Pagi itu, Nala tidak sempat menyentuh sarapan. Tangannya gemetar saat membuka ponsel. Notifikasi tak berhenti berdatangan sejak subuh. Instagram mereka dibanjiri DM, mention, dan tagar #GagalPahamPodcast bahkan masuk trending lokal. Satu hal yang pasti: badai telah datang.
Juno sudah menunggu di halte depan rumah Nala. Matanya sembab, tapi wajahnya penuh tekad. Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan menuju sekolah. Mereka tahu, hari ini, bukan hari biasa.
Di gerbang sekolah, mata-mata itu sudah menunggu. Siswa-siswa, guru-guru, bahkan penjaga kantin ikut melirik penuh bisik-bisik. Begitu Nala dan Juno melangkah masuk, suasana seperti membeku. Bukan karena ketakutan, tapi karena semua orang tahu: dua murid ini sudah menyentuh ranah yang tak seharusnya mereka sentuh.
“Lihat tuh, yang katanya reformis sekolah,” bisik seseorang.
“Pahlawan kesiangan,” balas yang lain.
Nala menghela napas, tapi tidak berhenti. Ia tahu, langkah ini akan dihujat. Tapi dia tak mengira bahwa bahkan Dita pun kini menjauh.
Di lorong menuju kelas, mereka berpapasan dengan Dita. Biasanya, Dita akan menyapa ceria, mungkin dengan sedikit sinisme manja. Tapi kali ini, Dita menunduk dan mempercepat langkah. Juno sempat menatapnya, ingin memanggil, tapi lidahnya kelu.
“Dia takut,” kata Nala pelan.
“Bukan takut… mungkin dia belum siap,” jawab Juno.
Di dalam kelas, suasana tak kalah panas. Armand duduk dengan ekspresi menyebalkan seperti biasa. Tapi hari ini ia lebih aktif—menyuarakan suara-suara minoritas yang tak setuju dengan podcast.
“Kalau semua siswa kayak mereka, sekolah bisa bubar, guys.”
“Cuma ngeluh doang, bukan solusi.”
Raka yang duduk di belakang menunduk, tampak gelisah. Ia ingin bicara, tapi enggan terjebak di tengah-tengah perang opini ini. Ia sendiri masih bimbang: apakah semua ini benar? Apakah ini jalan yang tepat?
Tiba-tiba, ketua OSIS berdiri di depan kelas, membawa pengumuman.
“Diminta kepada siswa bernama Nala Fadhilah dan Juno Wijaya untuk menuju ruang kepala sekolah. Segera.”
Seluruh kelas menoleh ke arah mereka berdua.
Ruang kepala sekolah kini tidak hanya diisi Pak Darwis dan Bu Mirna. Ada dua orang berpakaian formal duduk di sofa tamu, mengenakan pin dinas. Wajah mereka serius, menilai.
Nala dan Juno duduk tegak, seperti tahanan muda yang akan diadili.
“Kami dari Dinas Pendidikan. Telah terjadi kegaduhan yang cukup besar terkait konten podcast kalian,” kata salah satu dari mereka.
Nala hendak membuka suara, tapi Juno lebih dulu bicara.
“Yang kami lakukan bukan untuk membuat gaduh. Kami hanya ingin didengar.”
“Tapi cara kalian”
“Cara kami adalah satu-satunya pilihan yang tersisa saat semua saluran komunikasi resmi di sekolah ini ditutup,” potong Juno, tenang namun tegas.
Pak Darwis mengetuk meja. “Juno, jangan potong pembicaraan!”
Orang dinas itu mengangkat tangan, menyuruh semua tenang.
“Kami tidak berniat menghukum kalian… belum. Tapi perlu kalian tahu, ada sekolah lain yang juga merasa resah. Banyak yang menilai podcast ini mencoreng wajah pendidikan.”
Nala akhirnya angkat suara. “Tapi banyak juga yang merasa didengar. Termasuk guru-guru. Kami tidak menyebut nama sekolah. Kami tidak menyebut satu guru pun.”
Salah satu petugas membuka ponsel dan menunjukkan sebuah artikel.
“Sayangnya, media sudah menyambungkan semua titik. Nama sekolah ini sudah tersebar. Kami tidak bisa menghentikan opini publik. Tapi sekolah ini bisa mengambil tindakan internal.”
Sore harinya, sekolah mengadakan pertemuan mendadak. Semua siswa dikumpulkan di aula. Tak ada penjelasan resmi, tapi semua tahu, ini karena podcast. Karena Nala dan Juno.
Di depan, Pak Darwis berdiri di podium. “Anak-anak, dalam beberapa hari terakhir, kita mengalami situasi yang tak mengenakkan. Dua siswa kita telah menyebarkan keresahan lewat media sosial yang viral. Kami tidak melarang berbicara. Tapi kami menentang cara yang tidak etis.”
Raka mengangkat tangan. “Pak, apakah menyuarakan keresahan dianggap tidak etis?”
Pak Darwis diam sejenak. Aula gaduh. Pak Darwis menjawab, “Etika juga soal waktu dan tempat.”
Nala berdiri. “Lalu kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan kebenaran, Pak? Setelah kita semua lulus dan sudah telanjur apatis?”
Riuh. Sebagian bertepuk tangan. Sebagian bergumam resah. Guru-guru saling menatap, bingung.
Malamnya, tagar #KamiGagalPaham mulai ramai di Twitter. Tidak hanya siswa dari sekolah mereka. Pelajar dari berbagai kota mulai ikut bersuara. Beberapa bahkan mengunggah potongan audio dari podcast Nala dan Juno, ditambahkan dengan curhatan pribadi mereka.
> “Aku juga pernah dimarahin karena nanya di kelas.”
“Guruku nyuruh kami hapal tanpa ngerti.”
“Podcast Gagal Paham ngebuktiin bahwa kami juga punya suara.”
Keesokan harinya, media massa mulai mengejar. Wartawan berkeliaran di depan sekolah. Beberapa murid diwawancarai diam-diam. Orang tua siswa pun mulai gelisah.
Bu Mirna memanggil Nala dan Juno lagi. Tapi kali ini dengan satu pesan.
“Kalian akan mendapat surat peringatan pertama. Kalau ini berlanjut, kalian bisa diskors. Bahkan dikeluarkan.”
Juno mengangguk. “Kami mengerti, Bu.”
Nala tak berkata apa-apa. Tapi hatinya mantap.
---
Di tempat lain, Dita duduk di depan laptop, membuka semua episode podcast sahabat-sahabatnya. Ia belum sempat dengar dengan penuh hati. Tapi saat ia dengar ulang, ia menangis. Ada rasa bersalah, rasa kehilangan. Dan ada dorongan yang lama tak ia rasakan: keberanian.
Dita mengambil ponsel dan membuka grup mereka.
> Dita: Aku minta maaf. Aku cuma butuh waktu. Sekarang aku ngerti. Kalau kalian masih butuh suara perempuan ketiga, aku di sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments