Mendung kembali datang, namun tak kunjung menampakkan diri untuk menurunkan sang rintik. Sedang awan kelabu sudah bersiap membalut hari baru. Layaknya suasana hati seorang gadis saat ini yang sedang menatap diri lewat pantulan cermin kamarnya. Cantik, satu kata yang pas untuk mendeskripsikan wajahnya.
Namun jika diteliti, ada bekas telapak tangan---membekas di sepanjang pelipis kanan gadis itu. Si gadis tersenyum kecut lantas menyisir rambut hitamnya untuk menutupi bekas tamparan.
Wajahnya putih bersih, tanpa ada noda kotor sedikit pun. Ditambah lagi polesan tipis dari lipglos miliknya agar tidak terlihat pucat. Gadis itu kembali memanut diri didepan cermin namun tiba-tiba suara pintu di dobrak mengisi keheningan dari kamar tersebut.
"Kenapa lama? Kamu kira kamu ratu heh!" Wanita berumur sekitar empat puluh tahun masuk tanpa permisi. Wajahnya masih terlihat awet muda. Lazimnya dandanan khas ibu-ibu elit yang biasa ada di komplek perumahan sultan. Wanita yang di ketahui adalah ibu tiri dari gadis tadi.
Si gadis meringis saat rambut belakangnya dijambak paksa oleh si ibu tiri. Tanpa belas kasih, tanpa perduli rasa sakit, yang anak tirinya rasakan. Jambakan itu terlalu kuat, hingga sebagian rambutnya rontok keluar dari pori-pori. Menyisakan beberapa helai rambut yang tertinggal di telapak tangan si ibu tiri.
"Cepat selesaikan urusanmu dan segera temui papa yang dari tadi menunggu!" Ucap sang ibu akhir. Dilepaskannyalah jambakan itu dan kemudian menata kembali rambut anak tirinya yang kusut lantaran ulahnya.
Mudah saja, sang ibu tiri akan terlihat bengis dalam jangka waktu semenit dan akan menjelma sebagai bidadari dalam jangka waktu semenit pula.
Seperti saat ini, ibu tiri itu juga yang menyisir lembut kepala anaknya seolah hubungan mereka adalah sebagai ibu dan anak yang serasi. Seperti seseorang yang memiliki kepribadian ganda.
Jauh di lubuk hati terdalam, gadis itu meronta untuk dibebaskan dalam dekapan wanita jahat yang tak lain adalah ibu tirinya sendiri. Sekian lama ia membisu, tanpa berani mengadukan semua kejadian perih yang ia rasakan pada papanya.
Gadis itu benci! Benci pada orang tuanya yang telah berpisah! Benci pada pendatang baru rumahnya-yang selalu menjahatinya jika keinginannya tidak terwujud. Benci pada kehidupannya yang sangat tidak adil dibandingkan dengan orang-orang di luar sana.
Dia ingin disayangi. Ingin dimanja. Ingin menjadikan rumah sebagai tempat terakhir dikala ia membutuhkan perlindungan. Hanya itu yang dia inginkan, apakah sulit untuk terwujud? Namun nyatanya, Sang Kuasa belum mengabulkan keinginan dari gadis tersebut.
“aku ingin bunuh diri”
-----------------------------------------------------------
Di lain tempat, gadis cerialah yang kini mendominasi keadaan sekolah yang riuh. Canda tawa turut menemani kesehariannya yang begitu dominan dengan sahabat yang dia miliki. Tak heran, jika si anak tiri sangat tidak suka pada gadis ceria ini.
"Dan lo tau Hel, sepatu Alia itu ditangkap gara-gara dia gak sengaja nendang kerikil, eh karena sepatu baru jadi rada lobok gitu ya, sepatunya malah yang masuk ke dalam kotak bekalnya Pak Udin! Malah lauknya tempe orek lagi, kebayang mirisnya Pak Udin waktu itu!" Tiga orang gadis itu kini sedang berjalan di koridor menuju kelasnya.
Kaira. Gadis ceria itu yang menceritakan penyebab sepatu Alia di tangkap tempo hari. Berawal saat dia membujuk satpam tua itu untuk mengembalikan sepatu Alia. Saat itulah Kaira tahu penyebab kenapa sepatu sahabatnya ditangkap tempo hari. Sahabatnya, Helen tertawa menyadari kepolosan Alia yang sangat absurd. Tidak disangka, sepatu baru malah menjadi petaka baginya hari itu.
Alia menyahut malu "Jangan ketawa mulu guys. Gue itu gak sengaja nendang-nendang kerikil. Ya, niatnya sih gue mau pamer, tapi kejadiannya malah gini." Wajah Alia menekuk sebal. Tatapannya begitu memelas pada Kaira dan Helen, meminta supaya mereka berhenti mengejek. Namun nyatanya, Kaira semakin gencar menggoda sahabatnya itu sampai satu laki-laki menyadarkannya seraya berkata.
"Kai, bisa ikut gue sebentar? Ada yang perlu gue omongin." Laki-laki berperawakan sedang, dengan tatanan pakaiannya yang rapi cukup membuat gadis manapun akan tersenyum bila bertatapan dengannya. Tidak lain, laki-laki itu adalah Pandu, si ketua rohis periode ini.
Kaira menoleh sejenak, meminta persetujuan pada sahabatnya "Bisa kok.
Gue pergi dulu ya, kalau Alia ngulah lagi kasih tahu gue."
Kaira melangkahkan kaki beriringan dengan langkah Pandu. Keduanya berjalan pelan menuju suatu tempat "Proposal untuk acara satu Muharram besok udah siap Kai?" Pandu menatap lawan bicaranya sekilas, seulas senyum tercetak dibibir laki-laki itu. Nyaman dan tenang jika berbicara tanpa ada rasa benci, benar bukan?
"Sudah kok, tinggal minta tanda tangan OSIS dan kepala sekolah aja. Istirahat nanti gue kerjain." Balas Kaira yang sama sekali tidak berani menatap lawan bicaranya. Kepalanya menunduk memandang sepatunya yang kini membawanya menuju ke musholla Mulia.
Pasalnya, dia takut sesuatu akan muncul di hatinya-jika dia bertatapan terus dengan si ketua rohis. Sekali-kali Kaira mendongak membalas ucapan Pandu supaya tidak kentara sekali jika dia menghindari kontak mata pada laki-laki itu.
Saat sudah masuk ke dalam Musholla, tampaklah sosok manusia yang sangat ingin Kaira bumi hanguskan dari kehidupan ini. Dialah… Amar si ahli pembuat onar.
"Sudah ibu bilang! Kamu itu ngumpul tugasnya hari ini. Kenapa sekarang malah gak bawa? Apa coba yang mau ibu isi di rapor kamu kalau tugas saja tidak dikerjakan?" Ucap guru itu, dengan sebelah tangan menopang bobot kepalanya di atas meja.
Amar menyahut ringan "Biasanya sih, nilai Bu yang di isi di rapor." Jawab Amar polos. Kepalanya menunduk lemas lantaran kena semprot oleh guru yang sangat dia sayangi itu.
Dari semua guru di Mulia, hanya Bu Hana yang menjadi guru favoritnya .Guru itu tegas, namun mengerti apa yang dirasakan oleh para muridnya. Tak aneh jika di depan Bu Hana dia akan berubah menjadi sesosok kucing anggora yang lembut, karena menurutnya hanya guru agama itu lah yang bisa mengerti pribadinya. Nakal, tidak sopan, suka membuat onar, dibenci semua guru. Ya, dia lah Amar yang selalu dibenci Kaira.
"Iya nilai. Nilai berapa yang bisa ibu tulis coba?” Nada suara Bu Hana naik satu oktaf. “9? Tugas aja kamu gak pernah ngerjain." Bu Hana memijit pelipisnya yang terasa penat. Tobat punya murid sejenis Amar. Nakalnya itu overdosis stadium 4!
Wajah Amar berubah sumringah "Serius ibu mau ngasih saya nilai 9? Pulang sekolah nanti kita makan seblak bu!” Jawab Amar haru sambil tangannya menepuk-nepuk punggung tangan Bu Hana. Seolah guru itu benar akan memberinya nilai 9, syukur-syukur ngurangin mata pelajaran yang lain yang pastinya akan remedial.
"Nak, dengarkan ibu. Buat tugasnya sekarang, ibu tunggu sampai bel pulang sekolah. Dengar?" Bu Hana menegakkan badan seakan mengisyaratkan bahwa ucapannya kali ini serius dan tidak bisa dibantah. Terdengar tegas namun penuh kasih sayang.
Si murid nakal-Amar langsung mengangguk patuh dengan tangan bergerak hormat. "Siap buk!"
"Ekhem. Permisi bu, ini Kairanya." Pandu mencela, saat tadi sudah melihat adegan guru dengan muridnya yang sedang ditodong tugas.
Sang kakak kelas menoleh, binar mata memenuhi Indra penglihatannya. "Pagi Kai"
Kaira yang disapa hanya menatap sekilas lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Bu Hana selaku pembina rohis. "Bagaimana Bu?" Tanya gadis itu pada sang guru.
"Nah jadi seperti ini. Acara 1 Muharram kita sebentar lagi akan dilaksanakan. Kalau bisa istirahat ini kamu minta tanda tangan kepala sekolah dan OSIS biar nanti ditemani Pandu." Guru itu melirik sekilas ke arah Pandu dan dijawab anggukan singkat si ketua.
"Ya sudah, kalian bertiga cepat ke kelas. Sebentar lagi bel masuk." Titah sang guru dan mengakhiri obrolannya.
Mereka bertiga berjalan berdampingan, dengan Kaira yang berada di posisi tengah. Tampak jelas wajah muram dari gadis itu, sesekali ia menghembuskan nafas kasar seolah menyadarkan bahwa ' Amar' sebaiknya cepat-cepat enyah dari hadapannya. Karena berada berlama-lama didekat si kakak kelas membuat tensinya naik seketika.
Mereka melewati koridor kelas XI, dengan artian bahwa Kaira akan lebih dulu masuk ke dalam kelas meninggalkan dua lelaki itu.
"Gue masuk dulu." Pamit Kaira saat di depan kelas.”
----------------------------------------------------------
Sesuai perintah Bu Hana, selesai pelajaran berakhir Kaira langsung bersiap mengambil berkas di dalam tasnya dan berjalan menuju ruang OSIS terlebih dahulu. Namun langkahnya terhenti saat sebuah chat Line masuk kedalam ponselnya.
"Maaf Kai gue gak bisa temani lo minta tanda tangan. Gue Ada urusan mendadak, lo bisa pergi sendiri kan?"
From: Pandu
Kaira menghela nafas lelah. Akan ribet masalahnya jika berhubungan dengan Bu Mila sang guru MTK sekalian menjabat sebagai pembina OSIS Mulia, sendirian.
Kaira ingat dia punya masalah dengan guru tua itu, lantaran tidak mengerjakan tugas bertema Trigonometri tempo hari. Apalagi saat ini dia sedang sendirian, bisa-bisa urusan pencairan dana akan tertahan karena guru nuda itu mempersulit urusannya.
"Butuh gue Kai?" Amar tiba-tiba muncul di hadapannya, membuat gadis itu terlonjak kaget karena tidak sadar akan kehadiran si kakak kelas.
Gadis itu mengelus dadanya, menormalkan kembali detak jantungnya yang memburu cepat. "Kaget!"
"Gue gak butuh lo! Gue bisa sendiri!" Lanjutnya lagi.
Namun bukan Amar namanya kalau sekali di bentak langsung kicep. Justru dengan begini, dia bisa mencari tahu penyebab kebencian Kaira padanya.
Step by step, lambat laun dia juga akan tahu informasi perihal kebencian si adik kelas terhadap dirinya.
Kaira tak menggubris, hanya diam sebagai bentuk jawaban. Lagi, gadis itu meninggalkan Amar sendirian-berjalan di belakang.
Sesekali Amar mempercepat laju langkahnya, berharap akan berjalan sejajar tanpa harus seperti kacung dan tuan putri seperti ini. Namun, saat sudah sejajar Kaira semakin mempercepat langkahnya. Si kakak kelas pun menghembuskan nafas pasrah.
Selang dari itu, tibalah mereka di ruang OSIS. Kaira menatap papan nama yang bertuliskan ruang 'OSIS' itu dengan bahu seketika meluruh . Seolah beban di pundaknya benar-benar berat saat ini.
Tanpa menunggu lagi, Kaira masuk ke dalam ruang tak lupa mengucap salam- dan disusul Amar dari arah belakang.
"Assalamu'alaikum, permisi Bu." Bu Mila yang sedang mencatat pun mendongak lantas mempersilahkan Kaira untuk duduk.
Kaira mengangguk. "Begini Bu, saya perwakilan dari pengurus rohis ingin mengajukan proposal 1 Muharram yang akan diadakan satu minggu lagi." Jelas Kaira seraya tangan kanannya menyerahkan map berisi kertas pengajuan.
Guru muda itu membaca sejenak, lantas menutup kembali sebelum tadi melihat jumlah nominal yang dibutuhkan untuk keperluan acara.
"2.000.000?" Ketus Bu Mila.
"Yang benar saja, 2.000.000 untuk acara 1 Muharram!" Lanjutnya dengan membentak Kaira yang sudah diam sejak tadi.
Sementara si Kakak kelas yang tadinya berniat akan menolong saat ini hanya mendengarkan tanpa mau mencela.
"Kas OSIS tidak cukup untuk membiayai acara eskul kalian itu. Turunkan dananya dan setelah itu ajukan kembali." Tutur sang guru seolah kas OSIS benar-benar sedang sakaratul. Wajahnya menatap bengis, seolah guru itu sangat membenci eskul rohis.
Kaira terdiam, dia sudah tahu jika masalahnya akan seribet ini.
"Maaf Bu, tapi menurut saya, total dana yang diajukan sudah pas untuk melaksanakan acara 1 Muharam. Malahan menurut saya, itu sudah jumlah yang sangat kecil di bandingkan dengan pengajuan dana dari eskul-eskul yang lain.
“kenapa ibu menolak dan menyuruh Kaira menggencet dana sampai seminimal mungkin?" Cela Amar menyadari kebisuan dari si adik kelas. Firasatnya benar, Kaira tidak mungkin berani mencela omongan guru muda itu, siapa sih yang mau berurusan dengan guru pencinta MTK tersebut? Kalau tipe murid seperti Kaira mungkin akan berpikir panjang, karena takut nilai semester mereka akan berakhir dengan tinta merah. Lain hal dengan Amar, situasi ini sudah lumrah terjadi dalam hidupnya. Jadi ya, dia santai saja kalau nilai MTKnya akan berakhir dengan tinta merah bahkan mungkin akan di bold, italic plus underlined lantaran kebencian Bu Mila pada Amar.
Si guru tua menurunkan kaca mata tebalnya. Melirik tak senang ke arah Amar seolah mengatakan 'Siapa kamu ikut campur urusan dana OSIS?'
Kaira justru menatap Amar kaget karena berani sekali cowok itu mencela ucapan dari Bu Mila. Namun lagi-lagi Kaira hanya bisa diam, membantah pun percuma karena dia masih sayang dengan nilai rapornya.
"Tahu apa kamu soal uang kas OSIS? murid bengal seperti kamu ini cukup memikirkan nilai-nilai kamu yang rendah saja. Tidak usah ikut campur, serahkan saja masalah itu pada saya dan anggota OSIS yang lain, yang tentunya lebih pintar dari kamu." Kuping Amar dibuat perih oleh ucapan guru itu, itu mulut keseringan makan bon cabe mungkin.
Untung dia sudah kebal mendengar segala bentuk hina, cacian yang disemburkan guru-guru di Mulia. Sehingga, sindiran guru itu tidak akan mempan mengenainya.
Dengan tenang, Amar kembali melawan ucapan guru itu.
"Ooh ya ibu benar. Saya hanya siswa bodoh yang tidak tahu menahu masalah dana kas OSIS. Tapi mungkin kebodohan saya bisa ibu pertimbangkan." Ucap Amar misterius. Guru MTK itu pun menoleh ke Amar dengan kening berkerut.
"Kenapa untuk urusan agama, sekolah ini terlalu sulit untuk mengeluarkan dana OSIS? Masalah prestasi? Eskul yang lain juga gak terlalu menonjol dalam menyumbangkan piala untuk sekolah ini.
"Lagian ini kan bukan uang ibu. Kenapa ibu menahan mengeluarkan uang tersebut?" Lanjutnya kembali, namun kini wajah siswa bengal itu berubah datar. Secara tersirat guru itu telah merendahkan eskul rohis, dan tentu saja dia marah. Walaupun bengal, walaupun gak bisa bedain alif sama lam, Amar juga memiliki nilai sensitif jika urusan agama seperti ini dipandang sebelah mata.
Terlihat jelas tampang murka si guru. Map yang berada di depannya pun ia remas seolah menyalurkan kekesalannya akibat ucapan Amar yang tidak disaring lagi. Mengalir lancar sampai-sampai guru muda itu berjanji, selama Amar menjadi muridnya nilai anak itu tidak akan pernah ia tulis di atas 75 atau mungkin menulis nilai pas-pasan 75 pun dia tak akan sudi. Bagaimana tidak, kata-kata Amar tadi sungguh menohok hati sang guru.
Kaira sudah tidak tahan lagi berada di situasi seperti itu. Dengan lembut dia mencela. "Baik Bu akan saya turunkan dananya. Terimakasih atas waktunya Bu, kami pamit permisi. Assalamu'alaikum." Saat tangan kanannya baru menyentuh ujung map, lebih dulu Bu Mila menariknya hingga membuat Amar dan Kaira saling bertukar pandang. Kejadian yang amat langka pun terjadi.
Keheningan terjadi dalam ruang berukuran 3x2m itu. Kaira diam-diam berdoa supaya masalah ini tidak terbawa pada nilainya. Sementara Amar antusias untuk kembari berdebat dengan sang guru.
"Baiklah saya pertimbangkan kebodohanmu itu." Final sang guru, kemudian menandatangani lembaran proposal yang diajukan. Setelah itu Bu Mila menyerahkan map tersebut pada Kaira dan kembali menatap Amar dengan wajah garang.
Sulit untuk di percaya, ucapan Amarlah yang membuat pembina OSIS yang terkenal galak itu menyetujui pengajuan proposalnya. Walaupun sedikit nyelekit, tapi kata-kata Amar tadi ada benarnya. Tak urung sang guru merasa tersindir, pun menandatangani sebelum nanti mendengar persepsi yang keluar dari sudut pandang si murid bengal.
Seraya tersenyum, Kaira mengambil map tersebut dan pamit pergi disusul Amar dari belakang.
"Hebat kan gue!" Angkuhnya saat sudah berada di luar ruangan. Benar saja, laki-laki itu membusungkan dadanya seolah jika dia tidak ikut bersama si adik kelas maka pengajuan proposal itu akan berjalan sia-sia.
Kaira memutar bola matanya malas. Siapa juga yang mengizinkannya ikut bersama. Sedari tadi laki-laki itu sendiri yang nekat ikut tanpa mempedulikan tatapan sensi yang di arahkan untuknya.
"Biasa aja. Lagian gue bisa kok meminimalkan jumlah dana sesuai dengan keadaan uang kas OSIS." Tatapan Kaira seolah memandang remeh atas pembelaan yang sudah di lakukan Amar untuknya-atau lebih tepat lagi untuk Rohis. Jujur saja, dalam hati Kaira sungguh berterimakasih atas bantuan laki-laki itu namun ego tetaplah yang terdepan. Tidak mungkin dia mengucapkan terimakasih serta tersenyum manis pada Amar, itu sungguh tak akan terjadi.
Amar mencibir “Ya ya terserah, sampai gue jadi bajak laut pun lo gak akan pernah bersikap manis ke gue. Benar kan?" Skak! Amar melakukan pembelaan. Bibir Kaira seketika dibuat bungkam oleh kalimat pedas yang keluar dari bibir sang kakak kelas. Perlahan, luka lama itu kembali merasuki Kaira. Air mukanya mendadak berubah sangat dingin. Map merah itu pun menjadi sasaran pelampiasan Kaira.
Tanpa menunggu lagi, laki-laki itu melesat pergi menuju ruang kelasnya tanpa memperdulikan kondisi Kaira yang kini mematung ditempatnya. Gadis itu sedang bergulat dengan pikirannya sendiri, sang hati mengatakan bersalah karena ucapannya yang kasar, sedang logika mengatakan 'biar saja, dia pantas untuk mendapatkan itu semua
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments