Hampir sepuluh menit setelah keluar dari area komplek Ica masih juga tidak menemukan taksi yang lewat. Bahkan mobil angkot yang biasanya lewat, sekarang mendadak tidak ada yang beroperasi.
Tin..
"Bunyi klakson mobil membuyarkan lamunannya. "Bareng saya saja," ucap Kenan. Dibukakan nya kaca mobil.
"Taksi yang saya pesan lagi on the way kesini," jawab Ica tanpa menoleh.
Kenan keluar dari dalam mobil, menghampiri Ica, membukakan pintu samping kemudi. "Kalau gak dipesan mana mungkin taksinya datang," ucap nya sambil menatap sendu kemudian mempersilakan Ica masuk.
Ica sangat membenci lelaki yang sekarang berjarak hanya beberapa sentimeter dari tubuhnya. Namun ditatap seperti itu tentu saja berhasil membuat dirinya melemah. Jantungnya berdegup kencang seperti genderang mau perang.
Ica salah tingkah, tanpa sadar dirinya kini sudah duduk di samping kemudi.
Ada rindu yang tetap melekat. Namun juga ada rasa kecewa di dada. Karena cinta yang pernah ada kini tinggal kenangan yang menyedihkan hati.
Ica masih saja melamun, membuat Kenan inisiatif hendak memasangkan seat belt untuk dirinya.
"Gak usah! Aku bisa sendiri," ucap Ica menolak. Ia tidak mau nantinya seperti adegan sinetron yang berujung saling tatap - tatapan.
Kenan menurut, ia kembali menegakkan tubuhnya, bersiap mengendalikan kemudi.
Seolah baru tersadar Ica melirik kanan, kiri, belakang. "Ini kan mobil aku," batinnya beralih melirik lelaki disampingnya.
"Bu Monika yang menyuruh saya memakai mobil kamu." Ternyata Kenan begitu peka dengan ekspresi wajah Ica. Terbukti lelaki itu langsung menjelaskan.
"Terus kenapa kamu mau?" tanyanya dengan sinis.
Rasa benci itu kembali hinggap. "Oh, apa ini memang rencana kamu 'kan ya! Berawal berpura - pura mencintai ibu aku, menikahinya, kamu ambil mobil aku, terus ambil semua har......" ucapnya terhenti berbarengan dengan Kenan yang menginjak rem secara tiba - tiba.
Kenan menatap nyalang wajah Ica. Tak heran Ica berbicara seperti itu, semua orang juga pasti berpikir hal yang sama seperti yang barusan terucap dari mulut Ica. Namun semua orang itu tidak tau bagaimana perasaannya, bagaimana menderitanya harus menuruti kehendak yang tidak diinginkannya.
Kenan dapat melihat sorot kebencian yang begitu besar dari Ica. Perempuan itu kini terdiam. Matanya mulai berlinang.
Tanpa mengeluarkan kata, Kenan langsung membuka seat belt, keluar dari mobil itu. Dia tidak mungkin marah terhadap perempuan yang masih dicintainya.
Ica masih dengan amarahnya. Ia melihat pantulan tubuh Kenan dari spion samping. Lelaki itu sedang berjalan hendak menghentikan taksi.
Ica sama sekali tidak menyesali ucapannya, ia keluar untuk beralih ke kursi kemudi.
Dengan cepat perempuan itu mengemudikan kendaraan roda empatnya. Namun setelah begitu jauh mengemudi, ia baru tersadar tentang tujuannya akan kemana.
"Ke kampus, masih belum ada jadwal kelas. Ke rumah Hana, tapi tadi dia sudah dijemput pacarnya," Ica terus berbicara dalam pikirannya.
Akhirnya perempuan itu memutuskan untuk pergi ke kampus saja.
Ica memarkirkan mobilnya. Dirasa belum ada orang yang ia kenal, Ica melangkahkan kakinya menuju arah perpustakaan.
Baru sampai lorong, tiba - tiba beberapa orang lelaki menghampirinya, bersiul layaknya lelaki yang sedang menggoda.
"Hai cantik. Kamu Khalisa 'kan ya?" tanya salah satu dari mereka.
Tidak heran, semua orang pasti mengenal dirinya, karena Ica termasuk golongan mahasiswi tercantik di universitas.
"Iya," jawab ica cuek. Ica kembali melangkahkan kakinya. Namun ternyata beberapa orang yang entah dari fakultas mana terus mengikuti langkahnya.
"Makin cantik ya dia dengan pakaian seperti itu," ucap pelan salah satu lelaki yang suaranya masih terdengar oleh telinga Ica.
"Iya, jadi kelihatan seksinya. Jadi menantang," disambut dengan ucapan lelaki yang lainnya.
Ica semakin risih dengan omongan para lelaki yang terus mengikutinya. Ia hendak mempercepat langkahnya, tapi ternyata beberapa lelaki itu lebih dulu menghadang dan menariknya menuju lorong gelap yang berada tak jauh dari situ.
"Lepas!" teriak Ica mencoba melepaskan diri dari dua orang lelaki yang memegang kedua tangannya.
"sut, jangan teriak dong, cantik," ucap lelaki yang kini berhadapan dengannya.
"Kita cuman pengen nanya, kamu pasang tarif berapa?" imbuh lelaki itu dengan tatapan wajah seperti hewan yang hendak menerkam mangsanya.
"Tutup mulut kamu! Aku bukan perempuan seperti itu," teriak Ica menegaskan.
"Halah, gak usah pura - pura, kita pasti mampu bayar, kok," ucap lelaki yang sedang memegang tangannya.
Sekuat tenaga Ica berusaha melepaskan dirinya dari cengkraman para lelaki itu. "Tolong, tolong!"
Ada beberapa mahasiswa yang melihatnya, tapi mereka semua seolah tak perduli, takut dengan tatapan para lelaki yang sedang mengepung Khalisa.
"Tolong!" Khalisa terus berteriak, berharap ada yang menolongnya.
"Sut, gak usah berteriak. Kita gak bakalan ngapa - ngapain kamu disini kok. Kita hanya pengen tau harga saja," ucap mereka bergantian, diiringi tawaan menggelegar.
"Aku mohon, lepasin aku. Biarkan aku pergi!"
"Tolong!" Khalisa semakin berteriak ketika salah satu tangan dari lelaki itu dengan lancangnya mengelus pipi Khalisa.
"Jangan kurang ajar, lepas!" Khalisa terus berontak.
"Lepaskan dia!"
Semua mata tertuju pada suara bariton yang sedang berjalan kearah mereka.
"Saya bilang, lepaskan!" perintahnya sekali lagi karena para lelaki itu belum menggubrisnya.
Khalisa sudah berderai air mata. Tubuhnya gemetar saking ketakutan.
"Lo alumni sini 'kan? Ngapain elo balik lagi kesini, hah!" tanya lelaki yang tadi lancang mengelus pipi Khalisa.
"Saya asisten dosen sekarang. Kalian sebentar lagi akan di DO dari kampus ini, karena sudah bertindak kurang ajar.
Salah satu dari empat orang lelaki itu tertawa tidak percaya dengan yang barusan Kenan ucapkan. "Hahaha. Dosen dalam impian!" Ucap lelaki itu. Diikuti gelak tawa dari tiga orang lainnya.
Tanpa basa basi lelaki yang ternyata bernama Dodi itu langsung melayangkan satu buah tinjuan ke wajah Kenan. Membuat Kenan yang belum siap tiba - tiba limbung.
Doni kembali melayangkan kakinya hendak menendang tubuh Kenan yang hampir terjatuh. Namun kali ini Kenan berhasil menahan serangan Doni. Kenan memegang kaki lelaki itu dan mendorongnya, membuat Doni terjungkal.
Tiga orang yang dari tadi menyaksikan sekarang satu persatu maju melawan Kenan. Sekali pukulan Kenan berhasil melumpuhkan teman Doni. Tinggal dua orang lagi yang terlihat begitu marah karena kedua teman yang lain sudah terkapar, kini berbarengan hendak menyerang Kenan.
"Berhenti!" Teriak dua orang security dan beberapa orang dosen yang datang tiba - tiba.
Ke-empat lelaki itu langsung digiring menuju pos keamanan.
Setelah diketahui, ternyata mereka memang sering berulah. Namun karena sudah terkenal dengan kekejaman mereka, para mahasiswa tidak ada yang berani berurusan dengan Doni dan teman - temannya.
"Pak Kenan, nanti datang ke ruangan saya 'ya. Sekarang saya mau membereskan mereka dulu," ucap salah satu dosen yang kini ikut menggiring Doni and the geng.
"Iya, pak."
Kenan melangkah menuju ke arah Ica yang kini sedang menangis gemetar. Terlihat perempuan itu begitu shock dengan insiden yang baru saja dialaminya.
"Kamu gak apa - apa 'kan?" tanya Kenan khawatir.
Khalisa menggelengkan kepalanya. Air mata masih terus keluar membanjiri pipinya. Kenan dapat melihat raut ketakutan dari wajah Ica.
"Ikut saya!"
Kenan menarik lengan Khalisa menuju suatu ruangan.
Entah ruangan apa. Selama jadi mahasiswi, Ica baru pertama kali menginjakan kakinya disini.
Ica menatap wajah Kenan. Matanya langsung tertuju pada sudut bibir lelaki yang merupakan suami maminya. "Bibir kamu berdarah," refleks tangan Ica hendak menyentuhnya. Namun tangan kenan lebih dulu menahan dan memegang tangannya.
Kenan tersenyum sebagai jawaban kalau dirinya tidak apa - apa. Namun tak lama senyum itu pudar, berubah menjadi tatapan tegas, "aku minta mulai besok dan seterusnya kamu jangan berpenampilan seperti ini lagi!"
Note ### Buat yang Herman kenapa Kenan tiba - tiba jadi asisten dosen. Kalian baca kelanjutan ceritanya, ya.. Nanti ada jawabannya disitu.
Jan lupakan Like, saran di koment. Terimakasih.. 🙏🙏🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments