Di langit malam yang gelap, sebuah kilatan cahaya keemasan membelah angkasa, turun dengan kecepatan luar biasa menuju bumi. Kilatan itu semakin mendekat hingga akhirnya mendarat di sebuah hutan terpencil di pinggiran Kota Jakarta. Tanah berguncang ringan saat sosok itu berdiri tegap di antara pepohonan yang bergoyang diterpa angin.
Dewa Nakula, saudara Arjuna, membuka matanya perlahan. Matanya menyala dengan kilatan putih seperti badai yang siap dilepaskan. Udara di sekelilingnya berdesir, menciptakan pusaran angin kecil yang berputar mengelilinginya.
"Jadi, kau benar-benar telah diasingkan ke dunia ini, Arjuna," gumamnya sambil melirik sekeliling.
Ia menggerakkan jemarinya, merasakan bahwa sebagian besar kekuatannya masih tersisa. Namun, ada batasan—sesuatu di dunia ini menekan esensi ilahinya. Mungkin pengaruh dunia manusia, mungkin karena hukum yang ditetapkan oleh Arka Dewa sendiri.
Nakula menyeringai tipis. "Tidak masalah. Aku tetap jauh lebih kuat darimu sekarang."
Ia menutup matanya sejenak, mencoba merasakan keberadaan Arjuna. Koneksi darah mereka membuatnya bisa mendeteksi keberadaan saudaranya, meskipun samar.
"Di kota ini, ya?" ia berbisik, lalu melangkah keluar dari hutan dengan langkah percaya diri.
---
Setelah beberapa jam berjalan, Nakula tiba di tepian kota. Jakarta di tahun 2026 tampak lebih modern, lebih padat, dan lebih kacau dibanding yang ia bayangkan. Gedung pencakar langit berdiri megah di antara jalanan yang dipenuhi kendaraan melaju tanpa henti. Lampu neon berkedip-kedip, iklan hologram melayang di udara, dan manusia berlalu-lalang dengan berbagai ekspresi—ada yang bahagia, ada yang letih, dan ada yang penuh kebencian.
Ia memperhatikan semua itu dengan penuh ketertarikan. "Dunia manusia… tempat yang aneh, tetapi penuh kemungkinan."
Langkahnya terhenti di depan sebuah gang yang dipenuhi grafiti dan sampah berserakan. Beberapa pria berpenampilan kasar sedang mengelilingi seorang pemuda yang terpojok. Mereka tertawa, bersiap untuk merampas sesuatu darinya.
Nakula hanya menyipitkan mata. Tanpa ragu, ia melangkah ke arah mereka.
"Kalian sepertinya menikmati kekuatan atas orang yang lebih lemah," katanya dengan suara dingin.
Para preman itu menoleh. Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan tato di leher, menyeringai. "Dan kau siapa? Mau ikut campur, ya?"
Nakula hanya tersenyum kecil. Dalam sekejap, ia menggerakkan tangannya dengan kecepatan luar biasa. Sebelum para preman bisa bereaksi, angin kencang berputar di sekeliling mereka. Dalam hitungan detik, tubuh mereka terlempar ke udara, menghantam dinding dan tanah dengan keras. Mereka mengerang kesakitan, tak mampu memahami apa yang baru saja terjadi.
Pemuda yang tadi diintimidasi hanya bisa menatap dengan mata terbelalak.
"Apa… siapa kau?" tanyanya ketakutan.
Nakula menatapnya dengan tatapan tajam. "Katakan padaku… siapa orang paling berkuasa di kota ini?"
Pemuda itu gemetar, tetapi akhirnya menjawab, "M-Mungkin para bos kriminal… atau pejabat yang korup… mereka yang menguasai kota ini."
Nakula mengangguk pelan, lalu membalikkan badan. "Bagus. Sepertinya aku tahu ke mana harus pergi."
Dengan langkah tenang, ia berjalan meninggalkan gang itu. Di kepalanya, sebuah rencana mulai terbentuk—jika Arjuna benar-benar di dunia ini tanpa kekuatan, maka ini adalah saat yang tepat untuk menghancurkannya.
"Aku akan membuktikan bahwa akulah yang seharusnya menjadi pewaris takhta Gunung Meru," bisiknya sambil tersenyum licik.
Malam itu, Arjuna duduk di sudut kamar yang diberikan Kirana kepadanya. Ruangan sederhana itu memiliki dinding berwarna krem dengan rak buku kecil di sudut, serta kasur tanpa ranjang yang tertata rapi di lantai. Di atas kasur itu, beberapa potong pakaian telah disiapkan oleh Kirana untuknya—kaos polos, celana jeans, dan jaket sederhana.
Ia menatap pakaian-pakaian itu dengan raut wajah penuh ketidakpercayaan. "Pakaian fana ini…" gumamnya pelan.
Sejak diasingkan ke dunia manusia, Arjuna masih mengenakan pakaian kebesarannya sebagai dewa—jubah indah berwarna emas dan biru dengan ornamen khas para penghuni Gunung Meru. Namun, pakaian itu kini tampak tidak sesuai dengan dunia ini.
Dari luar kamar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Kirana muncul di ambang pintu sambil membawa secangkir teh hangat.
"Kau belum tidur?" tanyanya sambil berjalan mendekat dan meletakkan cangkir itu di meja kecil.
Arjuna menoleh sekilas sebelum kembali menatap pakaiannya. "Mengapa aku harus tidur? Aku seorang dewa. Aku tidak memerlukan istirahat seperti manusia."
Kirana tertawa kecil. "Kalau kau benar-benar dewa, kau pasti tahu bahwa tubuhmu sekarang adalah tubuh manusia. Dan manusia butuh istirahat."
Arjuna mendengus, tetapi tidak membalas. Ia menatap dirinya di cermin di sudut ruangan. Sosok yang ia lihat bukan lagi dewa perkasa yang pernah berdiri di puncak Gunung Meru. Kini, ia hanyalah seorang pria biasa—tanpa kekuatan, tanpa kehormatan.
"Sejak siang tadi kau tidak banyak bicara," ujar Kirana sambil duduk di kursi dekat meja. "Apa yang ada di pikiranmu?"
Arjuna menghela napas, lalu mengambil pakaian yang telah disiapkan Kirana dan mengamatinya dengan teliti. "Aku tidak terbiasa memakai sesuatu yang… seperti ini."
Kirana tersenyum, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Ya, kupikir begitu. Tapi jika kau tetap memakai jubah emas dan biru itu di tengah kota, kau pasti akan menarik perhatian yang tidak diinginkan."
Arjuna menggeleng pelan, masih mencoba memahami posisinya sekarang. Ia merasa tersesat di dunia yang tidak ia kenal.
"Aku adalah Arjuna, putra Arka Dewa dan Dewi Laksmi," ucapnya pelan. "Aku bukan manusia biasa."
Kirana menatapnya dengan tatapan iba. "Mungkin bukan manusia biasa, tapi saat ini… kau hanyalah seseorang yang tersesat di dunia ini. Mau tidak mau, kau harus belajar beradaptasi."
Arjuna terdiam, matanya menatap kosong ke arah lantai. Ia tak pernah berpikir bahwa suatu saat dirinya akan berada dalam posisi seperti ini—terbuang dari Gunung Meru, kehilangan kekuatannya, dan diperlakukan seperti manusia biasa.
Kirana berdiri dan berjalan mendekatinya. "Dengar… Aku tidak tahu seperti apa kehidupanmu sebelumnya. Tapi sekarang kau di dunia manusia. Jika kau ingin bertahan, kau harus mencoba hidup seperti manusia."
Ia meraih pakaian dari tangan Arjuna dan meletakkannya kembali di atas kasur. "Ganti pakaianmu, lalu tidur. Besok pagi kita akan bicara lebih banyak."
Arjuna menatap Kirana, ada sedikit keraguan di matanya. Namun, ia tak membantah. Setelah Kirana meninggalkan kamar, ia menghela napas panjang.
Ia tidak punya pilihan lain.
Perlahan, ia mulai mengganti pakaiannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengenakan pakaian manusia.
Malam itu, Arjuna terbaring di kasur dengan mata menatap langit-langit. Dunia manusia terasa begitu asing, begitu jauh dari kejayaan Gunung Meru.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya.
Pagi menjelang di kota Jakarta. Matahari mulai merayap naik, menyorotkan cahayanya melalui jendela kamar Arjuna. Ia terbangun, masih belum terbiasa dengan perasaan lelah setelah tidur—sesuatu yang tak pernah ia alami di Gunung Meru.
Ia menatap langit-langit kamar sederhana itu, merenungkan kehidupannya yang kini telah berubah drastis. Dulu, ia bangun dengan pemandangan megah di puncak Gunung Meru, dikelilingi oleh kemewahan dan keagungan. Sekarang, ia hanya seorang pria biasa yang terbuang ke dunia manusia.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Arjuna, kau sudah bangun?" Suara Kirana terdengar dari balik pintu.
Arjuna menghela napas dan bangkit dari kasur. "Aku sudah bangun."
Pintu terbuka, dan Kirana masuk dengan membawa satu set pakaian baru untuknya. Hari ini, ia mengenakan kemeja kasual dan celana jeans yang menampilkan kesan sederhana, tetapi tetap menarik. Namun, di balik ekspresi tenangnya, ada sesuatu yang ia sembunyikan—rasa gugup yang aneh setiap kali melihat Arjuna.
Sejak pertama kali bertemu, Kirana sudah menyadari satu hal yang sulit ia abaikan—Arjuna adalah pria paling tampan yang pernah ia lihat. Ada sesuatu dalam sorot mata tajamnya, garis rahangnya yang sempurna, dan aura percaya dirinya yang membuat Kirana sulit untuk tidak terpesona.
Namun, ia menepis pikirannya dan mencoba bersikap profesional.
"Aku akan pergi bekerja pagi ini," ujar Kirana sambil menyerahkan pakaian kepada Arjuna. "Dan aku ingin kau ikut denganku."
Arjuna menatap pakaian itu dengan ragu. "Untuk apa?"
"Untuk mencari pekerjaan," jawab Kirana tegas. "Kau tidak bisa hidup di dunia ini tanpa uang, dan untuk mendapatkan uang, kau butuh pekerjaan."
Arjuna mendengus kecil. "Aku seorang dewa. Aku tidak bekerja seperti manusia biasa."
Kirana menghela napas, sudah menduga jawaban itu. "Kau juga bukan lagi seorang dewa di sini, Arjuna."
Arjuna terdiam. Kata-kata itu menusuk egonya.
"Dengar," lanjut Kirana, "aku akan meminta bosku untuk memberikan pekerjaan kepadamu. Tapi setidaknya, kau harus mencoba bersikap lebih… normal."
Arjuna mengangkat satu alisnya. "Normal?"
Kirana tersenyum kecil. "Ya. Jangan bicara tentang Gunung Meru, jangan menyebut dirimu sebagai putra Arka Dewa, dan jangan bersikap seolah kau lebih tinggi dari semua orang di sekitarmu."
Arjuna mendengus lagi, tetapi kali ini ia tidak membantah. Ia hanya mengambil pakaian itu dan mulai menggantinya di hadapan Kirana tanpa sedikit pun rasa malu.
Mata Kirana membelalak, wajahnya langsung memanas. "Hei! Setidaknya tunggu sampai aku keluar dulu!" serunya sambil buru-buru membalikkan badan dan keluar dari kamar.
Di luar, Kirana menyandarkan dirinya ke dinding dan mengambil napas dalam-dalam. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. "Astaga… aku harus tetap fokus…" gumamnya.
Beberapa menit kemudian, Arjuna keluar dari kamar dengan pakaian yang telah diberikan. Kaos hitam dan jaket denim membuatnya terlihat seperti pria biasa—meskipun aura ketampanannya tetap sulit disembunyikan.
Kirana menatapnya dari ujung kepala hingga kaki dan mengangguk kecil. "Oke, kau sudah terlihat seperti manusia normal. Ayo pergi."
Arjuna mengikutinya keluar rumah, bersiap untuk menghadapi sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—bekerja di dunia manusia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments