Kilas 17

Setelah gue rasa hidup gue udah nyaman dengan semua yang gue punya saat ini, mungkin sekarang gue merasa ada yang kurang. Dulunya, gue ngerasa tabu dengan perasaan yang gue punya untuk seseorang, terlebih itu tersampaikan secara tulus.

Gue ngerasa perasaan itu gak bener ada. Maksudnya gini, kita manusia masing-masing punya penilaian terhadap orang lain. Dari cara kita melihat aja, udah ada gambaran gimana kepribadian orang tersebut, right?

But, gue ngerasa ada yang beda disaat gue menatap wajah adik kelas gue yang dulunya gue cap sebagai cewek yang songong.

*Cewek yang dulunya bikin gue penasaran setengah mati, sampe gue terus ngejar dia demi mendapatkan sebuah jawaban dari rasa penasaran gue selama ini.

And now, gue udah tahu jawabannya. Jawaban yang jujur buat gue down. Kenapa dia sebenci itu ke gue, kenapa dia selalu natap gue dengan pandangan yang sinis. Kenapa dia selalu menghindar setiap kali ketemu gue*.

Itu semua karena gue yang buat masa lalu dia jadi gelap.

Gue merasa bersalah banget, dia cewek lugu yang pertama kali gue kenal. Dan apa? Gue adalah penyebab dari kebencian dia selama ini. Kurang ******* apa lagi coba?

*Tapi, itu semua sudah berlalu. Gue dan adik kelas songong udah baikan. Dan disaat itu gue baru nemuin bagian dari diri gue yang selama ini ternyata kehilangan cahaya ketulusan.

Gue ngerasa rada bed*--'-

"Udah kali kak liatin gue-nya segitunya banget." Satu suara menginterupsi Amar bangun dari lamunannya.

Laki-laki itu tersenyum seraya menggelengkan kepalanya pelan. Lamunannya tadi kini benar-benar terwujud.

Saat ini Amar dan Kaira sedang membahas rencana trip mereka untuk naik gunung, pasalnya Amar adalah sahabat dari Aftan, ketua eskul naik gunung. Dan dia sering ikut Aftan jika eskulnya lagi ngadain trip ke suatu tempat.

"Jadi gimana? Hari ini gue mau cari perlengkapan untuk nanti kita pergi. Kak Amar jadi ikut kan?" Tanya Kaira yang masih setia duduk di sebelah Amar. Tangannya memeluk kedua kakinya yang ditekuk.

Amar merubah arah pandangnya menjadi ke depan. Menimbang-nimbang apakah dia akan ikut atau tidak. Tapi saat matanya melirik sekilas ke arah Kaira, laki-laki itu tersenyum dan menganggukan kepalanya pelan sebagai bentuk jawaban. Sebenarnya tidak usah ditanyapun, Amar akan dengan senang hati ikut. Dan kapan lagi punya waktu banyak bersama Kaira!

Bel pulang sudah berdering beberapa menit yang lalu. Disekolah ini hanya menyisakan beberapa orang yang sibuk dengan eskulnya masing-masing.

Termasuk mereka, Kaira memilih lapangan basket sebagai tempat dia dan Amar membahas rencana tersebut.

Tidak jauh dari tempat itu, seseorang tiba-tiba muncul dari balik ruang kelas yang sontak membuat Amar menautkan kedua alisnya heran.

"Ngapain lo disini?" Suara dingin itu berasal dari Amar. Dari nada suaranya saja sudah terdengar tidak bersahabat. Raut bahagianya berganti dengan cepat menjadi raut yang sulit untuk dijelaskan.

Orang asing itu terkekeh "Santai bro! Gue kesini cuman mau kangen-kangenan aja sama lo." Ucap orang asing itu dan berjalan tepat ke hadapan Amar.

Tampak jelas urat-urat yang tercetak di dahi Amar, rahangnya mulai mengeras serta dengusan nafas yang terdengar kasar menandai ia sangat kesal saat ini.

"To the point aja, mau lo apa ha!" Bentak Amar yang kini bangkit berdiri. Mensejajarkan jaraknya dengan 'orang' tersebut

Bukannya merasa takut, 'Orang' itu malah terkekeh, seperti mengejek bentakan Amar barusan.

Kaira yang melihat itu lantas ikut berdiri dan tegak tepat di samping Amar.

'Orang' itu melirik Kaira sekilas sebelum menjawab pertanyaan Amar.

"Gue mau balas dendam atas kematian Rio." Seperti tersambar petir, Amar kini mematung di tempatnya. Nama itu seperti kaset rusak yang sudah lama dibuang bahkan dibakar Amar sejak dulu.

Nama yang dulunya mempunyai arti penting dalam kehidupan Amar. Memorinya kembali memutar kenangan-kenangan indah saat dia, 'orang' itu dan nama yang disebut 'Rio' menjalani hari-harinya saat masih memakai seragam putih biru.

Sudah lama kejadian itu ia pendam dalam-dalam dan nyatanya, nama itu juga yang membuat hubungan Amar dan 'orang' itu memburuk.

Layaknya orang bisu, Amar hanya bisa menatap kosong wajah orang dihadapannya yang kini memasang raut penuh kebencian, dapat dilihat dari cara pandangnya ke Amar. Ada kilat kemarahan yang tercipta jelas.

Orang itu berdecih "Kenapa? Gak bisa ngomong kan lo!" Terdengar seperti mengintimidasi sehingga membuat Kaira menatap khawatir ke arah Amar.

Gadis itu takut jika terjadi sesuatu dengan kakak kelasnya.

Lama Amar terdiam, sampai dia kembali angkat bicara.

Namun bukannya bicara pelan, justru Amar berteriak kencang sehingga membuat Kaira tertegun untuk beberapa saat. "Rio udah lama pergi Fer, lo gak seharusnya nyalahin gue. Itu semua bukan sepenuhnya kesalahan gue!." Telunjuk Amar mengarah ke depan wajah lawan bicaranya.

Dengan cepat Amar mengganti raut wajah dan nada suaranya.

"Gue gak salah, yang salah itu lo!" Teriak Amar lagi yang kini tangannya siap untuk meninju wajah laki-laki itu.

Reflek Kaira bergerak mengahadang laju kepalan tangan Amar yang kini posisinya berada ditengah-tengah Amar dan 'orang' itu dan mendorong Amar kebelakang.

"Sadar kak. Gue gak mau lo berantem!" Ucap Kaira yang saat ini sudah benar-benar takut dengan situasi yang dia hadapi.

Orang yang di panggil 'Fer' tadi hanya berdecih, menganggap remeh lawan bicaranya. Terlihat jelas ambisi dia untuk membalaskan dendam.

Amar mengatur deru nafasnya yang memburu, menghirup udara sebanyak mungkin dan mengeluarkannya secara perlahan. Otot-otot diwajahnya pun mulai mengendur, menandakan Amar berhasil mengontrol emosinya.

"Istighfar kak." Saran Kaira lagi. Amar pun menurut dan mencoba membaca istighfar sebanyak mungkin hingga hatinya kembali tenang.

Setelah dirasa cukup tenang, Amar kembali berbicara namun dengan volume yang rendah.

"Gue minta maaf Fero. Gue tau gue salah, gue mohon lo jangan ungkit-ungkit masalah itu lagi. Kejadian itu udah lama banget, dan saat ini gue udah mulai dengan kehidupan gue yang baru. Gue mohon lo lupain masalah itu dan hidup lah seperti gak terjadi apa-apa." Jelas Amar. Tangannya menyentuh pundak Fero, berusaha mencairkan kemarahannya saat ini dan berharap Fero akan mendengarnya.

Lain dari harapan Amar, Fero malah menepis kasar tangannya dan mendorong tubuh laki-laki itu hingga membuat Amar terhuyung kebelakang.

"Lo nggak ngerti! Lo nyuruh gue lupain kejadian itu dan hidup seolah-olah gue gak pernah ngalamin! Lo gila!" Amarahnya pecah seketika. Laki-laki itu menghajar Amar dengan membabi buta, setiap pukulan yang dia berikan Amar terima dengan diam, tidak berniat untuk membalas. Amar membiarkan tubuhnya dihajar oleh Fero seperti orang yang tidak berdaya.

Sementara Kaira, air matanya mencelos keluar. Tidak sanggup melihat kejadian yang ada di hadapannya saat ini. Tangannya bergerak menutup mulut, menahan pekikan ketakutan

Badan Kaira terasa kaku untuk bergerak melerai dua laki-laki yang sedang baku hantam tersebut. Dengan sekuat tenaga, Kaira berlari ke arah Amar dan menggerakkan tubuhnya ke depan tubuh Amar hingga tinju yang akan dilayangkan ke wajah Amar beralih ke pelipis Kaira dan hal itu membuat Kaira sedikit kehilangan kesadaran.

"Kai...Kaira..." Panggil Amar khawatir. Ia takut terjadi hal-hal yang buruk terhadap Kaira.

Namun tinju itu bedampak cepat pada Kaira. Gadis itu kehilangan kesadarannya.

"Lo--!" Tunjuk Amar ke arah Fero dan berbalik meninju laki-laki itu. Amarahnya kembali muncul dan ini disebabkan karena Kaira yang terkena tinjuan tersebut. Tidak segan-segan Amar menghajarnya tanpa perduli darah yang mengalir di ujung bibir laki-laki itu.

"Lo gila! Dia itu cewek!" Teriak Amar kesal. Diliriknya wajah Kaira yang mengeluarkan darah di pelipisnya.

Amar menghentikan kegiatannya dan membawa Kaira cepat ke dalam ruang UKS.

Untungnya masih ada salah satu anggota PMR yang sedang berjaga didalam ruang UKS. "Tolong obatin dia. Pelipisnya berdarah." Kata Amar dengan nada panik.

Dengan cekatan, petugas itu mengambil air dan kain lap untuk membersihkan darah-darah yang sedang mengalir.

Sementara Amar berdiri diambang pintu memperhatikan petugas yang mengobati Kaira. Masih dengan deru nafasnya yang kian memburu, pikirannya menjadi kacau saat ini. Disatu sisi, masalah dia dengan Kaira sudah selesai dan kini masalah yang dulu ia pendam bangkit kembali.

Amar meremas rambutnya frustasi, dia benar-benar jengah dengan semua masalah yang tengah dihadapi.

Tidak berapa lama kemudian, petugas membalut luka Kaira dengan perban putih tak lupa meneteskan obat merah agar lukanya cepat kering.

"Udah selesai?" Tanya Amar dan berjalan menghampiri tempat tidur Kaira.

Petugas itu menjawab "Udah. Mudah-mudahan lukanya gak berakibat buruk." Jelas petugas pada Amar dan beralih meninggalkan tempat itu.

"Sebaiknya kakak antar dia ke rumah sekarang. Biar dia bisa istirahat dulu." Jelasnya lagi sebelum pergi dari tempat tersebut.

Amar mengangguk singkat, tangannya bergerak mengambil sendok yang terletak di atas meja samping tempat tidur Kaira.

"Kai? Bangun...ayo pulang." Sendok itu ia gunakan untuk menepuk-nepuk pipi Kaira, takut kalo dia menyentuh Kaira, gadis itu pasti akan marah padanya.

Saat kulitnya merasa ada sesuatu yang dingin menempel, perlahan Kaira membuka matanya dan menatap keadaan sekitar.

"UKS?" Gumam Kaira. Gadis itu bangkit duduk dan meraba lukanya tadi yang sudah diobati. Sesaat ia meringis ketika obat yang diberikan bereaksi pada lukanya.

"Lo gak apa-apa Kai? Kita pulang sekarang?" Amar menatap khawatir Kaira yang masih terduduk lemas di atas tempat tidur itu.

Lantas gadis itu turun dari tempatnya dan menganggukan kepalanya tanda ia setuju atas ajakan Amar.

Hari itu berakhir dengan masalah baru yang mengharuskan Amar untuk segera menyelesaikannya. Rencana untuk membeli perlengkapan naik gunung pun ditunda sampai Kaira benar-benar sembuh dari lukanya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!