Kenan terkekeh. Sepanjang menyuapi Ica, dirinya terus menatap gemas ekspresi wajah Ica. "Ikan buntal," gumamnya pelan.
Ica melotot tajam. Dirinya yang kini baru saja meminum air dapat mendengar ucapan Kenan. Meskipun dia tidak mengerti apa maksud dari ucapan lelaki itu, tapi dirinya sangat yakin kalau kalimat yang diucapkan itu untuk dirinya.
Air di mulut yang belum sempat Ica telan membuat kedua pipinya terlihat kembung. Mata yang masih melotot pada Kenan membuat lelaki itu semakin terkekeh melihat tingkah Ica.
Ica mendengus kesal. Dirinya langsung berdiri dari kursinya. "Tau ah, aku mau pergi," ucapnya langsung melangkahkan kakinya.
Kenan menghentikan tawanya. " Hey, mau kemana? Ini ada yang mau saya bicarakan soal tugas kamu."
Ica berhenti sejenak, wajahnya masih menyiratkan kekesalannya terhadap Kenan. "Bodo amat!"
Gadis itu kembali menyimpan ponselnya kedalam tas. Dirinya yang sudah mengetahui dimana keberadaan sahabatnya, segera menuju tempat yang barusan Hana sebutkan.
"Ica, kok nomor yang tadi di kertas gak aktif, ya?" tanya salah satu mahasiswi yang sekarang berpapasan dengan Ica.
Ica menatap tiga orang mahasiswi yang baru saja menghentikan langkahnya. "Duh, gue gak tau. Tadi kan pak kenan sendiri yang menuliskan nomornya," ucapnya.
"Gue buru-buru nih, duluan ya," imbuhnya kemudian langsung berlalu meninggalkan ketiga orang itu.
Ica sudah sampai ditempat yang dikatakan Hana tadi. Dirinya langsung melambaikan tangannya pada sahabatnya yang dari tadi setia menunggu nya.
"Lama banget sih lo," ucap Hana yang menjadi sambutan pada Ica.
Ica menarik kursinya, wajahnya masih nampak kesal. "Sorry deh, tadi gue abis maka."
Hana memberikan tatapan tajam pada Ica. "Enak banget lo. Gue dengan setia belum makan karena nungguin lo. Eh, lo malah enak-enakan udah makan duluan." Hana mendelik sebal.
Ica tersenyum, tangannya meraih tangan sahabatnya, merayunya, berharap sahabatnya itu segera mengakhiri adegan marahnya. "Dengerin gue dulu!" ucap Ica langsung menceritakan kejadian tadi di ruangan Kenan.
Hana mengangguk. "Yo wis, gak papa deh, lagi pula gue tadi udah sarapan dirumah, jadi emang gak laper-laper banget," ucapnya menunjukan deretan giginya.
"Huh dasar..."
Hana tertawa, "Tapi so sweet banget sih pak Kenan. Lo beruntung banget dapat papa tiri kayak dia. Udah mah ganteng, perhatian..." ucapnya terhenti karena melihat tatapan tajam dari Ica.
"Tapi sih menurut gue pak kenan masih ada rasa sama lo," imbuhnya kemudian tanpa memedulikan Ica yang masih menghunuskan tatapannya.
Ica menarik minuman milik Hana. "Gue juga masih sayang sih sama dia," ucapnya dengan santai sambil memainkan sedotan yang ada di gelas itu.
"Sebagai papa tapi," imbuhnya kemudian saat melihat ekspresi sahabatnya yang terlihat melotot kaget.
"Hallo girls..." ucap Nando yang baru datang. Dirinya langsung mengecup puncak kepala Hana.
Hana menyambut kedatangan pacarnya dengan riang, sedangkan Ica mendelik kesal melihat kemesraan dari dua sejoli itu.
"Rambut kamu wangi sekali. Pakai shampoo apa?" tanya Nando yang kini duduk disebelah Hana.
Hana mencium rambutnya yang terurai. "Aku pakai Head and shoulderan," jawabnya.
Nando mengangguk, "wanginya tahan lama ya?"
Hana mengangguk, sebagai jawaban.
"Tapi ada loh yang lebih tahan lama dari wangi shampo kamu," ucap Nando dengan wajahnya yang terlihat serius.
"Rasa sayang aku ke kamu,"
"Eaaaaa," ucap Nando dan Hana barengan.
Ica menatap mual pada kedua orang yang ada dihadapannya sekarang.
"Dah ah ayo pergi, bentar lagi kelasnya pak Iskandar," ucap Ica yang kini berdiri, menarik lengan Hana.
Setelah Ica selesai dengan semua kegiatannya di kampus, kini gadis itu berada di dalam sebuah kendaraan roda empat. Tanpa ingin pergi ke mana-mana dirinya lebih memilih langsung pulang ke rumahnya.
Taksi online yang membawanya kini sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Sepanjang perjalanan dirinya memikirkan nasibnya yang terus satu rumah dengan orang-orang yang sudah tidak memiliki hubungan darah dengannya. "Sebetulnya apa sih isi wasiat papi. Kenapa di usia aku yang sudah dua puluh tahun belum juga mengetahui apapun," ucap Ica dalam hati. "Sayang aku gak kenal pengacara papi," gumamnya kemudian.
Taksi yang dia tumpangi sudah sampai di depan pintu gerbang rumahnya. Ica langsung turun setelah sempat mengucapkan terimakasih pada pengemudi taksi online itu.
"Sore, Non," sapa pria yang bertugas sebagai penjaga rumahnya.
"Sore."
Ica melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya. Matanya terus tertuju pada garasi mobilnya.
"Ternyata belum pulang," gumamnya.
Sebetulnya tadi Kenan sempat mengiriminya pesan, supaya Ica menunggu lelaki itu. Kenan mengajak Ica untuk pulang bareng. Namun Ica yang sudah buru-buru ingin pulang, memutuskan untuk pulang lebih dulu menaiki taksi.
Ica melihat bibi yang sedang jalan menuju arah dapur. "Bi, mami belum pulang?" tanyanya kemudian untuk memastikan, karena Mobil Monika juga tidak nampak di garasi.
"Belum, Non."
Ica mengangguk. Matanya langsung tertuju pada satu ruangan yang hampir tidak pernah dia masuki. Ica berpikir, mungkin dari ruangan itu dirinya bisa menemukan satu petunjuk, atau bahkan mungkin ada salinan wasiat papinya. Rasa penasaran menyuruhnya untuk segera masuk ke ruangan yang memiliki pintu warna coklat.
"Dikunci," batinnya, setelah menarik handle pintu itu. Ica memutar otaknya saat melihat tombol angka yang ada di bawah handle pintu itu. "Berapa ya password nya?"
Beberapa kali Ica mencoba, tetapi tetap gagal juga. Mata Ica melirik kesana kemari, mencari seseorang yang mungkin bisa membantu nya.
Keadaan rumahnya lagi sepi. Beberapa orang pembantu sedang sibuk dengan tugas mereka. Ica melangkahkan kakinya menuju tempat bibi yang biasa membersihkan rumahnya. "Bibi tau gak password kunci ruang kerja papi?" tanya Ica pada bibi.
"Password nya tanggal lahir Non Ica, tapi dibalik, tahun dulu," ucap bibi.
Ica langsung kembali ke arah ruangan itu, dirinya menekan beberapa angka pada tombol kunci. Tombol warna merah berubah jadi hijau, pertanda kalau kuncinya terbuka.
Ica tersenyum, dirinya langsung menarik handle pintu nya.
"Kamu mau ngapain, sayang?"
Mendengar itu, Ica menghentikan gerakannya. Dirinya memutar tubuhnya, melirik ke arah sumber suara.
"Mami udah pulang?" tanya Ica.
"Ini Ica tiba-tiba penasaran sama ruangan kerja papi," jawabnya.
Monika tersenyum, "padahal kamu gak pernah masuk kesitu loh. Kok tiba-tiba? Ada yang sedang ingin kamu cari?" tanya wanita itu.
"Aku ingin tau isi wasiat papi, dan ingin segera pergi dari kehidupan kamu," jawabnya dalam hati.
Ica tersenyum, "enggak Mi, aku lagi dilanda kangen aja sama papi. Boleh kan?" tanyanya.
Monika menghampiri Ica. "Ya tentu boleh dong sayang. Mau mami temenin?" tanya wanita itu.
Ica menggelengkan kepalanya, "gak usah Mam, Ica bisa sendiri kok."
Monika mengangguk. "Oke, kalau gitu mami ke atas dulu ya, mau bersih-bersih, ini sudah gerah banget."
Ica langsung masuk kedalam ruangan itu. Dirinya langsung mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan yang memiliki ukuran cukup besar itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments