sakit

Mentari pancarkan sinarnya hangatkan bumi. Semua makhluk kembali beraktifitas sesuai porsinya masing-masing.

Sudah menjadi rutinitas tiap pagi, bibi mengawali tugasnya dengan membuka semua jendela lantai atas.

Namun pagi kali itu ada nampak ada yang berbeda dari apa yang dilihatnya.

Terlihat sang majikan sedang terduduk dengan posisi menunduk menciumi bagian pinggir kursi yang terbuat dari kayu.

"Jangan lakukan itu!" teriaknya dari dalam.

Entah suaranya tidak terdengar karena jaraknya dengan sang majikan terlalu jauh, atau Kenan yang terlalu menyukai kegiatan yang dilakukannya.

Bibi semakin bergidik ngeri saat sang majikan terlihat semakin rakus menggigit pegangan kursi itu. "Apa yang sedang pak Kenan lakukan?" tanyanya kemudian saat kini jaraknya sudah dekat dengan majikannya itu.

Kenan yang kaget langsung terjatuh dari kursi. Dirinya baru tersadar, ternyata kejadian indah yang dialaminya barusan hanyalah sebuah mimpi.

Sadar sedang ada yang memerhatikan nya, lelaki itu langsung terbangun dan segera berlalu meninggalkan wanita paruh baya yang masih bengong melihat kelakuannya.

####

Cahaya mentari menerobos masuk melalui celah ventilasi. Seorang gadis menarik selimutnya, menutupi bagian matanya yang terasa silau.

Bunyi alarm yang sedari tadi belum dimatikannya membuatnya terpaksa untuk bangun dan mematikan benda tersebut. Ponselnya berada didalam tas yang terletak diatas sofa.

Dengan tubuh yang terasa berat, perlahan dirinya bangun dari tidurnya. Kepalanya pusing, sekujur tubuhnya terasa sakit.

Hari ini dirinya ada jadwal kelas. Namun sepertinya dirinya tidak akan kuat untuk beraktivitas.

Drt...

Drt...

Ica menggulir layar ponselnya setelah membaca nama orang yang kini melakukan panggilan terhadapnya.

Ica ~ "Hallo, na," ucapnya pelan.

Hana ~ Lo baru bangun?

Ica ~ Hmm

Hana ~ Buruan siap - siap! Nanti gue jemput.

Ica ~ gue izin, sakit

Hana hendak berucap kembali, tetapi Ica sudah lebih dulu mematikan benda pipih nya.

Ica meletakkan ponselnya. Kepalanya seolah seperti sedang berputar. Dirinya kembali membaringkan tubuhnya.

Tok..

Tok..

Tok..

"masuk!" jawabnya pelan pada orang yang mengetuk pintu kamarnya.

Pintu terbuka. "Non Ica ditungguin ibu dimeja makan," ucap bibi.

"Bi.. Ica sakit," ucapnya membuat wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya yang hendak keluar.

Setelah Monika, orang yang sering dijadikan Ica tempat untuk manja dan mengeluh itu bibi. Pengabdian wanita paruh baya yang sudah mengabdi dari sebelum Ica lahir itu sudah membuat Ica nyaman.

Bibi berjalan mendekat kearahnya. Punggung tangannya dia tempelkan di kening Ica. "Badan non Ica sangat panas," ujar bibi, kaget.

Entah kapan terakhir dirinya merasakan sakit, karena Ica termasuk tipe orang yang jarang sakit. Mungkin akibat kekerasan yang dilakukan Dodi, dan ditambah beberapa malam ini dirinya memang kurang istirahat. Tadi malam saja dirinya baru tidur sekitar jam lima pagi, dan sekarang pukul delapan sudah bangun.

"Bibi kasih tau bu Monika dulu, ya," ucap bibi yang langsung melangkah cepat.

"Jangan, Bi!" ucapnya. Namun sepertinya bibi tidak mendengarnya. Suara Ica yang pelan, dan posisi wanita itu sudah berada diluar kamar.

Ica menghembuskan nafasnya kasar. Dirinya yang kini benci terhadap ibunya, tentu membuatnya sangat malas kalau wanita yang merupakan ibu sambungnya itu datang menemuinya, apalagi mengurusnya.

Suara pintu terbuka membuat Ica yang sedang memejamkan matanya itu menebak, siapa orang yang telah membuka dan masuk kedalam kamarnya.

"Sayang, tadi kata bibi kamu sakit, ya?"

Benar saja, orang itu adalah ibu sambungnya.

"Enggak sih mam, cuma pusing sedikit," jawabnya, berharap ibu sambungnya itu segera pergi dari ruangannya.

Monika ingin memastikan sendiri, dipegangnya tangan dan kening Ica. "Benar kata bibi, badan kamu panas gini. Kita ke dokter, ya."

Wanita itu tak kalah paniknya dari ekspresi bibi tadi. "Wajah kamu juga sangat pucat. Ayo!" imbuhnya kembali semakin panik.

Ica menggeleng lemah, "aku gak mau mam. Nanti mau minta obat aja sama bibi," ucapnya dengan tatapan memohon.

"Tapi..." Ucapan monika terhenti karena Ica lebih dulu memotong kalimatnya.

"Aku gak mau mam."

"Ya sudah, biar mami saja yang mengambilkan obat untuk kamu." Monika langsung berlalu.

Kepala Ica semakin terasa pusing, bahkan kini badannya mulai gemetar karena hawa dingin yang tiba - tiba dirasakannya.

Cukup lama orang - orang rumahnya tidak ada yang kembali masuk kedalam kamarnya.

Hingga akhirnya pintu kamar yang dibiarkan terbuka oleh Monika tadi kini menampakan sosok wanita yang sedang berjalan membawa nampan besar berisi bubur, dan segelas air. "Non ini makan dulu. Biar nanti bisa minum obat," ucap bibi.

Ica berusaha bangun dibantu oleh bibi. Meskipun mulutnya terasa pahit, tetapi ia harus memaksakan dirinya supaya kembali sembuh. "Masih banyak rencana yang harus dia lakukan, supaya mencapai tujuannya.

Ica melirik kearah pintu yang masih terbuka itu. Matanya seolah sedang mencari seseorang. "Kemana mami? Tadi katanya mau mengambilkan obat, tapi mana? Apa mungkin dia malas mengurus aku? Tapi itu lebih bagus 'sih, toh aku juga males dekat - dekatan sama dia," gerutu Ica dalam hatinya.

"Bibi keluar dulu ya," ucap bibi yang sudah berdiri dari posisi duduknya. "Oh iya, Non. Tadi sebenarnya ibu yang mau nganterin bubur itu ke sini, tapi tiba - tiba ada orang yang nelpon, mungkin dari sekretarisnya. Ibu terlihat marah, dia langsung buru - buru pergi. Katanya sih mau ke kantor." ujar Bibi panjang lebar menceritakan.

Seolah tidak perduli, Ica hanya sesekali mengangguk dan tetap kembali fokus pada makanan yang susah payah dia telan karena mulutnya terasa pahit dan mual.

"Oh iya ada lagi," ucap bibi seolah sedang mengingat hal lain.

Bibi yang sudah berusia lanjut, membuat ingatannya terkadang terganggu.

"Apa bibi?"

"Tadi ibu sempat mengatakan, kalau non perlu sesuatu minta sama bibi atau sama pak Kenan saja," ucap bibi. Wanita itu kembali mengingat sesuatu.

"Ada lagi yang dikatakan mami?" tanya Ica mulai gemas dengan gerik bibi yang persis seperti anak kecil yang sedang di tes hafalan.

Bibi tersenyum, menggaruk kepalanya. "Sudah non," jawabnya yakin.

Ica selesai memasukan suapan bubur ke mulutnya. Hanya beberapa suap saja, karena mulutnya begitu terasa mual. Gorden kaca jendela yang terbuka berhasil menampilkan dua kupu-kupu di luar dekat kaca yang terlihat seperti sedang kejar - kejaran. Sesekali kupu-kupu itu berhenti dan saling bersentuhan.

"Kalau lagi makan, jangan sambil melamun!" ucap lelaki yang datang tiba - tiba berhasil membuat Ica tersentak kaget.

"Entar bisa kesambet setan," imbuhnya kemudian terus melangkahkan kaki ke arah Ica.

Ica memutar bola matanya malas, "iya, setannya itu kamu," ucapnya dalam hati.

Kenan melirik mangkuk bubur yang ada dihadapan Ica. Masih banyak, bahkan hampir tidak ada bekas bubur yang sudah di sendok.

"Makan yang banyak!" perintahnya kini duduk tepat dihadapan Ica.

Ica mendorong mangkuk bubur yang diberikan Kenan. "Aku sudah makan."

Kenan menyendok bubur itu, hendak menyuapi Ica. "makan lagi yang banyak, biar cepet sembuh."

"gak mau."

Kenan menatap intens wajah Ica. "Pilih makan lagi, atau pilih saya yang memakan kamu?"

####Like, koment🙏🙏

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!