Because the foundation of everything Is a good family
***
Butuh waktu lama untuk memaafkan. Terlebih jika itu masih setia membekas dalam ingatan. Bukan ingin melupakan, setidaknya... kesakitan itu bisa berkurang perlahan. Bukan malah, menciptakan luka yang mendalam.
Saat bulir air mata tak sanggup lagi ditahan. Ku pilih jalan untuk menyendiri. Mengisi kekosongan hati dengan cara sendiri. Dimana hanya aku yang mengerti.
Ruang gelap mengisi temaram. Seolah purnama tak ingin berderang. Atau hanya aku yang merasa? Karena kini berada di pabrik kosong sudut kota.
Notif panggilan dari 'mereka' terus mengalun. mengisi kesunyian malam ini. Bahkan puluhan chat berisi kalimat
'Topan, pulang sayang. Ayah ibu khawatir dengan keadaan kamu.' ~Ibu
'Dek, dimana? Pulang ya... Kasihan ibu nyariin.' ~Kak Jola
'Lo dimana? Jangan jadi banci, cepat kasih tau lokasi lo sekarang!' ~Amar.
'semua orang cemas nyariin lo. Cepat jawab chat gue, atau gue anggap lo mati saat ini!' ~Farga.
'jangan ngilang-ngilang kayak anak gadis lagi galau. Sadar diri hutang lo masih ada SERATUS RIBU di gue!' ~Rian.
Ya-ya. Mereka semua sibuk mencariku. Entah karena perhatian atau hanya sekedar kepura-puraan.
Namun, tak urung aku membaca pesan dari Amar. Hft! Dasar kakak kelas sok care. Ku ketik balasan singkat untuk dia. "Tempat biasa."
Dan baru saja pesan itu terkirim. Amar langsung mengetik sesuatu di ujung sana. "Gue kesana. Dan jangan harap lo bakal selamat kali ini." Nada pesan yang terdengar mengancam. Sialnya, aku malah tersenyum.
Dia satu-satunya orang yang paling care. Walau kelakuannya gak kalah ajaib dari Mr.Bean. peduli amat dengan yang namanya peraturan. Menurutnya, peraturan di buat untuk di langgar.
Jadi jangan salahkan Amar jika dia sering melanggar peraturan sekolah, RT, Lurah bahkan satu provinsi. Karena memang sudah tabiatnya untuk melanggar itu semua.
Tidak berselang lama. Terdengar deru motor dari arah depan. Satu motor masuk ke dalam pelantaran pabrik, disusul motor ke dua dan tak lama motor ke tiga.
"Gila! Bawak rombongan tu anak." Aku berdecak. Alamak diseret pulang kalau begini ceritanya.
Saat sudah sampai di pintu masuk pabrik. Ketiga pengendara gila itu melepas helm mereka masing-masing. Dan terlihat lah wajah keras Amar, cueknya Farga dan idiotnya Rian.
Mereka persis seperti sedang mencari buronan kelas kakap, yang tertangkap mengedarkan narkoba di Indonesia.
"Tuh bancinya! Sini lo turun." Seru Amar dari arah bawah. Melihatku sambil menunjuk\-nunjukkan jari.
Malas mencari perkara, ku putuskan untuk turun dan 'menyapa' mereka. "Oo hayyo bro. Apa kabar?" Seruku tak kalah kuat sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Namun yang di lambai malah balas melotot. Itu lah yang di namakan, di kasih hati minta jantung.
Amar mendelik tajam, tat kala aku telah sampai di hadapannya. Begitu pun aura sinis yang keluar dari tubuh Farga, membuat suasana malam ini semakin mencekam.
Rian? Jangan di tanya. Dia mencoba untuk melotot, tapi hasilnya malah seperti orang yang matanya belong. Ck!
‘Bukk’
Tanpa aba-aba, Amar langsung melayangkan tinjunya ke arah ku. Shit! Perih juga!
"Apa yang gue bilang ke lo soal kemarin sore ha?!" Bentak Amar.
Aku diam.
‘Bukk’
Tidak lama, tinju Farga menyusul. Mengenai bagian pipi kanan. Shit! Aku bisa merasakan kulit dalam ku terkelupas akibat tinju sialan ini!
"Jawab ****! Lo tu cowok! Jangan main kabur, selesain masalah lo! Jangan jadi banci." Desis Farga.
Darah mengalir dari sudut bibir ku. Sebisa mungkinku tahan emosi yang bisa saja akan meledak sekarang.
Rian menyahut. "Kenapa diam? Gak punya jawaban?"
"Atau lo malu ngakuin fakta itu?"
Ini sudah keterlaluan. Mereka boleh main pukul. Aku tidak masalah dengan permainan fisik mereka. Tapi tidak dengan fakta itu!
"*******!"
"Lo diam Yan! Lo gak tahu apa-apa soal gue!"
Emosi yang selama ini ku tahan, merembes keluar. Tidak perduli lagi siapa mereka, yang aku ingin hanya tidak disalahkan.
Rian berdecih. "Gak tahu apa-apa lo bilang? Cih! Bahkan gue lebih paham lo dari pada yang lain."
Kulihat Amar yang menganggukan kepala samar. Apa maksudnya?
"Lo kira selama ini yang tau lika-liku hidup lo itu siapa ha! Itu gue, gue yang ngasih tahu Amar soal semua masalah lo. Kenapa gue nge-lakuin itu? Karena Amar lebih dekat ke lo, jadi gue cuman bisa mantau lo dari jauh."
Aku terdiam. Bukan, ini bukan Rian yang aku kenal. Rian yang aku kenal cenderung idiot dan masa bodoh dengan urusan orang lain.
"Dari dulu gue pengen banget nge-hajar kepala lo yang kosong ini." Desis Rian tepat di depan wajahku.
Sementara Farga dan Amar. Mereka sama-sama terdiam, membiarkan urusan ini hanya aku dan Rian yang bermain.
Rian mengangkat kepala ku dengan satu jarinya, kemudian berkata "Lo payah!"
"Pengecut!"
"Pecundang!"
"Dan sejenis *******!"
Kata-kata halus itu keluar melalui bibir Rian. Merembes masuk ke dalam rongga hatiku yang mungkin sudah menghitam. Semua cacian hina dia tujukan untukku. Aku cuman bisa diam, melihat kelanjutan kisah malam ini.
"Gue akan kasih tahu lo alasan yang sebenarnya."
Kepalaku terangkat. Lalu, menatap matanya seraya mencari kebohongan di ujung sana.
Namun yang ku dapat hanya keseriusan. Rian melanjutkan kalimatnya. "Asal lo patuh dengan perintah gue kali ini."
***
"Cepat bersihin bibir lo. Gue gak mau disangka nge-bully anak orang disini." Bisik Rian saat kami telah sampai di salah satu warung kopi pinggir jalan.
Aku mengangguk. Kemudian membeli satu botol air mineral , yang nantinya akan ku gunakan untuk membersihkan darah yang sudah mengering.
"Dua ribu mas." Ucap gadis pemilik warung tersebut.
Kuserahkan uang dua ribuan kepadanya, kemudian membuka botol tersebut dan menyiraminya di bagian yang terluka
"Ada tisue mbak?" Tanya Amar pada gadis penjual tadi.
Gadis itu mengangguk kemudian mengambil satu bungkus tisu ukuran kecil, dan kemudian memberikannya pada Amar.
Amar tersenyum ramah dan kemudian membayar barang belanjaannya. Setelah itu menyerahkannya tisuku.
Kenapa aku bilang barang belanjaan? Karena laki-laki itu membeli banyak bungkusan kacang kulit, satu bungkus roti ukuran besar dan empat botol air dingin lainnya.
Aku berdiri, menghampiri mereka yang sedang duduk di bangku pinggir warung. "Udah."
Amar mengangguk kemudian mmenariku untuk ikut duduk di sampingnya.
"Cepat ceritain alasan kenapa orang tua gue nyuruh gue pindah."
Mereka bertiga saling melempar pandang. Tak lama, awal pembicaraan diambil alih oleh Rian. Dan mengalir lah ceritanya.
"Saat itu, gue lagi duduk di teras depan rumah. Ngeliat anak-anak seusia gue main di lapangan depan. Main bola. Sayangnya waktu itu gue gak diajak. Alasannya karena gue anak nakal, jadi orang tua mereka pada gak mau anaknya main sama gue.
Yah begitu setiap harinya gue lewati. Duduk sendirian di depan teras, sambil ngelamunin apa aja yang lewat.
Tepat tiga hari sebelum gue dan keluarga pindah. Gue ngeliat ada anak kecil lagi main bola sama ayahnya. Dia seneng banget, sampe gak sadar kalo ayahnya udah kecapean gara-gara ngeladeni dia main. Saat itu gue mau ngajak dia main bola bareng.
Tapi sayang, tiga hari lagi gue kan bakal pindah. Nah, gue gak mau ninggalin dia, yang otomatis akan jadi teman gue saat itu. Gue takut gak bisa ninggalin dan akhirnya gue lebih memilih nanya ke nyokap tentang dia.
Nyokap bilang, kalau anak itu anak pungut. Bukan anak kandung keluarganya pak Mario. Mereka dititipin oleh ibunya si anak itu karena alasan suaminya jahat dan nggak punya uang untuk membiayai kehidupan mereka.
Awalnya gue kasihan dengan tu anak. Tapi gue terus ngedengarin cerita nyokap sampai selesai.
"Ayahnya itu preman jahat yang sering malakin orang-orang di pasar."
Rian menghentikan ceritanya sejenak, lantas beralih menatap intens kearahku. "Dan lo tau siapa anak itu?"
Aku terdiam. Cerita panjang Rian tadi sungguh tidak menimbulkan titik terang dari permasalahan yang aku hadapi.
Lantas aku menggelengkan kepala tanda tidak paham.
Rian melihat reaksiku, kemudian menghela nafas kasar.
"Anak itu, lo Topan."
Aku terdiam. Menatap kosong laki-laki yang barusan mengatakan itu padaku. Ayah kandungku seorang preman? Terus di mana dia sekarang? Lalu ibuku? Dimana dia?
Sesi ke dua di ambil alih oleh Amar.
"Alasan kenapa lo di suruh pindah. Adalah... karena bokap kandung lo mau ngambil lo dari keluarganya pak Mario. Dia mau minta lo kembali setelah dulunya mencampakkan lo dan ibu kandung lo sendiri!
Pak Mario dan Bu Luna nggak mau. Karena mereka sudah terlanjur sayang sama lo. Dia gak mau masa depan lo jelek karena ngikutin jejak bapak lo yang sampai sekarang masih setia jadi preman pasar.
Tapi, bokap kandung lo gak terima. Dia bakal ngerebut lo secara paksa, lantaran sekarang dia udah tahu dimana lo sekolah.
Karena itu, orang tua lo ngusulin lo pindah, supaya bokap kandung lo gak bisa lagi ngambil lo dari mereka!"
Tes!
Satu bulir air mata jatuh membasahi pipiku. Jadi selama ini ayah, ibu sebenarnya sayang padaku? Mereka ngelakuin itu karena gak mau aku di ambil ayah kandung aku sendiri. Ya Tuhan! Aku merasa bodoh karena telah kurang ajar dengan mereka.
Padahal mereka selalu siap sedia di kala aku terluka.
Aku menatap mereka bertiga. Mereka tengah menatap ku iba, tanpa pikir panjang aku langsung mengutarakan keinginan ku saat ini.
"Antarin gue pulang guys. Gue mau sujud di kaki ayah, ibu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
kh!@#g fu sh3=g
hai thor aku datang membawa 20like ke larya kamu, salam kenal dari author jangan panggil aku monster
2020-12-16
1
Nureti
Hai kak 👋
Sukses iya untuk karyanya.
Jangan lupa mampir di karya pertamaku, yang menceritakan seorang cowok letoy yang selalu di tolak sama cewek dalam judul THE FAILED PLAYBOY.
Terimakasih 🙏
2020-12-15
2
Senja
Semangat kaka.
Dapet salam dari "Senja" dan "ZB".
Jangan lupa pada mampir ya.
jangan lupa juga untuk tinggal kan jejak.
2020-12-13
2