Aroma hujan masih mengendap di pagi itu ketika ruang podcast mereka dipenuhi suara hening yang berat. Hari-hari belakangan ini terasa seperti berjalan di atas tali yang digantung antara dua jurang: satu jurang ancaman dari pihak sekolah, satu lagi suara-suara dukungan yang datang dari luar tembok mereka.
Nala menatap layar ponselnya. DM dari siswa-siswa lain terus berdatangan. Ada dari Semarang, Palembang, bahkan Makassar. Semuanya punya keresahan yang sama. Semuanya punya cerita tentang bagaimana mereka tak pernah merasa aman untuk bicara. Di antara ratusan pesan itu, ada satu yang menarik perhatiannya:
> “Kalian bikin aku berani untuk cerita ke guru BK soal tekanan di rumah. Pertama kali dalam hidup, aku ngerasa nggak sendirian.”
Mata Nala berkaca. Di sisi lain meja, Raka baru selesai mengedit episode terbaru mereka. Juno dan Dita duduk berseberangan, masing-masing tenggelam dalam pikiran.
“Kita udah bukan cuma ngebahas soal sekolah kita doang sekarang,” ucap Raka pelan, memecah sunyi.
“Ini udah lebih besar,” Juno menimpali. “Lebih dari ruang kelas, lebih dari guru-guru.”
Dita mengangguk, “Ini tentang kita semua yang selama ini dipaksa nurut. Tentang sistem yang jalan terus kayak mesin, meskipun isinya udah rusak.”
Nala menatap mereka satu-satu. “Keresahan kita ternyata bukan milik kita doang.”
Pekan itu, sekolah memutuskan untuk mengadakan “Forum Terbuka Bersama Siswa” — sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Undangan disebar lewat grup WhatsApp kelas dan mading digital sekolah. Tulisannya berbunyi:
> Mari berdiskusi. Mari saling mendengar. Forum ini terbuka untuk siswa yang ingin menyampaikan gagasan dan masukan tentang sekolah dan pendidikan. Tanpa saling serang. Tanpa emosi. Datang dan suarakan isi pikiranmu.
Para guru menyebutnya sebagai upaya untuk “meredam gejolak”. Tapi di balik layar, banyak yang mencibir forum itu hanya formalitas.
Namun Nala dan yang lainnya melihatnya sebagai peluang. “Ini kesempatan,” kata Nala. “Kita bawa keresahan kita, bukan sebagai tuduhan, tapi sebagai kebenaran yang perlu didengar.”
Hari forum tiba. Aula dipenuhi ratusan siswa, guru, bahkan beberapa staf dari dinas pendidikan. Tak biasanya suasana sekolah seserius ini. Di atas panggung kecil, ada lima kursi disediakan untuk perwakilan siswa. Tanpa perlu diskusi panjang, semua orang tahu siapa yang akan duduk di sana: Nala, Raka, Dita, Juno, dan satu lagi perwakilan OSIS.
Ketika mikrofon diberikan pada Nala, aula masih sunyi. Semua menunggu, sebagian menilai, sebagian lagi bersiap mencibir.
Nala berdiri. Tangannya sedikit bergetar, tapi matanya tajam.
“Nama saya Nala. Saya bukan siswa terbaik. Nilai saya biasa saja. Tapi saya percaya, nilai tidak selalu mencerminkan kemampuan berpikir kritis atau keberanian berbicara.”
Beberapa guru langsung bergumam pelan. Tapi Nala melanjutkan.
“Kami membuat podcast bukan untuk melawan. Kami hanya ingin bicara. Kami resah, karena banyak hal di sekolah tidak lagi terasa manusiawi. Kami ingin guru jadi teman berpikir, bukan hanya penguasa kelas.”
Dita kemudian menyambung. Suaranya pelan tapi jelas.
“Banyak dari kami datang ke sekolah dengan kepala penuh tekanan. Bukan hanya dari rumah, tapi juga dari sistem yang menilai kami hanya dari angka. Kami tidak pernah diajarkan bagaimana memahami diri, hanya diajarkan bagaimana menyelesaikan soal.”
Juno maju, membuka catatan kecil dari saku hoodie-nya.
“Dan ketika kami bicara tentang itu, kami disebut kurang ajar. Padahal kami hanya jujur. Kami tidak tahu harus bicara di mana, kalau bukan di ruang yang kami buat sendiri. Kami resah, dan keresahan itu bukan salah.”
Raka berdiri terakhir.
“Kalau sekolah adalah tempat kami bertumbuh, kenapa banyak dari kami justru merasa menyusut di sini?”
Aula sunyi. Tidak ada tepuk tangan. Tapi ada tatapan yang berubah. Tatapan dari siswa-siswa lain yang biasanya hanya diam. Kini mereka merasa diwakili.
Salah satu guru, Pak Tohir — guru sejarah yang dikenal keras — tiba-tiba mengangkat tangan.
“Kalau semua murid bicara seenaknya begini, apa kalian ingin sekolah ini jadi tempat demonstrasi?”
“Tidak, Pak,” jawab Nala tegas. “Kami ingin sekolah jadi tempat diskusi. Tempat di mana kami boleh salah, tapi juga boleh bertanya.”
Guru lain, Bu Riris dari BK, ikut angkat bicara. “Saya sebenarnya setuju. Banyak anak datang ke ruangan saya dengan tekanan luar biasa, tapi tidak tahu harus bagaimana. Kadang saya sendiri bingung, karena sistem kita kaku.”
Pembicaraan mulai berkembang. Dari awalnya menegangkan, forum perlahan menjadi ajang curhat terbuka. Satu per satu siswa mulai angkat tangan. Ada yang cerita soal guru yang pilih kasih, ada yang merasa trauma karena perundungan, bahkan ada yang bicara soal tekanan orang tua yang tak pernah puas.
Hari itu, keresahan benar-benar menjadi kebenaran yang diucapkan bersama-sama.
Setelah forum, sesuatu berubah. Tidak drastis. Tidak mendadak. Tapi ada celah kecil yang mulai terbuka.
Guru-guru mulai mengubah cara mereka memulai pelajaran. Ada yang membuka kelas dengan tanya kabar. Ada yang menyelipkan diskusi ringan di tengah materi.
Dan lebih penting lagi, banyak siswa yang mulai percaya bahwa suara mereka punya arti.
Podcast mereka semakin dikenal. Kini bukan cuma siswa yang mendengarkan. Mahasiswa, orang tua, bahkan beberapa guru dari sekolah lain mengirim pesan dukungan. Judul episode terbaru mereka adalah “Keresahan adalah Kebenaran”.
Di episode itu, mereka menekankan bahwa generasi mereka tidak anti-nasehat. Mereka hanya ingin didengar dulu sebelum diceramahi. Bahwa kesopanan tidak harus berarti diam. Bahwa kritik tidak selalu berarti membenci.
“Selama ini kita diajarkan untuk menelan semua, tanpa boleh bertanya kenapa. Tapi bagaimana kita bisa belajar jika takut mempertanyakan?” ucap Dita di ujung episode.
Namun tentu saja, tidak semua orang senang.
Beberapa akun anonim mulai menyebar rumor bahwa mereka dibayar oleh LSM, bahwa mereka hanya ingin viral, bahwa mereka punya agenda tersembunyi. Bahkan beredar foto editan yang menunjukkan Raka dan Nala sedang ‘dibina’ oleh polisi — tentu saja palsu.
“Haters gonna hate,” ucap Juno santai. Tapi mereka sadar, tekanan itu belum usai.
Suatu malam, Nala mendapat telepon dari nomor tak dikenal. Saat diangkat, terdengar suara laki-laki dewasa.
“Kalian berhenti sekarang, atau kami pastikan kalian tidak lulus tahun ini.”
Malam itu, mereka bertemu diam-diam di rumah Juno.
“Kalau kita lanjut, risikonya makin besar,” kata Raka.
“Aku nggak takut,” balas Nala.
“Aku juga,” sambung Dita.
Juno menatap mereka satu-satu. “Kalau keresahan kita sudah mulai ditakuti, artinya kita sudah di jalan yang benar.”
Mereka menatap satu sama lain, dan tahu: mereka tak akan mundur.
Bukan karena ingin jadi pahlawan.
Tapi karena mereka sadar: jika mereka tidak melanjutkan, siapa lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments