Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran

Aroma hujan masih mengendap di pagi itu ketika ruang podcast mereka dipenuhi suara hening yang berat. Hari-hari belakangan ini terasa seperti berjalan di atas tali yang digantung antara dua jurang: satu jurang ancaman dari pihak sekolah, satu lagi suara-suara dukungan yang datang dari luar tembok mereka.

Nala menatap layar ponselnya. DM dari siswa-siswa lain terus berdatangan. Ada dari Semarang, Palembang, bahkan Makassar. Semuanya punya keresahan yang sama. Semuanya punya cerita tentang bagaimana mereka tak pernah merasa aman untuk bicara. Di antara ratusan pesan itu, ada satu yang menarik perhatiannya:

> “Kalian bikin aku berani untuk cerita ke guru BK soal tekanan di rumah. Pertama kali dalam hidup, aku ngerasa nggak sendirian.”

Mata Nala berkaca. Di sisi lain meja, Raka baru selesai mengedit episode terbaru mereka. Juno dan Dita duduk berseberangan, masing-masing tenggelam dalam pikiran.

“Kita udah bukan cuma ngebahas soal sekolah kita doang sekarang,” ucap Raka pelan, memecah sunyi.

“Ini udah lebih besar,” Juno menimpali. “Lebih dari ruang kelas, lebih dari guru-guru.”

Dita mengangguk, “Ini tentang kita semua yang selama ini dipaksa nurut. Tentang sistem yang jalan terus kayak mesin, meskipun isinya udah rusak.”

Nala menatap mereka satu-satu. “Keresahan kita ternyata bukan milik kita doang.”

Pekan itu, sekolah memutuskan untuk mengadakan “Forum Terbuka Bersama Siswa” — sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Undangan disebar lewat grup WhatsApp kelas dan mading digital sekolah. Tulisannya berbunyi:

> Mari berdiskusi. Mari saling mendengar. Forum ini terbuka untuk siswa yang ingin menyampaikan gagasan dan masukan tentang sekolah dan pendidikan. Tanpa saling serang. Tanpa emosi. Datang dan suarakan isi pikiranmu.

Para guru menyebutnya sebagai upaya untuk “meredam gejolak”. Tapi di balik layar, banyak yang mencibir forum itu hanya formalitas.

Namun Nala dan yang lainnya melihatnya sebagai peluang. “Ini kesempatan,” kata Nala. “Kita bawa keresahan kita, bukan sebagai tuduhan, tapi sebagai kebenaran yang perlu didengar.”

Hari forum tiba. Aula dipenuhi ratusan siswa, guru, bahkan beberapa staf dari dinas pendidikan. Tak biasanya suasana sekolah seserius ini. Di atas panggung kecil, ada lima kursi disediakan untuk perwakilan siswa. Tanpa perlu diskusi panjang, semua orang tahu siapa yang akan duduk di sana: Nala, Raka, Dita, Juno, dan satu lagi perwakilan OSIS.

Ketika mikrofon diberikan pada Nala, aula masih sunyi. Semua menunggu, sebagian menilai, sebagian lagi bersiap mencibir.

Nala berdiri. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya tajam.

“Nama saya Nala. Saya bukan siswa terbaik. Nilai saya biasa saja. Tapi saya percaya, nilai tidak selalu mencerminkan kemampuan berpikir kritis atau keberanian berbicara.”

Beberapa guru langsung bergumam pelan. Tapi Nala melanjutkan.

“Kami membuat podcast bukan untuk melawan. Kami hanya ingin bicara. Kami resah, karena banyak hal di sekolah tidak lagi terasa manusiawi. Kami ingin guru jadi teman berpikir, bukan hanya penguasa kelas.”

Dita kemudian menyambung. Suaranya pelan tapi jelas.

“Banyak dari kami datang ke sekolah dengan kepala penuh tekanan. Bukan hanya dari rumah, tapi juga dari sistem yang menilai kami hanya dari angka. Kami tidak pernah diajarkan bagaimana memahami diri, hanya diajarkan bagaimana menyelesaikan soal.”

Juno maju, membuka catatan kecil dari saku hoodie-nya.

“Dan ketika kami bicara tentang itu, kami disebut kurang ajar. Padahal kami hanya jujur. Kami tidak tahu harus bicara di mana, kalau bukan di ruang yang kami buat sendiri. Kami resah, dan keresahan itu bukan salah.”

Raka berdiri terakhir.

“Kalau sekolah adalah tempat kami bertumbuh, kenapa banyak dari kami justru merasa menyusut di sini?”

Aula sunyi. Tidak ada tepuk tangan. Tapi ada tatapan yang berubah. Tatapan dari siswa-siswa lain yang biasanya hanya diam. Kini mereka merasa diwakili.

Salah satu guru, Pak Tohir — guru sejarah yang dikenal keras — tiba-tiba mengangkat tangan.

“Kalau semua murid bicara seenaknya begini, apa kalian ingin sekolah ini jadi tempat demonstrasi?”

“Tidak, Pak,” jawab Nala tegas. “Kami ingin sekolah jadi tempat diskusi. Tempat di mana kami boleh salah, tapi juga boleh bertanya.”

Guru lain, Bu Riris dari BK, ikut angkat bicara. “Saya sebenarnya setuju. Banyak anak datang ke ruangan saya dengan tekanan luar biasa, tapi tidak tahu harus bagaimana. Kadang saya sendiri bingung, karena sistem kita kaku.”

Pembicaraan mulai berkembang. Dari awalnya menegangkan, forum perlahan menjadi ajang curhat terbuka. Satu per satu siswa mulai angkat tangan. Ada yang cerita soal guru yang pilih kasih, ada yang merasa trauma karena perundungan, bahkan ada yang bicara soal tekanan orang tua yang tak pernah puas.

Hari itu, keresahan benar-benar menjadi kebenaran yang diucapkan bersama-sama.

Setelah forum, sesuatu berubah. Tidak drastis. Tidak mendadak. Tapi ada celah kecil yang mulai terbuka.

Guru-guru mulai mengubah cara mereka memulai pelajaran. Ada yang membuka kelas dengan tanya kabar. Ada yang menyelipkan diskusi ringan di tengah materi.

Dan lebih penting lagi, banyak siswa yang mulai percaya bahwa suara mereka punya arti.

Podcast mereka semakin dikenal. Kini bukan cuma siswa yang mendengarkan. Mahasiswa, orang tua, bahkan beberapa guru dari sekolah lain mengirim pesan dukungan. Judul episode terbaru mereka adalah “Keresahan adalah Kebenaran”.

Di episode itu, mereka menekankan bahwa generasi mereka tidak anti-nasehat. Mereka hanya ingin didengar dulu sebelum diceramahi. Bahwa kesopanan tidak harus berarti diam. Bahwa kritik tidak selalu berarti membenci.

“Selama ini kita diajarkan untuk menelan semua, tanpa boleh bertanya kenapa. Tapi bagaimana kita bisa belajar jika takut mempertanyakan?” ucap Dita di ujung episode.

Namun tentu saja, tidak semua orang senang.

Beberapa akun anonim mulai menyebar rumor bahwa mereka dibayar oleh LSM, bahwa mereka hanya ingin viral, bahwa mereka punya agenda tersembunyi. Bahkan beredar foto editan yang menunjukkan Raka dan Nala sedang ‘dibina’ oleh polisi — tentu saja palsu.

“Haters gonna hate,” ucap Juno santai. Tapi mereka sadar, tekanan itu belum usai.

Suatu malam, Nala mendapat telepon dari nomor tak dikenal. Saat diangkat, terdengar suara laki-laki dewasa.

“Kalian berhenti sekarang, atau kami pastikan kalian tidak lulus tahun ini.”

Malam itu, mereka bertemu diam-diam di rumah Juno.

“Kalau kita lanjut, risikonya makin besar,” kata Raka.

“Aku nggak takut,” balas Nala.

“Aku juga,” sambung Dita.

Juno menatap mereka satu-satu. “Kalau keresahan kita sudah mulai ditakuti, artinya kita sudah di jalan yang benar.”

Mereka menatap satu sama lain, dan tahu: mereka tak akan mundur.

Bukan karena ingin jadi pahlawan.

Tapi karena mereka sadar: jika mereka tidak melanjutkan, siapa lagi?

Episodes
1 Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2 Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3 Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4 Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5 Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6 Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7 Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8 Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9 Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10 Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11 Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12 Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13 Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14 Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15 Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16 Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17 Bagian 17 Surat Peringatan
18 Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19 Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20 Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21 Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22 Bagian 22 Dita Menjauh
23 Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24 Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25 Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26 Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27 Bagian 27 Raka dalam Dilema
28 Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29 Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30 Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31 Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32 Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33 Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34 Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35 Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36 Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37 Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38 Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39 Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40 Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41 Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42 Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43 Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44 Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45 Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46 Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47 Bagian 47 Podcast Terakhir
48 Bagian 48 Juno Menghilang
49 Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50 Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bagian 1 : Wacana yang Tak Pernah Usai
2
Bagian 2 Nala, Si Pemberani di Dunia Maya
3
Bagian 3 Puisi Juno di Tengah Matematika
4
Bagian 4 Dita dan Keinginan Jadi Bodoh
5
Bagian 5 Bimbingan Konseling, Bukan Konseling
6
Bagian 6 Kita Ini Generasi Apa?
7
Bagian 7 Sekolah Rasa Penjara
8
Bagian 8 Salah Faham dalam Diam
9
Bagian 9 Kenapa Cinta Bikin Bingung?
10
Bagian 10 Pertemuan yang Mengubah Segalanya
11
Bagian 11 Podcast Gagal Paham
12
Bagian 12 Viral yang Tidak Direncanakan
13
Bagian 13 Reaksi Guru, Respons Dunia
14
Bagian 14 Orang Tua yang Tak Mau Mendengar
15
Bagian 15 Komentar Pedas dari Netizen
16
Bagian 16 Di Balik Layar Podcast
17
Bagian 17 Surat Peringatan
18
Bab 18 – Kata Mereka, Kita Kurang Aja
19
Bagian 19 Keresahan adalah Kebenaran
20
Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai
21
Bagian 21Rasa yang Tak Terdefinisi
22
Bagian 22 Dita Menjauh
23
Bagian 23 Juno dan Luka Lama
24
Bagian 24 Pertengkaran Pertama
25
Bagian 25 Nala yang Kelelahan
26
Bagian 26 Rahasia-Rahasia Kecil
27
Bagian 27 Raka dalam Dilema
28
Bagian 28 Ujian Bernama Persahabatan
29
Bagian 29 Pilih Cinta atau Kebenaran
30
Bagian 30 Diam Adalah Pengkhianatan
31
Bagian 31 Dialog Palsu di Ruang Guru
32
Bagian 32 Rapat Orang Tua yang Membara
33
Bagian 33 Guru Favorit Ikut Mengecewakan
34
Bagian 34 Mereka Bilang Kita Kurang Ajar
35
Bagian 35 Masalah Itu Bernama Reputasi
36
Bagian 36 Dunia Dewasa Tak Seindah Dulu
37
Bagian 37 Antara Cita-Cita dan Kenyataan
38
Bagian 38 Label Buruk yang Menempel
39
Bagian 39 Ketika Kejujuran Malah Dihukum
40
Bagian 40 Sekolah dan Politik dalam Miniatur
41
Bagian 41 Rencana Besar Dimulai
42
Bagian 42 Poster, Spanduk, dan Tanda Tanya
43
Bagian 43 Aksi Diam yang Berteriak
44
Bagian 44 Mereka Tak Siap Mendengar
45
Bagian 45 Nala Bicara di Forum Terbuka
46
Bagian 46 Dita Menulis Surat Terbuka
47
Bagian 47 Podcast Terakhir
48
Bagian 48 Juno Menghilang
49
Bagian 49 Raka Dipanggil Polisi
50
Bagian 50 Kita Tak Bisa Mundur

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!