Kilas 5

Suara dari pengeras masjid telah terdengar. Kumandang Adzan maghrib kini telah menggema diseluruh tempat. Seperti halnya aku saat ini yang sedang duduk bersimpuh diatas sajadah, menunggu dan mengingat-ingat apa saja yang sudah aku lakukan hari ini. Ayah dan abang sudah dari tadi pergi ke masjid, sedangkan aku shalat sendirian di rumah.

Tidak menunggu waktu lama, adzan maghrib pun telah selesai. Shalat maghrib pun berjalan dengan khusyuk.

Selesai shalat, aku masuk ke dalam kamar dan mulai membuka Al-Quran yang kuletakkan di atas meja belajar. Aku mulai membaca dari tanda terakhir kali aku selesai.

Sekitar sepuluh menit berlalu, pintu kamarku di ketuk dari luar dan tanpa menunggu untuk aku membukanya, kepala Bang Aga sudah lebih dulu menyembul dari balik daun pintu dan menyuruhku untuk turun ke bawah karena ayah sudah menunggu untuk makan malam bersama.

Melihat itu, aku langsung menyelesaikan bacaan Al\-Quranku dan turun kebawah, bergabung bersama anggota keluarga yang lain.

"Duduk dek." Pinta ayah yang melihatku baru turun dari tangga. Wajah lelahnya setelah pulang dari kantor masih terlihat, walau jelas ayah sudah menutupi nya dengan senyuman hangat yang dia tampilkan untuk anak\-anaknya.

Aku mengangguk, kemudian mengambil kursi disamping kirinya.

"Ayah dengar eskul kamu mau ngadain trip lagi ya dek?". Kata ‘Adek’ adalah panggilan kesayangan keluarga ini kepadaku. Wajar saja, lantaran aku anak terakhir dan kebiasaan manja ini sudah tertanam jauh sejak aku kecil.

Aktivitas saling menjitak antara aku dan Bang Aga mendadak berhenti, kupegang erat kedua tangannya sembari menjawab "Iya yah, sekitar dua minggu lagi sih, belum tahu pasti kapan berangkatnya. Entar deh kalo udah pasti adek kabarin lagi.”

 

Ayah hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan kami berdua yang seperti anak kecil. “Bang, pimpin doa. Kita mulai makan malamnya." Yups, kata 'abang' juga panggilan kesayangan dari keluargaku untuk abangku. Keluarga ini jarang memanggil nama, namun jika sudah memanggil nama, itu artinya mereka sudah benar-benar marah.

Semuanya berjalan dengan lancar, aku yang asik dengan menu ikan lele goreng buatan Bi Tin. Sedangkan ayah khidmat dengan setiap kunyahan dalam mulutnya dan Bang Aga yang sibuk misahin antara telur lele yang masih berada dalam perut ikan tersebut.

“Ihh, ini lelenya pasti betina. Kasian amat, lagi hamil digoreng!”

 

“Bodo! Yang penting udah mateng!”

 

Wajahku seketika mendadak masam ketika Bang Aga langsung berkata “Heh! Orang belum mandi nggak usah ikut campur ya, mandi aja dulu sana!”

Aku jawab “Yeee sirikk, adek udah mandi lah ya, wlee!"

Tiba-tiba ayah ikutan nimbrung dan berakata “Malas banget sih dek disuruh mandi doang, entar bau badan baru tahu rasa.”

 

Thanks to my brother!

***

Setelah selesai makan, kulangkahkan kaki menuju pantry dan meletakkan semua piring kotor bekas makan tadi kedalam wastafel, bersama Bi Tin yang sudah berdiri dan mulai mencuci semuanya satu-persatu.

“Besok acara yasinan rutinan Bunda ya dek?” Kata Bi Tin pelan.

Aku mendengarnya, kemudian mengangguk pelan. “Iya, nggak kerasa ya bik udah dua tahun aja Bunda pergi.

“Adek jadi kangen.”

Bi Tin mematikan keran air, dipeluknya puncak kepalaku. Mataku terasa ppana. Ada air mata yang ingin mendobrak keluar namun cepat kualihkan dengan senyuman. “ nggak apa\-apa kok bik”

Kulepaskan pelukan antara aku dan asisten rumah tanggaku. Setelah Bunda meninggal memang Bi Tin yang selalu ada untuk aku.

Bunda. Kata itu kembali mengingatkanku pada peristiwa tragis yang menimpa malaikat tak bersayap itu dua tahun lalu. Wanita yang saat ini sangat kurindukan. Masakannya, omelannya, senyumnya, dan pelukannya yang hangat saat aku sedang dalam ketakutan lantaran mendengar petir yang menggelegar saat malam hari.

Ikhlas. Aku sudah mencoba mengikhlaskanya, abangku yang lebih dulu bangkit dalam keterpurukan itu. Kemudian ayah, dan disusul aku. Namun aku terlalu berat untuk memaafkan orang yang sudah menabrak bunda itu, kata ikhlas itu hanya sebatas bibir saja. Jauh di lubuk hati, luka itu masih sulit untuk disembuhkan.

Biarlah. Lambat laun, luka itu akan memudar bersamaan dengan kebencian yang kupelihara selama ini.

Bi Tin hanya tersenyum maklum, walaupun statusnya hanya sebagai asisten rumah tangga. Tapi keakrabannya pada kami semua sudah seperti pengganti Bunda dalam hal urusan rumah tangga. Usianya yang telah setengah abad, tidak menyurutkannya untuk tetap bersemangat dalam menjalani hidup.

Terkadang aku iri dengan Bi Tin, dia terlalu mudah dalam hal memaafkan. Sampai orang lain mungkin beranggapan Bi Tin adalah tipe orang yang mudah untuk diinjak, tapi semua opini itu tertahan karena sifat tegas Bi Tin. Sedangkan aku? Aku yang masih muda, sehat wal-afiat malah sibuk dengan dendam masa lalu?

"Remot kontrol hati kita itu ya cuman ada pada kita. Jangan berikan kepada orang lain. Karena yang membuat kita senang, sedih, bahagia, menangis ya itu cuman diri kita yang berhak. Makanya jangan terlalu bergantung pada manusia." Sepenggal kata yang selalu di ucap Bi Tin kala melihatku atau Bang Aga merasa sedih

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!