Saat Liana bersiap pergi, ia melirik sekilas ke arah Arjuna yang tengah berdiri di dekat pintu. Sosoknya begitu gagah, bahkan dalam pakaian sederhana yang diberikan Kirana. Matanya yang tajam namun tenang seakan menyimpan rahasia besar yang belum sepenuhnya ia pahami.
Sebelum benar-benar melangkah keluar, Liana mendekati Kirana dan berbisik di telinganya dengan nada menggoda, "Kau sangat beruntung bisa tinggal bersama dewa yang sangat tampan."
Kirana membelalakkan mata dan hampir tersedak udara mendengar kata-kata itu. "Apa? Tidak! Dia hanya…" Kirana mencoba menyangkal, tapi pipinya yang mulai memerah malah membuat Liana tersenyum puas.
Liana mundur selangkah, memberi kedipan mata jahil sebelum melangkah pergi. "Jaga dia baik-baik, Kirana. Dewa atau bukan, sepertinya dia mulai menemukan tempat di dunia ini."
Kirana hanya bisa berdiri mematung di depan pintu, menatap punggung Liana yang semakin menjauh. Saat ia berbalik, Arjuna tengah menatapnya dengan alis sedikit terangkat.
"Apa yang dia katakan padamu?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu.
Kirana berdeham dan buru-buru menghindari tatapannya. "Tidak ada! Hanya hal sepele!"
Arjuna menyipitkan mata, tapi tidak mendesak lebih jauh. Ia hanya tersenyum tipis sebelum kembali masuk ke dalam rumah, sementara Kirana masih berdiri di tempatnya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang mendadak tak beraturan.
Matahari pagi masih bersinar hangat di langit Jakarta. Setelah kepergian Liana, Arjuna memutuskan untuk kembali berlatih di halaman rumah Kirana. Ia berdiri tegak, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menggerakkan tubuhnya dalam rangkaian teknik bertarung yang dulu menjadi kebanggaannya sebagai dewa perang.
Meskipun kekuatannya baru pulih sekitar lima persen, ia merasakan sedikit peningkatan dalam daya tahan dan kecepatannya. Setiap pukulan dan tendangan yang ia lepaskan kini terasa lebih kuat dibanding beberapa hari lalu. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan aliran angin di sekitarnya, berharap bisa kembali mengendalikannya. Namun, angin tetap diam, seakan masih menolak perintahnya.
Dari dalam rumah, Kirana mengamati Arjuna yang berkeringat tapi tetap teguh berlatih. Ada kekaguman dalam matanya, tapi juga sedikit rasa iba. Ia tahu Arjuna berusaha keras untuk kembali menjadi dirinya yang dulu, tapi perlahan, dunia ini mulai mengubahnya.
Sinar matahari semakin tinggi, menandakan hari mulai berjalan. Arjuna berhenti sejenak, menatap cakrawala. Besok, ia akan menghadapi Andi Wijaya. Tak peduli jika pria itu mendapat kekuatan dari Nakula, Arjuna tidak akan membiarkan manusia seperti itu terus merajalela. Dewa atau bukan, kali ini ia akan bertindak.
Waktu berlalu begitu cepat. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga yang perlahan menghilang ditelan gelapnya malam. Lampu-lampu kota mulai menyala, menghiasi Jakarta dengan gemerlap cahaya buatan.
Arjuna berdiri di dekat jendela, menatap langit yang mulai gelap. Ia merasa dadanya sedikit sesak, mungkin karena terus berada di dalam rumah seharian. Ia butuh udara segar, sekaligus ingin melihat lebih banyak tentang dunia manusia ini saat malam tiba.
“Aku keluar sebentar,” ujar Arjuna santai sambil meraih jaket yang diberikan Kirana beberapa hari lalu.
Kirana yang sedang duduk di sofa menatapnya dengan alis berkerut. “Mau ke mana?” tanyanya curiga.
“Hanya ingin berjalan-jalan sebentar,” jawab Arjuna tanpa menoleh.
Kirana mendesah. “Jangan bikin masalah, ya,” katanya setengah bercanda, setengah serius.
Arjuna hanya tersenyum tipis sebelum melangkah keluar. Begitu udara malam menyentuh wajahnya, ia menarik napas dalam-dalam. Jakarta di malam hari terasa berbeda—lebih hidup, lebih berisik, tapi juga menyimpan sesuatu yang misterius di balik setiap sudutnya.
Dengan langkah tenang, Arjuna mulai menyusuri trotoar, menikmati suasana kota yang belum sepenuhnya ia pahami. Tapi, tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.
Arjuna berjalan santai di trotoar, menikmati udara malam yang sejuk. Lampu-lampu jalan menerangi langkahnya, dan suara kendaraan yang lalu lalang menjadi latar belakang yang menenangkan pikirannya.
Namun, tiba-tiba ia merasakan hawa yang familiar—sebuah energi yang tidak berasal dari manusia biasa. Naluri dewa dalam dirinya langsung bereaksi. Ia berhenti melangkah, menoleh ke samping, dan di sana, berdiri seseorang yang sangat ia kenal.
“Nakula?” suara Arjuna penuh keterkejutan.
Sosok itu berdiri dengan santai, mengenakan pakaian yang menyatu dengan suasana malam Jakarta. Wajahnya tetap sama seperti yang Arjuna ingat—tenang, sedikit angkuh, tapi menyimpan sesuatu di balik tatapannya.
“Sudah lama, Arjuna,” kata Nakula dengan nada tenang namun tajam.
Arjuna menatap adiknya dengan perasaan yang campur aduk. Sebagai saudara, mereka memang sering bertengkar dan bersaing sejak kecil, tapi di balik semua itu, ada ikatan yang tak terputuskan. Dalam hatinya, ia merasakan sedikit kerinduan.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Arjuna, mencoba menahan emosinya.
Nakula tersenyum tipis, matanya memancarkan sesuatu yang sulit ditebak. “Aku hanya ingin melihat keadaan kakakku yang dulu begitu sombong, tapi sekarang berjalan di antara manusia biasa.”
Arjuna mendengus pelan. “Kalau kau datang hanya untuk mengejekku, lebih baik kau pergi.”
Namun, Nakula tidak bergeming. Ia melangkah mendekat, dan untuk sesaat, Arjuna melihat bayangan masa lalu mereka—dua saudara yang sering berlatih bersama, bertarung, dan saling menantang. Tapi ada sesuatu yang berbeda di mata Nakula kali ini.
“Aku tidak hanya datang untuk itu, Arjuna,” kata Nakula dengan suara rendah. “Aku ingin tahu… apakah kau masih sehebat dulu, atau kau sudah melemah sepenuhnya?”
Arjuna menyipitkan mata. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Ia bisa merasakan bahwa Nakula tidak hanya datang untuk berbasa-basi. Ada maksud tersembunyi di balik kata-katanya.
Dan malam itu, di bawah langit Jakarta, dua saudara yang pernah tumbuh bersama kini berdiri berhadapan. Namun, apakah ini pertemuan yang membawa kebahagiaan, atau awal dari sesuatu yang lebih gelap?
Arjuna menatap Nakula dengan tajam, hawa malam yang sejuk terasa tak berarti dibandingkan aura tegang yang kini mengelilingi mereka.
“Katakan, Nakula… Apa hubunganmu dengan Andi Wijaya?” suara Arjuna terdengar dalam, sarat dengan kemarahan yang ia tahan.
Nakula menyeringai kecil. “Ah, jadi kau sudah mulai menyadarinya?” Ia menyilangkan tangan di dada, sikapnya tetap santai. “Andi Wijaya hanyalah bidak kecil dalam permainan ini, Arjuna. Aku hanya memberinya sedikit… dorongan.”
Arjuna mengepalkan tangan. “Kau memberi kekuatan kepada manusia sepertinya?! Untuk apa, Nakula?!”
Nakula tertawa kecil, lalu mendekat dengan langkah perlahan. “Untuk melihat seberapa jauh kau bisa bertahan tanpa kekuatan dewa yang dulu kau banggakan.” Ia berhenti tepat di depan Arjuna, menatapnya lurus. “Aku ingin melihat apakah kau masih bisa menjadi ‘Arjuna yang hebat’ tanpa keangkuhanmu.”
Arjuna merasa darahnya mendidih. “Ini bukan sekadar permainan, Nakula! Orang-orang tidak bersalah bisa terluka karena perbuatanmu!”
“Tentu saja, itu bagian dari konsekuensinya,” kata Nakula acuh. “Manusia lemah, Arjuna. Mereka hanya tahu bagaimana tunduk pada yang lebih kuat. Andi Wijaya? Dia hanyalah alat. Kau tahu sendiri bagaimana manusia di dunia ini bekerja. Yang kuat menindas yang lemah. Aku hanya mempercepat proses itu.”
Arjuna merasakan dadanya sesak oleh amarah. Ini bukan Nakula yang ia kenal. Adiknya yang dulu mungkin merasa tertinggal di belakangnya, mungkin sering iri, tapi ia bukan seseorang yang akan tega menjatuhkan manusia hanya demi kepuasan pribadi.
“Ini bukan soal manusia atau dewa, Nakula,” kata Arjuna, suaranya lebih dalam. “Ini soal kehormatan. Kau telah kehilangan itu.”
Nakula mengangkat alis, ekspresi wajahnya menunjukkan sedikit kejengkelan. “Kehormatan? Kata orang yang dulu meremehkanku setiap saat?” Ia mendengus. “Jangan berbicara seolah kau lebih baik dariku, Arjuna. Dulu, kau tidak pernah peduli bagaimana perasaanku.”
Arjuna terdiam. Sekilas, ia bisa melihat rasa sakit yang tersimpan di mata Nakula. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Nakula sudah berbalik, melangkah menjauh.
“Aku akan melihat seberapa jauh kau bisa bertahan,” kata Nakula, tanpa menoleh. “Dan aku akan menikmati setiap detiknya.”
Arjuna mengepalkan tangan, menahan gejolak dalam dadanya. Ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—dan jauh lebih berbahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments