala sekolah kini tidak hanya diisi Pak Darwis dan Bu Mirna. Ada dua orang berpakaian formal duduk di sofa tamu, mengenakan pin dinas. Wajah mereka serius, menilai.

Nala dan Juno duduk tegak, seperti tahanan muda yang akan diadili.

“Kami dari Dinas Pendidikan. Telah terjadi kegaduhan yang cukup besar terkait konten podcast kalian,” kata salah satu dari mereka.

Nala hendak membuka suara, tapi Juno lebih dulu bicara.

“Yang kami lakukan bukan untuk membuat gaduh. Kami hanya ingin didengar.”

“Tapi cara kalian”

“Cara kami adalah satu-satunya pilihan yang tersisa saat semua saluran komunikasi resmi di sekolah ini ditutup,” potong Juno, tenang namun tegas.

Pak Darwis mengetuk meja. “Juno, jangan potong pembicaraan!”

Orang dinas itu mengangkat tangan, menyuruh semua tenang.

“Kami tidak berniat menghukum kalian… belum. Tapi perlu kalian tahu, ada sekolah lain yang juga merasa resah. Banyak yang menilai podcast ini mencoreng wajah pendidikan.”

Nala akhirnya angkat suara. “Tapi banyak juga yang merasa didengar. Termasuk guru-guru. Kami tidak menyebut nama sekolah. Kami tidak menyebut satu guru pun.”

Salah satu petugas membuka ponsel dan menunjukkan sebuah artikel.

“Sayangnya, media sudah menyambungkan semua titik. Nama sekolah ini sudah tersebar. Kami tidak bisa menghentikan opini publik. Tapi sekolah ini bisa mengambil tindakan internal.”

Sore harinya, sekolah mengadakan pertemuan mendadak. Semua siswa dikumpulkan di aula. Tak ada penjelasan resmi, tapi semua tahu, ini karena podcast. Karena Nala dan Juno.

Di depan, Pak Darwis berdiri di podium. “Anak-anak, dalam beberapa hari terakhir, kita mengalami situasi yang tak mengenakkan. Dua siswa kita telah menyebarkan keresahan lewat media sosial yang viral. Kami tidak melarang berbicara. Tapi kami menentang cara yang tidak etis.”

Raka mengangkat tangan. “Pak, apakah menyuarakan keresahan dianggap tidak etis?”

Pak Darwis diam sejenak. Aula gaduh. Pak Darwis menjawab, “Etika juga soal waktu dan tempat.”

Nala berdiri. “Lalu kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan kebenaran, Pak? Setelah kita semua lulus dan sudah telanjur apatis?”

Riuh. Sebagian bertepuk tangan. Sebagian bergumam resah. Guru-guru saling menatap, bingung.

Malamnya, tagar #KamiGagalPaham mulai ramai di Twitter. Tidak hanya siswa dari sekolah mereka. Pelajar dari berbagai kota mulai ikut bersuara. Beberapa bahkan mengunggah potongan audio dari podcast Nala dan Juno, ditambahkan dengan curhatan pribadi mereka.

> “Aku juga pernah dimarahin karena nanya di kelas.”

“Guruku nyuruh kami hapal tanpa ngerti.”

“Podcast Gagal Paham ngebuktiin bahwa kami juga punya suara.”

Keesokan harinya, media massa mulai mengejar. Wartawan berkeliaran di depan sekolah. Beberapa murid diwawancarai diam-diam. Orang tua siswa pun mulai gelisah.

Bu Mirna memanggil Nala dan Juno lagi. Tapi kali ini dengan satu pesan.

“Kalian akan mendapat surat peringatan pertama. Kalau ini berlanjut, kalian bisa diskors. Bahkan dikeluarkan.”

Juno mengangguk. “Kami mengerti, Bu.”

Nala tak berkata apa-apa. Tapi hatinya mantap.

---

Di tempat lain, Dita duduk di depan laptop, membuka semua episode podcast sahabat-sahabatnya. Ia belum sempat dengar dengan penuh hati. Tapi saat ia dengar ulang, ia menangis. Ada rasa bersalah, rasa kehilangan. Dan ada dorongan yang lama tak ia rasakan: keberanian.

Dita mengambil ponsel dan membuka grup mereka.

> Dita: Aku minta maaf. Aku cuma butuh waktu. Sekarang aku ngerti. Kalau kalian masih butuh suara perempuan ketiga, aku di sini.

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!