Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja

Suasana sekolah seolah berubah menjadi hutan sunyi penuh mata-mata. Sejak surat peringatan itu keluar, semua gerak-gerik Nala, Raka, Dita, dan Juno diawasi. Mereka bukan lagi murid biasa. Mereka seperti tokoh dalam cerita yang setengah dibenci, setengah dikagumi. Beberapa teman mendekat diam-diam, memberi semangat tanpa suara. Tapi lebih banyak yang menjauh, takut tertular masalah.

Setiap mereka berjalan di koridor, suara-suara berbisik mengikuti dari belakang.

“Eh itu mereka, yang bikin podcast itu.”

“Berani banget ya, ngelawan sekolah sendiri.”

“Katanya sih gara-gara mereka, sekolah kita diawasin dinas.”

“Bikin malu aja.”

Nala sudah terbiasa dengan omongan-omongan seperti itu, tapi tetap saja, hati kecilnya terluka. Ia bukan ingin mencari masalah. Mereka hanya ingin bicara. Ingin generasi mereka punya ruang untuk jujur, untuk bernapas. Tapi yang mereka dapat justru label-label menyakitkan: pembangkang, pemberontak, kurang ajar.

Di ruang kelas, mereka tidak lagi diperlakukan sebagai siswa biasa. Guru-guru mengajar seolah mereka transparan, tak terlihat. Bahkan ketika Nala mengangkat tangan untuk bertanya, beberapa guru pura-pura tidak melihat.

Hari itu, Bu Yanti — guru Bahasa Indonesia yang biasanya lembut — tiba-tiba menyindir di tengah pelajaran.

“Kita harus tahu batas ketika menyampaikan pendapat. Jangan sampai kebebasan berbicara dipakai untuk menjatuhkan orang lain,” ucapnya, tanpa menyebut nama siapa pun. Tapi semua mata di kelas langsung menoleh ke arah Nala dan teman-temannya.

Juno mengepalkan tangan di bawah meja. Raka menunduk dalam-dalam. Sementara Dita hanya menghela napas pelan.

Setelah pelajaran, mereka bertemu lagi di ruang podcast kecil yang kini mereka jaga seperti markas rahasia.

“Jadi, ini harga yang harus kita bayar?” ujar Raka sambil menjatuhkan tasnya ke lantai.

“Kata mereka, kita kurang ajar,” sambung Juno, suaranya lirih tapi dalam.

Dita melipat tangannya, “Aku muak. Mereka cuma tahu permukaannya. Mereka nggak tahu gimana rasanya jadi kita.”

Nala menatap satu persatu, lalu berkata, “Kalau kita menyerah sekarang, mereka benar. Mereka akan pikir kita salah dari awal.”

Senyap.

“Kalau gitu, kita lanjut,” kata Raka akhirnya.

“Kita terus bicara. Karena diam, justru lebih menyakitkan,” balas Juno.

---

Beberapa hari kemudian, salah satu video potongan podcast mereka viral di TikTok. Bukan unggahan resmi mereka. Tapi seorang siswa dari sekolah lain mengambil potongan klip saat Nala berkata:

“Sekolah seharusnya tempat tumbuh, bukan tempat tunduk.”

Komentar mengalir seperti banjir yang tak bisa dibendung.

> “Ini anak-anak kurang ajar banget.”

“Udah dikasih sekolah gratis, malah ngelawan.”

“Coba aja sekolah di luar negeri, pasti tahu bersyukur.”

“Tapi... gue setuju juga sih, kadang sekolah nggak ngerti kita.”

Satu sisi menghujat. Sisi lain mendukung. Tapi yang paling menyakitkan adalah komentar dari orang dewasa yang menyamakan mereka dengan generasi “baperan, manja, nggak tahu sopan santun.”

Nala membaca semua komentar itu malam-malam, di layar ponselnya yang retak. Ia merasa seperti dihantam ribuan suara sekaligus. Suara-suara yang tak mencoba mengerti, hanya ingin membungkam.

“Kenapa selalu kita yang salah karena berani bicara?” gumamnya lirih.

---

Keesokan harinya, mereka dipanggil oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Pak Yanuar.

Ruangannya tidak terlalu besar, tapi selalu terasa mencekam. Di dindingnya tergantung kutipan besar:

"Disiplin adalah jembatan antara tujuan dan pencapaian."

Pak Yanuar menatap mereka tajam.

“Kalian tahu, sekarang nama sekolah ini dibicarakan di media sosial karena kalian. Apa kalian bangga dengan itu?”

Raka menatap lurus, “Kami tidak bermaksud mempermalukan sekolah. Kami hanya ingin... didengar.”

“Dengan membuat podcast yang menyudutkan guru?” potong Pak Yanuar.

“Yang kami sampaikan itu kenyataan yang kami alami,” jawab Dita cepat.

Pak Yanuar mengetuk meja pelan.

“Kenyataan atau tidak, ada cara untuk menyampaikannya. Kalian bukan jurnalis. Kalian murid. Dan murid seharusnya tahu posisi.”

Nala tidak tahan.

“Kalau murid hanya diam dan mengikuti semua, apa itu namanya pendidikan?”

Pak Yanuar terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.

“Kalian harus berhenti sekarang. Jika masih melanjutkan podcast, konsekuensinya tidak akan sesederhana surat peringatan.”

“Apakah kami akan dikeluarkan?” tanya Juno, tenang tapi tajam.

Pak Yanuar tidak menjawab. Ia hanya menatap mereka satu per satu. Tatapan yang cukup untuk membuat mereka tahu: ini serius.

---

Malam itu, mereka duduk di warung kopi kecil dekat sekolah.

Dita membuka obrolan, “Kalau mereka keluarkan kita… apa itu artinya kita kalah?”

Raka menggeleng. “Kita kalah kalau kita berhenti percaya sama suara kita.”

“Apa kita lanjut?” tanya Juno.

Nala menatap mereka semua.

“Ya. Karena mereka boleh bilang kita kurang ajar. Tapi kita tahu, kita hanya sedang mencoba jadi manusia.”

---

Di episode podcast berikutnya, mereka bicara tanpa sensor. Tanpa takut.

“Generasi kami lelah dijelaskan tapi tidak dipahami. Kami tidak kurang ajar. Kami hanya ingin diperlakukan sebagai manusia seutuhnya,” ucap Nala di pembukaan.

Dita menyambung, “Kalau bicara jujur itu disebut melawan, maka sistem pendidikan ini memang sudah butuh dikaji ulang.”

Juno dan Raka melanjutkan dengan kisah nyata dari teman-teman mereka yang merasa tertekan, tidak didengar, dan dipaksa menjadi robot nilai.

Dan kali ini, mereka menutup podcast dengan satu kalimat yang membuat siapa pun yang mendengarkan merasa ditampar:

"Kalian boleh memaksa kami diam. Tapi kata-kata kami akan terus tinggal di kepala kalian."

---

Beberapa hari setelahnya, media lokal meliput podcast mereka. Artikel berjudul “Sekelompok Siswa SMA Bicara Tentang Pendidikan: Kurang Ajar atau Jujur?” tersebar di Twitter dan Instagram.

Orang-orang dewasa mulai terbagi dua kubu.

Ada yang mendukung:

> “Anak-anak ini berani. Kita dulu nggak punya ruang seperti mereka.”

“Inilah pendidikan yang sejati mengajarkan anak berpikir kritis.”

Tapi tentu saja, ada yang tetap menyalahkan:

> “Sekolah sekarang gagal membentuk generasi yang patuh.”

“Kalau semua murid begini, negara ini hancur.”

---

Meski hujatan terus datang, semangat mereka justru semakin kuat. Mereka mulai menerima pesan dari siswa-siswa lain di berbagai kota. Cerita tentang guru yang tidak adil, sistem yang menekan, mimpi yang dikerdilkan.

Dari balik layar, mereka sadar: suara mereka bukan hanya milik mereka sendiri. Ini sudah menjadi suara kolektif.

Di akhir minggu itu, mereka kembali ke ruang podcast. Nala duduk di kursinya, menatap mikrofon, lalu berkata:

“Kalau kata mereka kita kurang ajar, maka biarkan kami menjadi generasi yang kurang ajar. Karena sopan santun yang hanya berarti tunduk, bukanlah nilai yang patut diwariskan.”

Mereka semua terdiam sejenak setelah rekaman berhenti.

Juno tersenyum, “Kita mungkin sedang membuat sejarah.”

Raka tertawa kecil, “Atau sedang mengukir pelanggaran besar.”

Dita menatap langit-langit, lalu bergumam,

“Apapun itu... kita tidak akan lagi jadi generasi yang gagal paham.”

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!