Setelah forum terbuka di Balai Kota selesai, dan tepuk tangan menjadi gema terakhir yang tertinggal di aula megah itu, para siswa pulang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, mereka bangga karena suara mereka akhirnya didengar oleh orang-orang yang biasanya duduk terlalu tinggi untuk menoleh ke bawah. Di sisi lain, mereka sadar satu hal yang lebih sulit akan segera datang: menghadapi rumah masing-masing.
Tidak semua orang tua merasa bangga. Tidak semua bisa melihat keberanian itu sebagai bentuk cinta pada pendidikan. Bagi sebagian besar dari mereka, apa yang dilakukan Nala, Juno, Dita, dan Raka hanyalah bentuk kenakalan modern yang dibungkus rapi dengan kata-kata bijak.
---
Sore itu, Dita pulang dengan langkah pelan. Ia tahu, sejak nama dan wajahnya mulai muncul di media sosial dan potongan video dari forum disebar ke WhatsApp grup wali murid, ibunya mulai berubah. Tidak ada lagi senyum hangat saat menyambutnya di depan pintu. Tidak ada lagi piring nasi hangat yang disiapkan saat ia tiba di rumah.
Dan benar saja. Begitu Dita masuk, ia menemukan ibunya duduk di ruang tamu dengan wajah keras. Di sebelahnya, ada bibinya yang paling cerewet, Mbak Rini.
“Kamu pikir kamu siapa, Dit?” suara ibunya tajam.
Dita menelan ludah. “Aku cuma bilang yang aku rasakan, Ma.”
“Rasa-rasaan itu disimpan! Bukan diumbar di depan pejabat kota! Kamu bikin malu!”
Bibi Rini menimpali, “Udah disekolahin bagus-bagus, malah nyerang sekolah sendiri. Astaghfirullah, generasi sekarang emang…”
Dita ingin menjelaskan, ingin bicara dari hati. Tapi ia tahu, apa pun yang ia ucapkan, akan terdengar seperti pembelaan yang tak diinginkan. Ia diam. Ia hanya menunduk. Kadang diam adalah satu-satunya ruang yang bisa ia miliki di rumah yang penuh suara, tapi kosong makna.
---
Sementara itu, Raka mengalami tekanan berbeda. Ayahnya, yang seorang aparat kepolisian, marah besar. Bukan hanya karena Raka muncul di media, tapi karena dalam salah satu podcast, Raka sempat menyinggung "kekerasan struktural dalam pendidikan".
“Ngomong ngawur kamu itu!” bentak ayahnya, membanting surat panggilan dari sekolah ke meja makan.
“Itu bukan ngawur, Yah. Itu yang aku pelajari. Itu kenyataan,” kata Raka pelan, tetap berdiri di depan ayahnya meski tangannya gemetar.
“Kamu tahu nggak? Kalo mereka tahu kamu anak saya, saya bisa dipanggil juga!”
Raka menatap ayahnya. “Bukankah seharusnya Ayah mendukung saya bicara kebenaran?”
Ayahnya berdiri. “Kamu mau keluar dari rumah ini?”
Kalimat itu menggantung di udara. Membeku. Ibu Raka hanya bisa menangis di dapur, tak berani ikut campur. Sejak saat itu, Raka tidur di kamar tanpa menyalakan lampu. Ia merasa rumah yang dulu hangat, kini berubah jadi dingin seperti sel tahanan.
---
Di sisi lain, Juno mendapat perlakuan lebih lembut. Orang tuanya mencoba memahami, walau jelas mereka juga khawatir.
“Kamu yakin ini nggak akan bikin kamu dikeluarin dari sekolah?” tanya ibunya, saat Juno sedang melukis di kamar.
Juno meletakkan kuas. “Aku lebih takut dikeluarin dari hidupku sendiri, Ma. Kalau aku terus diam, aku kehilangan diriku.”
Ibunya terdiam. Lalu tersenyum lemah. “Kamu memang aneh, Jun. Tapi kamu benar.”
Mereka memeluk. Tapi bahkan dalam pelukan itu, Juno tahu, dukungan orang tuanya tak akan cukup menyelamatkan semua. Karena dunia yang mereka lawan terlalu besar.
---
Nala menghadapi badai yang lebih dahsyat.
Sejak video dirinya berbicara lantang di forum menjadi viral, ayahnya mendapat banyak sindiran dari rekan-rekan kerjanya. Sebagai pegawai pemerintahan, ia merasa harga dirinya diinjak.
“Anakmu sok tahu,” kata rekan kerjanya.
“Berani banget bicara begitu di depan kepala dinas,” sindir yang lain.
Pulang ke rumah, Nala langsung disambut suara pecahan gelas.
“BANGGA KAMU?” teriak ayahnya dari ruang makan.
Nala berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang meski tubuhnya gemetar. “Aku nggak cari kebanggaan, Yah. Aku cuma pengen perubahan.”
“Kamu pikir kamu siapa? Presiden? Aktivis? Kamu itu cuma anak SMA!”
Ibunya mencoba menenangkan. Tapi ayahnya terlalu marah. “Mulai sekarang, kamu berhenti ikut apa pun! Podcast, forum, diskusi—berhenti semua!”
“Aku nggak bisa, Yah.”
PLAAKK!
Sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, ayahnya menamparnya. Dan itu lebih menyakitkan dari hinaan siapa pun.
Nala tak menangis. Ia hanya menatap lurus ke depan. “Aku tetap akan bicara. Meskipun harus sendirian.”
---
Keesokan harinya, sekolah mengadakan rapat orang tua murid. Aula sekolah penuh sesak. Mikrofon disiapkan. Kepala sekolah duduk di panggung bersama beberapa guru senior.
Topik yang dibahas? Podcast Gagal Paham.
Pak Darwis membuka rapat dengan nada dingin. “Kami di sini bukan untuk menghakimi, tapi untuk mencari solusi. Anak-anak kita sedang berada dalam kebingungan. Tugas kita sebagai orang tua dan pendidik adalah meluruskan, bukan membenarkan pemberontakan.”
Beberapa orang tua langsung mengangguk. Ada yang bertepuk tangan.
Tapi kemudian, satu tangan terangkat. Ayah Juno berdiri.
“Maaf, saya berbeda pendapat,” katanya.
Ruangan mendadak hening.
“Saya dengar sendiri podcast mereka. Saya tonton videonya. Dan saya melihat anak-anak ini bukan merusak. Mereka hanya menyuarakan yang kita semua tahu tapi enggan akui. Sekolah ini sudah terlalu lama bungkam terhadap keluhan murid.”
Seorang ibu di sebelahnya berdiri. “Tapi kalau mereka benar, kenapa tidak bicara langsung ke guru? Kenapa harus diumbar ke internet?”
Karena langsung bicara tak pernah didengar, batin banyak siswa yang hadir.
Namun sebelum ada yang bisa menjawab, suara lain menggema dari belakang aula. Nala berdiri.
“Karena kami sudah pernah bicara. Tapi ditertawakan. Dibilang lebay. Dibilang terlalu sensitif. Lalu kami disuruh diam. Jadi kami bicara dengan cara kami.”
Tepuk tangan pecah. Tapi juga suara cemooh.
Suasana rapat semakin panas. Tapi dari api itulah akhirnya muncul percikan baru: sebuah ide untuk membentuk forum tetap antara siswa, guru, dan orang tua.
“Kalau anak-anak ini mau bicara, mari kita dengarkan. Tapi bukan dengan marah. Dengan diskusi,” kata Pak Rahmat, guru Bahasa Indonesia.
---
Malam itu, keempat sahabat berkumpul di kamar Raka.
“Kita belum menang,” kata Dita.
“Tapi kita juga belum kalah,” sahut Juno.
Nala menatap mereka satu per satu. “Aku nggak nyangka bisa sejauh ini.”
“Kalian sadar nggak,” ucap Raka sambil menatap langit-langit, “kalau semua ini gara-gara satu podcast? Satu suara. Dan sekarang, semuanya berubah.”
Mereka terdiam. Tapi bukan karena takut. Kali ini, mereka diam karena tahu: badai belum selesai, tapi mereka sudah mulai jadi angin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments