Kilas 10

Bunda adalah bidadari yang tak bersayap. Senyumnya yang tulus mampu menyembunyikan rasa sakit yang dia rasakan. Kehangatan pelukannya tak ada yang bisa membandingi, ibarat sebuah kelopak sayap burung yang melindungi butir telur dari kedinginan.

Duniaku mendadak berhenti saat kutahu bidadari yang selama ini aku cintai pergi. Dunia ini pun terasa kosong saat tak lagi mendengar teriakan bunda. Omelan sehari-hari yang dia hanturkan kini terasa merindu. Rayuannya disaat aku sedang ngambek, kini amat berasa hingga kadang ingin sekali aku memarahi orang-orang yang merajuk pada ibunya dan sudah dirayu pun masih membantah.

Namun itu lah manusia, Kita akan tahu seseorang itu berharga saat dia telah pergi.

Ucapan dari ruang bernuansa putih itu masih hangat dalam memoriku. Hilir mudik perawat dan dokter di ruang rawat Bunda lengkap dengan wajah mereka yang terlihat tegang, hal itu semakin menambah kadar kegelisahanku.

Ruangan itu dingin. Ada banyak AC yang terpasang dalam gedung itu, namun tak cukup masuk ke dalam pori-pori. Tubuhku terasa panas, jantungku berpacu lebih kencang, pikiranku melalang buana. Aku tidak sanggup! Hanya informasi dari dokter lah yang kubutuhkan saat ini.

Bertepatan dengan itu seorang dokter keluar bersamaan dengan seorang perawat. Dia mengatakan "Ibu kamu mengalami kecelakaan sekitar 30 menit yang lalu. Beruntungnya ada penjaga toko yang letak tokonya tidak jauh dari tempat kecelakaan. Dia lah yang melihat kecelakaan itu terjadi." Kata dokter padaku.

"Lalu bagaimana keadaan bunda saya sekarang dok? Bunda baik-baik aja kan? Apa saya dan adik saya boleh melihat Bunda sekarang?" Pertanyaan Bang Aga yang beruntun membuat wajah dokter tadi berubah lesu. Raut wajahnya yang berubah turun sudah memberikan sedikit kekhawatiran dalam diriku. Ya Tuhan! Apa yang terjadi?

Dokter itu diam sejenak, keriput di dahinya mulai basah akibat keringat. Seolah dokter itu sedang memilah kata yang akan dia ucap, takut menyinggung perasaan kami saat ini. Tak lama dari itu terdengar helaan nafas pelan, dokter itu pun menjawab.

"Maafkan saya."

Lorong rumah sakit terasa lengang sejenak. Berbagai asumsi mulai bermunculan di benak kami. Aku sudah tahu kelanjutannya, walau dokter itu hanya mengucapkan sepenggal kata.

Tidak! Dokter itu bohong! Bundaku masih hidup!

Siapa dia berani mengatakan bunda sudah meninggal! Aku tidak terima! Bundaku hanya sedang tidur di dalam sana. Bunda cepat bangun, perlihatkan kepada dokter ini bahwa bunda akan bangun! Siapa pun bantu aku mempercayai dokter ini, bilang padanya bundaku masih hidup!!

Tak kuasa menahan berita yang baru kudapat, tubuhku kembali jatuh. Terduduk di lantai rumah sakit yang dingin.

Bang Aga hanya diam, namun sebulir air mata lolos dari tempatnya. Jatuh begitu saja. Cowok itu juga merasa sedih, merasa terpukul, merasa bahwa dia tidak bisa menjaga bunda!

Namun Bang aga cukup dewasa. Kata 'andai' hanya akan memperburuk keadaan.

Dokter itu kembali melanjutkan, berbicara hati-hati supaya tidak terlalu menyinggung perasaan kami. Aku tak butuh itu, yang kubutuhkan adalah pengakuan bahwa bundaku masih akan terbangun setelah ini!

"Menurut keterangan saksi, Ibu kalian memacu mobilnya dengan kecepatan kuat, dan dari arah lawan, seorang remaja seusiamu juga melakukan hal yang sama. Anak itu ugal-ugalan ketika melewati persimpangan tempat dimana kejadian. Alhasil karena faktor cuaca, butiran air yang jatuh mengenai bagian kaca depan mobil ibu kamu, menghalangi sebagian penglihatannya. Dan naas, kecelakaan ktu tidak dapat dihindari. Ibumu membanting stir hingga mobilnya menabrak satu pohon besar. Sedangkan anak itu jatuh terpental, badannya beradu dengan aspal yang basah hingga menyudutkan dirinya ke pinggir trotoar. Ibumu mencoba menghindari anak tersebut."

Kepalan tangan Bang Aga mulai menguat. Memusatkan semua rasa sakit yang kini dirasa ke tangannya. Sedang tangisku semakin menjadi. Hingga Bang Aga merendahkan posisinya agar sejajar denganku. Bang Aga memelukku dalam, berharap sedikit kesedihan dalam diriku berpindah pada dirinya saja. Kami sama-sama terisak, menyadari kenyataan yang kini harus diterima. Sang dokter menatap iba padaku, pun ikut berjongkok.

"Anak lelaki yang berada di seberang ruang ibumu lah yang termasuk salah satu korban kecelakaan." Dokter itu mengelus pelan bahu Bang Aga, seolah sedang memberinya kekuatan. Namun yang ada, pelukan Bang Aga semakin mengerat, membuatku tenang hingga aku kembali sadar.

Dokter itu melangkah pergi, disusul seorang perawat yang tak lama ini juga menyaksikan penjelasan dokter tadi. Menyisakan kami berdua yang sedang meratapi nasib, di lorong rumah sakit yang sunyi.

Tidak lama, Bang Aga bangkit berdiri kemudian mengangkat bahuku.

"Bentar lagi ayah sampai Kai. Simpan tangismu, jangan buat ayah semakin merasa terpukul." Lirih abangku. Suaranya tercekat menahan tangis. Ujung ibu jarinya menghapus lembut sisa air mataku yang masih tergenang. Aku hanya mengangguk lemah. Sungguh, kejadian ini tidak akan pernah terlupakan.

Sembari menunggu ayah yang datang terlambat karena macet. Bang Aga memutuskan untuk melihat orang yang dimaksud dokter tadi. Bukan apa-apa, hanya saja keinginannya untuk melihat lawan dari kecelakaan ibu terlampau besar. Kami berjalan gontai hingga mencapai pembatas ruang rawat dengan lorong rumah sakit.

Dari balik kaca pintu, terlihat dua tempat tidur. Yang satunya kosong, sedang satunya lagi dihuni seorang remaja cowok seusia bang Aga yang kini terbaring lemah, dengan banyak luka di badannya. Aku menatap lamat wajah cowok itu. Berusaha menyimpan wajah itu lekat-lekat dalam memori . Anak lelaki itu menggunakan seragam sekolah SMA.

Satu kalimat terpintas dibenakku saat itu "Gue akan terus ingat wajah lo. Dan khususnya peristiwa hari ini."

Hari-hari berlalu sampai aku sudah menduduki bangku SMA. Satu sekolahan dengan Bang Aga. Bedanya, sekarang Bang Aga sudah naik kelas XI dan aku baru memasuki kelas X.

Tahun yang baru bagiku. Setidaknya untuk melepaskan kenangan pahit saat SMP. Awal kegiatan sekolah sudah mulai padat, semua siswa harus memilih satu jenis eskul yang harus diikuti. Sekolah ini cukup disiplin, mengingat ini usul dari Bu Mila selaku pembina osis. Dan benar saja, guru itu sangat tegas.

Aku melihat satu persatu penampilan dari masing-masing eskul. Paskib, eskul ini mendidik siswa untuk tampil disiplin dan memiliki sifat kekeluargaan. Rohis, eskul ini mendidik murid untuk memperdalam ilmu agama dan tentunya pilihan awalku jatuh pada rohis. Selanjutnya ada voli, olahraga yang sangat kuminati sejak dulu. Olahraga ini mengajarkan kita untuk saling terhubung dalam sebuah tim, solidaritas yang kuat.

Dan akhirnya aku memilih voli. Sabtu sore adalah jadwal latihan eskul. Aku sudah memakai pakaian olahraga. Berbaur dengan teman baru yang sama-sama berasal dari sekolah yang berbeda. Saat sedang berjalan, tidak sengaja mataku menangkap sosok seseorang yang sangat kubenci.

Dia Amar, ketua eskul voli. Dia lah yang menjadi penyebab kecelakaan Bundaku. Dialah yang ada dalam ruang perawatan itu. Sejak saat itu aku berpikir bahwa hidupku akan sama saat masa-masa SMP, hidup dengan kebencian dan berakhir dalam lubang kegelapan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!