Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling

Ruang BK di sekolah itu selalu memiliki aroma yang sulit dijelaskan. Campuran dari kertas tua, pengharum ruangan murahan, dan… tekanan yang tak terlihat. Kebanyakan siswa datang ke sana bukan untuk ‘konseling’, tapi karena disuruh. Seperti ruang interogasi yang dibungkus label ‘bimbingan’.

Dita duduk di sofa abu-abu yang keras, menunggu giliran dipanggil. Podcast-nya yang viral bersama Juno dan Nala menarik perhatian banyak pihak—termasuk Bu Sinta, guru BK.

Tak lama, pintu terbuka. “Dita, masuk ya,” kata Bu Sinta dengan senyum tipis yang seperti... bukan senyum.

Dita masuk, duduk, dan meletakkan tasnya di samping kursi.

“Kamu sehat, Dit?” tanya Bu Sinta sambil membuka catatan.

“Sehat, Bu.”

“Saya udah denger podcast kamu. Yang tentang... ingin jadi bodoh.”

Dita menahan napas. “Iya, Bu.”

“Kenapa kamu merasa ingin seperti itu? Kan kamu selama ini pintar, berprestasi.”

“Itu justru masalahnya, Bu,” ucap Dita, suaranya pelan. “Saya capek harus terus jadi sempurna. Nilai, ekspektasi, semuanya bikin saya gak bisa nafas.”

Bu Sinta menulis sesuatu di catatannya. Dita mencuri pandang. Tulisan tangan itu rapi tapi tegas. Terlalu tegas.

“Kamu pernah cerita ini ke orang tua kamu?” tanya Bu Sinta lagi.

Dita menggeleng. “Takut.”

“Takut kenapa?”

“Takut dianggap manja.”

Hening sebentar. Lalu Bu Sinta bersandar. “Dita, saya ngerti kamu punya tekanan. Tapi kamu juga harus hati-hati. Di usia kalian, banyak yang terlalu larut dalam emosi. Kadang yang kalian anggap ‘kebebasan berekspresi’ bisa jadi bumerang.”

“Podcast itu bukan untuk memberontak, Bu. Kami cuma... jujur.”

“Kejujuran itu bagus, tapi kalau salah cara, bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.”

Dita menatap mata Bu Sinta. “Iya Bu, makanya kami bilang pelan-pelan. Gak semua orang bisa langsung ngerti. Tapi bukan berarti kami harus diam.”

Suasana jadi canggung.

Lalu, tiba-tiba Bu Sinta berkata, “Kamu pernah ikut konseling sebelumnya?”

“Belum.”

“Oke. Saya mau mulai jadwal rutin untuk kamu. Seminggu sekali. Bukan karena kamu bermasalah, tapi biar kamu bisa cerita. Siapa tahu, kamu bisa lihat masalah ini dari sudut pandang yang berbeda.”

Dita ingin menolak. Tapi ia juga tahu, mungkin ini bisa jadi ruang aman—kalau bukan sekarang, mungkin nanti.

“Iya, Bu,” jawabnya pelan.

Sore itu, Dita keluar dari ruang BK dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apakah pertemuan itu berguna, tapi satu hal yang ia sadari: menjadi jujur memang tidak nyaman. Tapi setidaknya, itu nyata.

Sementara itu, Juno dan Nala sedang duduk di perpustakaan. Membuka komentar di episode terbaru.

“Lo lihat ini?” tanya Nala sambil menunjukkan komentar:

‘Dita mewakili semua anak pintar yang sebenarnya tertekan. Thanks, Podcast Gagal Paham.’

Juno tersenyum. “Dia berani akhirnya.”

“Dan dia yang paling kita pikir akan susah ngomong.”

“Gue rasa, generasi kita ini bukan gak bisa bicara. Kita cuma capek ngomong tapi gak didenger.”

Nala mengangguk. “Makanya kita terusin podcast ini. Bukan buat viral. Tapi buat jadi suara buat yang gak bisa bersuara.”

Sepulang dari ruang BK, Dita tidak langsung pulang. Ia duduk di halte sekolah yang menghadap ke lapangan. Angin sore berhembus pelan. Sepi. Cuma suara gemerisik daun yang menari di antara bangku-bangku kosong.

Pikirannya masih berputar. Tentang kata-kata Bu Sinta. Tentang podcast. Tentang dirinya sendiri yang selama ini terlalu takut untuk jujur.

Juno datang menyusul, membawa dua es teh dalam plastik. “Tadi lo dipanggil Bu Sinta ya?”

Dita mengangguk pelan. “Dia suruh gue konseling seminggu sekali.”

“Karena podcast?”

“Karena gue ‘terlalu jujur’, katanya.”

Juno duduk di samping Dita. Menyerahkan satu es teh. “Gue heran deh. Sekolah ngajarin kita buat jujur, tapi giliran kita jujur, malah dianggap nyusahin.”

Dita tersenyum kecil. “Kayaknya yang mereka mau itu jujur yang... sesuai kurikulum.”

Juno tertawa kecil. “Iya. Jujur versi buku paket.”

Sesaat, tak ada yang bicara. Hanya es teh yang tinggal setengah, dan senja yang mulai menutup hari.

“Gue takut, Jun,” kata Dita akhirnya. “Kalau podcast ini bikin kita semua dalam masalah.”

Juno mengangguk. “Gue juga. Tapi lebih takut kalau kita gak ngomong apa-apa.”

Dita mengangguk pelan. Dalam diam, ada kesepakatan yang tak diucap: bahwa mereka memilih untuk tetap bersuara—meski pelan, meski takut.

---

Keesokan harinya, ruang BK kembali sibuk. Kali ini bukan Dita yang dipanggil, tapi Nala. Dan tak lama setelah itu, Juno menyusul.

Ternyata, Bu Sinta ingin membuat “kelompok konseling khusus” untuk mereka bertiga. Alasannya: supaya mereka bisa “menyalurkan keresahan dengan cara positif.”

“Dengan kata lain, Bu Sinta mau kita diem di podcast,” bisik Nala saat mereka duduk di ruang tunggu.

“‘Menyalurkan keresahan dengan cara positif’ \= diem dan ikut ekstrakurikuler debat,” sahut Juno.

Dita hanya mengangguk, menatap lantai.

Tak lama, mereka bertiga dipanggil masuk bersama. Di dalam, Bu Sinta duduk dengan senyum hangat, tapi kaku.

“Saya apresiasi keberanian kalian. Tapi saya juga khawatir. Podcast itu... sangat terbuka. Dan beberapa guru merasa tersinggung. Kita harus jaga nama baik sekolah.”

Juno menatap lurus. “Bu, kami gak pernah sebut nama sekolah. Gak ada guru yang kami sebut juga.”

“Betul. Tapi banyak yang merasa, narasi kalian terlalu... menyudutkan.”

“Bu,” Dita menyela, suaranya tenang tapi tegas, “kalau kami bilang kami kelelahan dan itu menyindir sistem, apakah sistemnya yang salah... atau kami yang harus diam?”

Pertanyaan itu membuat Bu Sinta terdiam sejenak.

Nala menambahkan, “Kami cuma pengen bicara, Bu. Yang lain mungkin gak bisa. Tapi kami bisa. Jadi kenapa harus ditahan?”

Bu Sinta memijat pelipisnya. “Saya tidak melarang. Tapi kalian harus siap dengan konsekuensi. Dunia ini tidak selalu ramah dengan kejujuran.”

“Kami tahu,” jawab Juno, “Tapi lebih baik kami tahu dari sekarang, kan, Bu?”

Setelah pertemuan itu, suasana sekolah mulai berubah. Beberapa guru jadi lebih ketat memperhatikan mereka. Ada yang menegur karena alasan sepele. Ada yang mulai mencatat kehadiran mereka dengan teliti. Bahkan, wali kelas mereka pernah berkata, “Kalian pintar, tapi jangan kebanyakan mikir.”

Tapi justru dari tekanan itu, podcast mereka semakin kuat. Mereka mulai mengundang teman-teman dari kelas lain untuk berbicara. Ada yang bercerita soal perundungan, soal tekanan orang tua, bahkan soal mimpi yang selalu ditertawakan.

Podcast Gagal Paham jadi tempat aman.

Tempat di mana suara-suara yang biasanya dibungkam, akhirnya bisa didengar.

Namun... ancaman bukan hanya datang dari guru. Beberapa siswa juga mulai risih.

“Lo ngerasa paling bener, ya?”

“Kalian tuh cari panggung doang.”

Komentar-komentar seperti itu mulai bermunculan. Bahkan suatu hari, poster podcast mereka di mading sekolah disobek. Di bawahnya, ada coretan: “Gagal paham? Emang kalian siapa?”

Dita berdiri di depan mading itu, menatap sisa sobekan poster. Dadanya sesak.

Tapi dari belakang, suara Nala pelan berkata, “Kalau mereka sobek, kita cetak lagi. Kalau mereka tutup mading, kita cari dinding lain.”

Juno datang dengan poster baru di tangannya. “Atau kita bikin mural aja sekalian.”

Dita tersenyum. Kali ini lebih lebar. Ia tahu, ketakutannya masih ada. Tapi sekarang ia tidak sendirian.

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!