Kilas 15

Amar POV

Kembali ke kehidupan gue yang makmur. Bersama dua orang cunguk yang selalu setia ngintilin gue kemanapun gue pergi. Kali ini kami para cowok ganteng, (minus Rian), sedang jalan-jalan ke kawasan Taman Remaja. Lurus terus, belok kiri ke Taman Jomblo. Nah disini, tempat remaja-remaja seusia gue ngumpul.

Berhubung otak gue dan Rian kurang lebih sama, disini gue mau nanya---kenapa taman ini diisi dengan dominan orang yang pacaran? Kan judulnya Taman Jomblo, pemerintah udah perduli dengan nasib jomblo di kota Jambi, lantas mereka para pasangan haram---(eak bahasa gue udah kayak Kaira aja!) Yang menuhi taman ini!

Apa salahnya, mereka sadar dan menjauh dari taman ini. Senggaknya biarkan taman ini suci dari jangkauan muda-mudi yang pacaran. Bukankah itu alasan pemerintah membuat taman ini?

"Kenapa coba kita harus ke taman ini lagi?" Rian baru turun dari motornya. Helm full face-nya masih menggantung di kepala, enggan untuk dilepaskan. Kepalanya celingak-celinguk mengabsen satu persatu orang yang duduk di taman itu. Semuanya bergandengan tangan, minus satu cewek berkucir kuda yang tengah memakai Hoodie biru di tubuhnya. Satu-satunya jomblo yang bertahan di tengah pusaran kaum pacaran.

Farga menyahut "Kenapa? Karena lo gak bawak gandengan jadi lo miris dengan nasib lo di sini?". Di liriknya Rian dari sudut matanya. Rian mendengus kesal, pernyataan telak yang keluar dari bibir Farga sukses menyentil sisi baper Rian.

Rian tidak menyahut, muda-mudi yang ada disini seolah mempengaruhi Rian yang kini sudah menggenggam satu sisi tangan gue. Ini yang gue gak suka! Rian kadang gak sadar diri kalau dia sama lakinya dengan gue. Please jangan kayak cowok yang kurang belaian!

Alhasil gue sentak tangan gue dan dengan bodohnya Rian menatap nanar tangan yang tak ada penggenggamnya itu. "Najis! Mending kita cabut. Gue khawatir Rian makin gesrek, lama-lama disini."

Farga menarik tubuh Rian ke arah motornya dan menyuruh Rian untuk segera menghidupkan motor sport hitam itu. "Cepetan!" Desak Farga lagi.

Baru aja gue mau tancap gas, eh sisi belakang motor gue berasa kayak ada yang dudukin. Saat gue toleh kebelakang untuk melihat siapa sosok yang gak tau diri itu.

Malangnya nasib, ternyata itu si Mimi peri yang lagi senyum-senyum.

Dia manis, tapi agresif! Gue gak suka.

"Kita jalan yuk!" Seru Mimi Peri dari bangku belakang.

Buset dah! Sore gue yang ceria mendadak suram pas denger ajakan horror nya si Mimi peri.

"No, thanks." Mata gue mengkode supaya si Mimi Peri turun dari bangku boncengan. Tapi sepertinya dia gak paham maksud kode gue, gue kasih kode morse baru tau rasa lo!

"Sebentar aja Mar. Kita jalan-jalan sore." Pintanya lagi.

Gue mendengus kesal, waktu berharga gue habis cuma karena jalan-jalan bareng si Mimi. Gue tau dia cantik, manis, anggun. Tapi dia terlalu agresif untuk ukuran cewek pada umumnya.

Tidak tahan dengan aksi memelas si Mimi, akhirnya gue tancap gas---gak tau mau jalan ke mana. Yang penting jalan aja dulu. Sebelum itu gue pamit dulu ke dua konco gue dan sialnya mereka malah cie-cie in. Tolong sadar! Kalian udah bangkotan! Gak pantes sebut cie-cie lagi!

Selama di perjalanan, Mimi terus-terusan ngoceh. Gak tahu dia ngomongin apa dari tadi, yang ada di kepala gue cuma mikirin bagaimana cara gue turunin si Mimi, habis itu gue tinggal pergi deh haha! Jahatnya gue!

Tiba-tiba, semua ocehan Mimi Peri mendadak berhenti. Dia diam, gak kayak biasanya. Gue heran dan sedikit khawatir, apa yang buat dia tiba-tiba diam. Biasanya dia sibuk ngocehin tingkah adek kelas yang kelewat centil, cowok-cowok anggota ekskul basket yang kelewat kece-kece dan kegantengan gue yang tiada tara? Tapi kenapa dia sekarang diam?

Apa karena adek-adek kelas udah pada culun semua lantas gak ada bahan omongan tentang mereka? Atau karena anggota ekskul basket yang mendadak jadi jelek dan gak enak di pandang? Atau karena gue yang gantengnya menurun dan kalah saing dengan si Farga?

Demi menjawab itu semua, laju motor ini gue pelankan dan berhenti tepat di bawah pohon besar di sisi kanan jalan.

"Lo kenapa Ka?" Kini kekhawatiran gue sudah sempurna. Setelah gue lihat, si Mimi Peri---maksudnya Rika menitihkan air mata.

Gue salah apa?

"Lo kenapa nangis? Gue bawa motornya kepelanan ya?" Bingung mau gimana, alhasil gue berikan tisu berukuran mini ke dia. Gue gak mau meluk untuk nenangin perasaan dia, yang ada gue rasa itu semakin buat hati dia hancur.

Rika masih diam, tetesan air matanya kembali mengalir, melewati bagian pipinya yang halus. Sejenak gue tertegun, apa yang buat Rika nangis sederas ini? Apa tadi gue melewati hal penting saat dia lagi bercerita?

Gue berkata pelan, nyaris seperti orang sedang berbisik. "Ka, lo kenapa? Gue salah apa?"

Rika mengangkat pandangannya, dan mata kami bertemu. Ada gurat kekecewaan di matanya, mata yang selalu membohongi orang lain dengan bertingkah nakal sehari-hari. Nyatanya, mata itu lebih mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Gue kembali merasa khawatir, dia bukan Rika yang gue kenal. Inikah sisi lain dari Rika? Seorang bad girl, katanya.

"Lo gak senang kan jalan sama gue?" Rika tersenyum miris. Air mata kembali jatuh, membuat wajahnya yang angkuh mendadak lemah seperti orang yang kurang mendapat kasih sayang.

Gue bingung harus jawab apa, jawab jujur nanti disangka gak punya perasaan. Bohong malah bikin dia semakin nangis.

"Nggak gitu Ka." Cuma itu yang bisa gue jawab sekarang.

Rika memalingkan wajahnya ke arah lain. Mengambil selembar tisu, lagi. Lantas menghapus jejak air matanya.

"Gue gak bodoh Mar. Selama ini, semua perlakuan lo ke gue itu beda. Lo lebih sering menghindar tiap kali ketemu gue. Lo sering kali nyiapin beribu alasan untuk nolak ajakan gue. Bahkan gue tahu, lo risih setiap berada di dekat gue!" Lugas, gadis di depan gue menumpahkan seluruh kekecewaannya atas sikap gue selama ini.

Gue akui. Semua itu benar. Ternyata dia paham dengan sikap penolakan halus itu.

Lagi. Air matanya tidak mampu menahan derasnya yang kembali akan meninggalkan jejak merah pada bagian matanya. Ini saat dimana gue melihat titik terlemah Rika. Untungnya jalanan yang kami lewati jarang ada pengemudi yang lewat, Jadi gue bisa lebih fokus meluruskan kesalahpahaman ini.

"Iya. Gue kurang suka lo ngikutin kemanapun gue pergi." Satu kalimat meluncur bebas dari bibir ini. Menimbulkan sesak pada gadis di hadapan gue. Nafasnya naik turun, gue tahu. Itu kata-kata yang cukup kasar untuk ukuran cewek.

Tapi, gimana pun gue tetap harus meluruskan ini. Udah kepalang tanggung untuk nyuruh dia berhenti.

Gadis itu bertanya dengan lirih. "Kenapa?"

Gue Hela nafas sejenak, baiklah. Berbicara sambil duduk mungkin akan lebih mudah. Gue ajak Rika untuk duduk di bawah pohon, sambil gue akan menjelaskan perihal penolakan gue selama ini.

Dia menurut, dan di mulailah ceritanya.

"Sejujurnya, gue bukan risih dengan keberadaan lo di sekitar gue. Siapa yang gak kenal lo Ka? Lo cantik, manis, pintar, famous lagi. Gak ada alasan cowok nolak lo untuk jadi pacar mereka. Bahkan gue, mungkin seharusnya gue gak punya alasan untuk ngejauh dari lo. Tapi ada satu hal yang buat gue punya alasan." Diam sejenak. Rika tampak masih serius memperhatikan. Dia menunggu kelanjutan kata-kata ini.

"Gue kurang suka cewek yang agresif."

Rika terkekeh. Menganggap lucu ucapan barusan. Gue lanjut lagi penjelasan ini.

"Gue lebih suka ngejar cewek." Tandas lagi.

Rika menyahut "Salah?" Nada suara Rika merendah, Dan kembali air mata jatuh membasahi pipinya.

"Salah kalau gue sayang sama lo?"

"Salah kalau gue ingin lo balas perasaan ini?" Kali ini dia kembali bergetar, menahan sesak di dada yang terus memukul untuk segera di tumpahkan.

Lirih suaranya membuat gue mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Gue cuman pengen ada orang lain yang sayang sama gue Mar." Hela sejenak.

"Salah kalo gue pengen bahagia?"

Gue masih diam. Gak tahu mau jawab apa, segitu cintanya dia ke gue.

"Gue gak bisa dapatin ini dari keluarga gue. Cuma lo Mar harapan gue, gue cuman mau kita terus dekat."

"Gue gak agresif Mar, seandainya lo tau. Gue takut kehilangan lo. Gue---" Nafasnya naik turun, aku menatapnya prihatin.

"Cuma mau lo balas perasaan ini." Setelah mengatakan itu, tubuh Rika melemah dan akhirnya jatuh ke pangkuan gue.

Gue coba bangunin dia, tapi sepertinya dia pingsan. Tanpa pikir panjang, gue langsung hubungin Farga dan Rian untuk bantu gue bawa Rika ke rumah sakit.

"Gue tau apa jawaban gue selanjutnya." Batin gue bermonolog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!