Kilas 11

Sulit memang untuk memaafkan seseorang saat kesakitan sudah terlanjur memasuki bagian hati. Benci dan dendam berkumpul menjadi satu dalam rongga hati yang seharusnya suci. Seseorang yang menjadi penyebab dari suatu masalah, mungkin sudah terlanjur egois untuk diucap. Kebencian terhadap laki-laki itu seakan sudah hambar. Tidak terasa apa pun saat nasehat Aga tempo hari mengalun indah ditelinganya.

Mungkin kesakitan itu sudah sirna dan mungkin saja hati itu perlu ruang baru untuk memaafkan.

Bel istirahat sudah berbunyi dua menit yang lalu. Dari atas gedung itu, Kaira leluasa melebarkan pandangannya. Ditemani Alia dan Helen yang sedang berdiri di sisi kanan dan kirinya. Ketiga gadis itu menatap diam ke arah Amar dan kedua temannya yang sedang istirahat. Peluh keringat membanjiri wajah mereka, ada sepatah kata yang ingin disampaikan, namun tertahan oleh bibir. Ada perasaan yang ingin diutarakan, namun tertahan oleh ego. Hening. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.

kedua gadis itu---Alia dan Helen, setia menemani Kaira dalam keadaan seperti ini. Tidak membiarkan Kaira merasa sedih sendirian, itulah arti sebenarnya persahabatan.

Dibawah sinar matahari pagi, tepatnya dibawah pohon cemara samping kelas XI 2 ada Amar beserta teman-temannya yang sedang istirahat lantaran habis latihan tanding voli dengan anak kelas XI 1--- tepatnya kelas Kaira.

Kaira yang biasanya setia menjadi penonton di pinggir lapangan khusus hari ini sedang absen. Suasana hatinya sedang gundah.

Namun wajah Kaira dari atas gedung itu masih setia memandangi tiga orang tersebut.

"Gue tau lo sedih Kai, kehilangan orang yang berarti, pasti ngebuat diri lo down." Helen berhenti sejenak. Terpaaan angin segar menerbangkan bagian belakang hijabnya.

"Tapi Kai, kita itu sahabat, ada baiknya kalo lo punya masalah, lo bisa cerita ke kita. Walau mungkin gue dan Alia gak punya solusi. Senggaknya kita mau jadi pendengar setia lo." Helen menggenggam lembut tangan Kaira. Wajahnya yang ayu menampilkan senyuman yang hangat seakan menyakinkan ucapannya barusan. Berbeda dari wajah sehari-hari yang selalu dia tampilkan, datar dan cuek. Kali ini lebih lembut.

Semilir angin pagi seolah menerbangkan sisa-sisa ketakutan dan kebencian Kaira selama ini. Bahkan alam pun ikut bersedih saat Kaira memendam benci pada laki-laki itu.

Beberapa menit yang lalu, Kaira sudah bercerita perihal kebenciannya pada si kakak kelas. Namun, tidak lagi menangis saat Kaira mengungkapkan isi hatinya. Kedua sahabatnya hanya diam mendengarkan setiap cerita Kaira. Sampai saat gadis itu sudah selesai, baru Helen angkat bicara.

Alia juga tersenyum mengiyakan, mereka turut merasakan kesedihan Kaira selama ini. Memang benar, cover tidak menjamin sebuah isi . Bisa saja saat ini Kaira tertawa terbahak-bahak padahal hatinya sedang gundah, menari hula-hula di depan kelas tanpa perduli tatapan hina dari orang-orang.

Setiap manusia mempunyai topengnya masing-masing.

"Kita semua tahu kak Amar itu gimana orangnya, kelakuan dia selama di sekolah pun bisa dibilang buruk. Hobinya yang suka tawuran udah menjadi ciri khas tersendiri." Kata Helen. Pandangannya mengarah ke depan. Mengatakan seakan dia sangat paham kepribadian orang yang saat ini dibicakan.

Helen kembali melanjutkan "Tapi lo gak tahu kan, kak Amar itu broken home?" Gadis itu tersenyum miris. Menatap wajah sahabatnya yang terkejut.

"Broken home?" Lirih Kaira. Pandangannya tertunduk kebawah, menatap tepat ke ujung sepatu yang ia pakai. Dalam hati Kaira cukup terkejut dengan pernyataan yang disampaikan Helen barusan.

"Kecil kemungkinan anak yang keluarganya broken home itu anak baik-baik. Karena lo tahu, keluarga itu pusat kebahagiaan. Disaat pusat kebahagiaan lo hilang, lo akan merasa hidup ini gak ada artinya lagi. Walau dia punya dua sahabat yang sama begonya, itu semua gak akan pernah cukup. Karena sahabat nggak akan pernah bisa menggantikan posisi orang tua, dan begitupun sebaliknya. Setiap orang punya mempunyai perannya masing-masing. Gue tahu ini karena gue tetanggan dengan dia." Alia tidak tau mengapa Helen mengucapkan itu semua. Padahal hati Kaira yang saat ini terluka, lalu mengapa larinya ke Amar?

Kaira sama diamnya dengan Alia, namun diamnya Kaira---dia mengerti maksud ucapan Helen. Gadis itu sedang menasehatinya.

Helen memutar tubuhnya. Suasana lantai atas gedung sekolah yang cukup sepi membuat ketiganya berpikir, merenung kembali kedalam masalah pelik itu.

"Dari dulu dia paling sering ikutan balap liar. Ya mungkin itu bisa jadi pelampiasan kesepian buat dia. Tapi nih ya , gue sering banget liat dia menung, beda banget kalo lagi disekolah. Kadang gue merasa hidup dia tu kayak abu-abu, gak jelas." Helen masih berbicara sendiri, tidak perduli apakah sahabatnya mendengar atau mengacuhkan. Matanya menerawang saat-saat gadis itu melihat sisi lain dari seorang Amar. Rapuh dan tak tersentuh.

"Dia itu anak pertama dari dua bersaudara. Dia punya adik namanya Widy, masih kecil sih paling umur tujuh tahun. Dan sekarang mereka tinggal dengan ibunya. Gue sering bantu jaga Widy kalo orang tuanya lagi kerja, dan dari situlah gue tahu gimana keluarga kak Amar, Widy sendiri yang cerita."

Helen masih melanjutkan ceritanya, sementara Kaira mendengar dengan seksama. Tatapan matanya ke arah lantai. Membayangkan maksud ucapan Helen barusan.

Wajar jika dia nakal, kalo gue di posisi dia mungkin gue udah bunuh diri. Kesakitan gue dulu mungkin gak sebanding dengan penderitaan Amar selama ini. Bunda meninggal karena udah ajalnya, gue masih beruntung punya abang dan ayah yang selalu sayang ke gue. Sedang kak Amar, orang tuanya masih lengkap, tapi kasian dia gak pernah ngerasa apa itu kasih sayang.

Lengang sejenak, Kaira baru mengerti maksud ucapan itu. Wajah Kaira kembali sendu. Gadis itu menatap Helen tanpa tahu apa yang akan dia ucap.

"Setiap orang mempunyai penderitaannya masing-masing. Lo sedih karena bunda lo meninggal gara-gara kecelakaan, dan kak Amar sedih karena keluarganya yang broken home. Kadar kesedihan orang gak akan bisa diukur atau dibandingin, mau kita bilang kita lah yang paling sakit disini. Itu semua karena kita gak ngerasa di posisi dia. Jadi maksud gue cerita ini, gue emang gak paham perasaan lo saat kehilangan bunda, dan lo menganggap kalo kak Amar itu orang yang harus lo benci. Tapi lo gak sadar kan, kalo kak Amar itu juga punya masalah, dia sama menderitanya kayak lo, kehilangan orang yang seharusnya dicintai. Lo gak akan paham perasaan kak Amar karena lo nggak berada di posisi dia. Dan kak Amar pun gak akan paham perasaan lo karena dia gak merasa di posisi lo."

"Intinya, yang harus lo lakuin sekarang adalah berdamai dengan dia. Gue tahu itu sulit, tapi sulit bukan berarti gak bisa kan? Kejadian itu udah lama loh Kai, lo mau sepanjang hidup penuh dengan kebencian?" Kedua tangan Helen bertumpu diatas pundak Kaira. Dengan wajah yang tersenyum, gadis itu menunggu reaksi Kaira. Helen yang biasanya lebih pendiam, pada hari ini lebih terbuka. Gadis itu mencoba meluruskan ujung dari permasalahan yang Kaira hadapi.

Mungkin dengan sedikit penjelasan ini, Kaira bisa paham. Tidak terlalu menutup hati dan bersikap realistis saja.

Kaira diam menatap mata Helen. Pikirannya saat ini benar-benar sudah tertata rapi. Agak lama, Kaira pun tersenyum, kedua tangannya menarik Helen untuk berpelukan.

Selama ini dia sudah egois, mengabaikan perasaan orang lain yang padahal jauh lebih sakit dari kesedihannya. Kaira merasa hari ini adalah awal kehidupan barunya, memperbaiki semua kesalahan dan mengubah diri menjadi lebih baik lagi. Laki-laki itu, Kaira akan mencoba berteman dengannya.

"Duh kenapa kita jadi kayak teletubies gini sih?" Ceplos Helen yang tanpa sadar sudah merusak suasana haru di antara mereka bertiga.

Ketiga gadis itu saling menatap, dan untuk sesaat mereka kembali tertawa.

Lega. Hanya itu yang bisa diungkapkan kaira untuk akhir masalah ini.

***

"Kantin yuk Ga. Gue kangen nih dengan es teh nya kak Neng." Ucap Rian yang bangkit berdiri dari posisi duduknya. Laki-laki itu mengggosok tenggorokannya seakan memberi kode bahwa dia benar-benar haus saat ini. Setelah lama tadi mereka duduk di bawah pohon akibat kelelahan main voli, cowok itu menatap ke bawah tempat Farga dan Amar duduk. Mengajak mereka untuk ikut serta ke kantin. Berburu minuman dingin, dan kalau bisa tanpa harus mengeluarkan uang.

Namun Farga hanya menatap Rian sinis. Matanya menyipit melihat wajah polos Rian.

"Lo lupa? Duit jajan lo kan di potong nyokap. Lo mau bayar pake apaan? Sorry-sorry aja, gue gak mau di gadaiin di kantin cuma gara-gara gak mampu beli es teh seharga Rp.2.000."

Rian terdiam sejenak, benar juga. Tadi pagi uang jajannya di potong Neli---mamanya. Kalau begini, kepada siapa Rian akan berlindung?

Ujung matanya melirik Amar sekilas, cowok itu pasti punya uang jajan lebih. Rian tersenyum dan segera melancarkan niat busuknya.

"Mar! Gue pinjam duit dong. Duit jajan gue di potong nyokap."

Tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, Amar mengeluarkan uang bernilai Rp.10.000 dan menyerahkannya pada Rian.

Mata Rian berbinar "Lo benar-benar titisan Spongebob! Selalu menebar kebaikan dimana-mana. Thanks Mar, yuk Ga kita cabut." Setelah mengatakan itu, Rian dan Farga berjalan ke kantin. Menyisakan Amar sendirian di tempat itu.

Bersamaan dengan itu Amar memejamkan matanya sesaat, kepalanya menengadah keatas. Dan kemudian sebuah benda dingin menempel di bagian pipi kanannya, hal itu membuat Amar terkejut lantas membuka mata.

Matanya membulat seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Sosok gadis dengan hijab syar'i yang ia gunakan. Seperti orang bodoh, Amar hanya bengong menatap tangan yang masih setia memegang botol minuman dingin itu.

"Gak ada niatan mau ngambil?" Ucap orang itu yang kini berada tepat di hadapan Amar. Laki-laki itu sontak mengedipkan matanya dengan cepat seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

Dengan ragu laki-laki itu mengambil botol minuman yang masih setia menempel di pipinya. Dengan tersenyum ia mengatakan.

"Thanks Kai." Orang yang disebut namanya tadi pun ikut duduk disamping Amar dengan sedikit menjaga jarak. Sebuah senyum terbit di kedua wajah mereka, laykanya tidak pernah terjadi sesuatu diantara mereka.

"Gue minta maaf kak, gue yang salah disini." Orang itu, Kaira. Ya, Kaira berniat untuk menjalin pertemanan dengan kakak kelasnya. Walau mungkin terasa canggung karena mereka saat ini hanya duduk berdua.

Alis Amar berkedut "Maaf untuk apa Kai? Emang lo ada salah?" Amar benar-benar bingung sekarang. Baru kemaren gadis itu nangis sesegukan dan sekarang dia malah menegurnya. Mimpi apa Amar semalam?

Wajah Kaira beralih menatap Amar. Seakan dia sedang menghafal kata---apa yang akan dia ucap.

"Gue terlalu berlebihan dalam menanggapi masalah ini. Gak seharusnya kan gue sebenci itu ke kakak? Gue terlalu egois dalam bersikap." Wajahnya tertunduk, jemarinya bergoyang memainkan rumput kecil disana. Lantas kembali melanjutkan.

"Lagian gue juga udah muak kalo terus-terus benci dengan lo kak." Ucap Kaira dengan tawa diakhir kalimatnya. Gadis itu berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang. 'Tak apalah memulai obrolan duluan.' pikir Kaira.

Amar sedikit tertegun, walaupun gadis itu tertawa saat berbicara. Pasti di dalam hatinya masih ada sedikit luka yang ditutupi. Namun Amar bersikap sebiasa mungkin, agar Kaira tidak risih dengan ekspresi wajahnya saat ini.

Laki-laki itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Setelah berdiam cukup lama akhirnya Amar berbicara.

"Gue yang salah Kai, gak seharusnya kan gue num--" belum sempat Amar menyelesaikan Kalimatnya. Tangan Kaira bergerak keatas, mengisyaratkan untuk Amar menghentikan ucapannya.

"Gak usah dilanjutin kak. Itu udah masa lalu." Tutur Kaira dengan senyum di wajahnya.

Sekali lagi laki-laki itu terdiam, terkunci dengan ucapannya sendiri. Namun dia cepat mencari topik pembicaraan yang lain.

"By the way, lo ikut eskul pecinta alam ya?" Tanya Amar.

Kaira tersenyum menanggapi "Yoi bener banget, rencana sih dalam waktu dekat ini eskul bakal ngadain trip lagi."

“Gua juga ikut tuh, gua bisa kok bantuin lu untuk beli peralatan mendaki besok.” Kata Amar.

Sementara dilain tempat ada Rian dan Farga yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka duduk.

"Tebas gue ga. Itu Amar sama Kaira lagi ngobrol? Sambil ketawa lagi!" Ucap Rian dengan nada seolah-olah laki-laki itu benar-benar syok melihat adegan langka dihadapannya. Dengan cepat Rian menolehkan wajahnya kesamping, tempat lawan bicaranya berdiri.

"Woi Farga, lo mau kemana? Dasar gila! gue ajak ngomong malah kabur!" Teriak Rian yang melihat Farga sedang berjalan ke arah gudang sekolah.

Laki laki yang diteriaki namanya itu lantas menoleh kebelakang. Seraya mengucapkan.

"Mau cari kapak, lo tadi minta ditebas kan?" Dengan santainya Farga kembali melangkahkan kakinya ke gudang sekolah. Mencari kapak yang dimaksud dan melaksanakan perintah---menebas kepala Rian. 'Tugas yang mudah.' Batin Farga.

Saat itu juga Rian langsung terdiam. Menatap lemah punggung sahabatnya yang kian jauh dari pandangannya.

"Otak bajakan sih gitu, macetnya gak ketulungan. Lah masa iya kepala gue mau ditebas? Emang gila tu anak." Ucap Rian yang mulai jengkel dengan sikap acuhnya Farga. Ternyata orang kelewat pintar seperti Farga bisa begitu, makanya dari dulu Rian konsisten untuk tidak menaikan kadar otaknya.

" Btw gue harus hati-hati ni. Siapa tahu kan dari arah belakang Farga udah megang tu kapak, terus ancang-ancang mau nebas kepala gue. Iih serem!. Woi Ga tunggui gue! Percuma lo cari kapak, kapaknya udah gue tebas kemaren! Woi ga tungguuu!" Teriak Rian yang berlari menyusul Farga.

Di tempat lain, ada juga orang yang melihat kejadian itu.

"Lo berhasil Hel." Ucap Alia dengan tangannya menepuk pundak Helen.

Wajah mereka tersenyum, didalam hati mereka sangat bersyukur karena tidak ada lagi jarak di antara Amar dan Kaira.

"Eh kak, gue masuk kelas dulu ya. Udah bel soalnya. Kakak juga ke kelas gih, gak usah bolos-bolosan." Ucap Kaira yang bangkit berdiri dari duduknya, disusul Amar kemudian.

"Iya-iya gue gak bolos. Gih sana masuk kelas, entar lo telat." Ucap Amar kemudian. Kaira mengangguk dan langsung pergi meninggalkan Amar.

Laki-laki itu melakukan hal yang sama, melangkah memasuki area kelasnya dengan posisi yang bertolak. Kaira berjalan ke kiri dan Amar yang berjalan ke kanan.

Namun satu hal yang mereka tidak tahu, kedunya tersenyum saat meninggalkan tempat itu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!