kilas 18

Bahagia itu bukan perihal, perasaan senang atas sesuatu hal yang terwujud atau terkabul. Bukan perihal 'dia' yang kita suka, menyukai balik. Bukan juga perihal nilai ulangan yang tidak remedial. Semua itu akan nol, jika dari keluarga tidak ada penompangnya.

Mungkin, bagi sebagian orang. Kehilangan keluarga sudah menjadi hal lumrah, dan mereka bisa beradaptasi dengan kondisi tersebut. Lantas menjalankan kehidupan sebagaimana biasanya.

Namun, untuk orang tertentu. Bagi mereka itu adalah kiamat kecil. Kehilangan semangat hidup, atau bahkan bisa menjadi penyebab stres.

Pulang sekolah tadi, gue melihat salah satu konco gue---Topan. Lagi nongkrong di warung kopi seberang sekolah. Sendirian. Jomblo. Persis seperti orang frustasi. Di temani bang Deni, anaknya pemilik warkop yang sama-sama jomblo pula. Gue harap kasus LGBT gak terjadi saat itu.

"Hooy! Diam-diam bae! Ngopi ngapa ngopi!?" Sentak gue sambil nepuk pundak Topan. Padahal dia lagi mau minum, alhasil karena kaget, kopinya tumpah kena kaos putihnya. Taruhan, itu kopi pasti hasil ngutang sana-sini.

"Lo sopan dikit elah! Baju gue kotor nih!"

Siapa juga yang terima jika kopi hasil 'ngutang' tumpah terus kena kaos putih... yang semua mama-mama di rumah tahu bahwa nyucinya akan membutuhkan jumlah tenaga ekstra, dan penekanan pada kata 'ngutang' yang gue yakin itu gak gampang dapetinnya. Siapa yang gak kenal Topan? raja ngutang yang kalo berhutang seratus ribu ngakunya sepuluh ribu! Ini bukan cuma kesalahan dalam mengingat, tapi ini murni pembohongan publik yang amat kejam.

Gue mencela "Lo bolos lagi Pan? Tobat dong kayak gue, dalam bulan ini cuma lima kali bolos!" Seru gue membanggakan diri, iya lah gue sombong, ini rekor baru! Biasanya gue bolos sampe lima belas kali selama sebulan. Paling datang, kalau cuma ada ulangan sama ngurus masalah eskul. Itu pun diselingin dengan ngaret satu jam, benar-benar wassalam hidup gue.

Topan menjawab singkat "Nggak."

"Tadi gue pulang cepat. Mau ngurus masalah pindah sekolah."

Kopi yang baru aja gue minun langsung melesat keluar. Lah buset! Ni anak nakal tiba-tiba pindah sekolah. Perasaan gak Ada angin ****** baru-baru ini, terus motivasi dia mau pindah apa? Mau menebarkan bibit-bibit kenakalan di sekolah lain?

"Pindah? Kenapa?" Jiwa kepo mulai kumat bung!

"Disuruh orang tua, gue juga gak tau masalahnya apa."

Gue mengangguk sok paham "Yah Sayang banget, gue kehilangan satu orang pengikut." Ucap gue mendramatisir, lengkap dengan adegan meremas seragam sekolah.

Topan memasang tampang ingin mencekik "Jijik! Yang ada lo harusnya sedih, Karena gak ada lagi penerus lo setelah lulus nanti!" Topan menghardik. Benar aja, apa untungnya gue mempertahankan makhluk seperti dia?

Yang tahu jawabannya harap kasih tahu, Karena sampe sekarang gue masih ragu apa gunanya tu anak di hidup gue.

Tiba-tiba Topan beranjak berdiri, menyalami Bang Deni yang dari tadi cuma nge-rokok sambil dengerin obrolan gue dengan Topan.

"Hati-hati Pan!." Seru Bang Deni seraya menepuk pundak Topan akrab.

Lah! Kenapa gue gak di salamin? Wah! Nggak ingat masa MOS ni anak! Gue bully baru tahu rasa dia!

"Hoy junior kurang ajar! Lo mau kemana? Salam dulu kek sama abang lo ini.” Topan cuma mandang gue datar, benar-benar bentuk pelecehan visual terhadap kakak kelas!

Tanpa menjawab lagi, laki-laki itu berlalu pergi dan berjalan santai menuju motor Hitam yang terparkir manis di sisi kanan warung.

Gue langsung menghampiri Topan dan bertanya lagi kemana dia akan pergi. Karena sedari tadi, gue menangkap sinyal-sinyal gak enak dari muka tu anak. Muram kusam gimana gitu ekspresinya. Jadi, sebagai kakak kelas yang care plus teman satu geng yang baik gue memutuskan untuk lebih dekat dengan Topan, Karena gue tau dia tipe pendiam. Gak bakal cerita kalo gak di paksa.

"Lo minggat lagi?" Alih-alih bertanya, pernyataan menuduh malah keluar dari mulut ini.

Topan mengangkat pandangannya sekilas, kemudian menganggukkan kepala tanda iya.

Gue hela nafas lelah, orang seperti gue dan Topan ini memang gak lepas dari kegiatan minggat, bolos, tawuran, pecah\-pecahan kepala, ngerjain pak Rudi rame\-rame. Itu semua seolah sudah di takdirkan untuk kami jalani.

Namun, sebagian orang mungkin menutup sebelah mata. Memandang remeh kami, anak badung. Tidak perduli dengan alasan kenapa kami seperti ini. Mereka hanya melihat yang nampak di mata, dan membutakan yang sebenarnya ada di hati.

"Gue ikut. Kita ke tempat biasa. Gue rasa lo perlu teman ngobrol." Setelah mengatakan itu, Topan tidak membantah, malah menghidupkan motornya dan melajukannya sampai ke tempat tujuan.

***

Sepi. Satu kata yang gue tangkap saat motor Topan sudah terparkir manis di bawah salah satu pohon besar di sini. Sunyi, hanya suara semut yang terdengar, itu pun harus pakai stetoskop nge-dengernya.

Ini adalah tempat gue dengan yang lain menyendiri, atau lebih tepatnya mengasingkan diri. Tempat yang pas untuk kami para anak 'nakal' mengintrospeksi diri. Setahun yang lalu gue rutin datang ke sini, diam dan merenung. Masalah gue cukup rumit untuk di jelasin, gue lebih memilih untuk diam---sampai saat ini.

"Sekarang lo cerita. Ada masalah apa dengan keluarga lo?" Todong gue setelah kami sudah duduk santai di bawah pohon depan danau.

Topan hanya diam, memperhatikan riak danau yang di buat karena melempar kerikil. Begitu terus sampai dia bosan sendiri.

"Kemarin nyokap bokap datang ke sekolah. Mereka temui Pak Yahya, ngurus berkas pindah sekolah gue ke Bungo. Mereka nge-lakuinnya diam-diam, tanpa persetujuan gue sebelumnya. Gue marah, jelas! Mereka pilih kasih!"

Apa gue bilang, Topan itu mulutnya ada lem perekat, jadi kalo gak kita yang maksa bobol, ya mulutnya akan selamanya terkunci.

Masalah pilih kasih. Hm, mungkin gue gak paham dengan situasi ini. Mengingat gue dengan adik gue udah pisah lama. Masing-masing di bawa adil oleh papa dan mama.

Topan melanjutkan lagi "Gue udah nolak. Bahkan gue udah mohon-mohon supaya gak di pindahin." Lanjut Topan lagi, emosinya perlahan keluar. Merenggut habis sikap datarnya tadi.

Gue diam, Dan terus memperhatikan.

"Kenapa gak 'dia' aja yang disuruh pindah? Kenapa harus gue? Karena gue anak pungut jadi mereka gak terlalu merasa sedih untuk misahin gue?" Emosi sudah menguasai diri Topan. Tidak segan-segan, Batu besar yang tergeletak di bbawanya ikut dia lempar ke dalam danau, hingga menimbulkan riak yang besar. Topan berteriak marah, mengambil benda apa saja di dekatnya untuk ia ceburkan ke dalam danau. Masih belum puas, laki-laki itu bangkit berdiri seraya meninju bebas pohon besar di samping kami.

Gue diam. Cukup liatin seberapa sanggup dia menghancurkan pohon besar itu. Kalo gak tangannya yang bakal diamputasi duluan.

"Mereka ngebuang gue Mar, secara tidak langsung." Lanjutnya dengan suara lirih, nyaris tidak terdengar. Perlahan, tubuhnya luruh ke samping kanan gue, memejamkan mata sesaat, seolah dengan begitu. Fakta di depan mata akan berganti dengan opini yang ia rancang di dalam pikiran.

**** memang, di saat seperti ini kita hanya bisa menuruti nasib yang belum tau ke depannya akan seperti apa. Seolah hanya ada satu pilihan yang tersedia! Dan pasrah tanpa perlu memperjuangkan hak yang semestinya.

Gue berdiri, berjalan ke arah bibir danau. Menghirup udara sebanyak mungkin. Jika memang ada hubungan persahabatan, hati kita pasti akan turut merasakan apa yang dirasakan oleh sahabat kita. Seperti Topan saat ini, jantung gue mendadak gak tenang dengan nasib dia.

"Apa alasan mereka nyuruh lo pindah?" Satu pertanyaan meluncur ke luar. Mengisi kesunyian yang tidak lama terjadi.

"Gue gak tahu. Mereka cuma bilang kalo gue harus pindah dan gak ada pilihan lain." Tunduknya lesu. Kepalanya tenggelam di antara lekukan lututnya. Meremas kerikil yang ia genggam, seolah menyalurkan seluruh kekesalan dan kesedihannya pada kerikil kecil itu.

Gue mundur ke belakang, mencoba menenangkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan meyakinkan bahwa Topan tidak akan pindah.

Semua pasti ada penjelasannya, tidak akan ada pertanyaan tanpa adanya jawaban. Tidak pula timbul jawaban sebelum adanya penelitian. Begitupun penelitian tidak akan ada jika tidak ada pernyataan awal. Semua pasti ada sangkut pautnya.

Dan ini, ini hanyalah sebuah misteri kecil yang harus di singkap. Bukan malah menuruti nasib yang seharusnya masih mempunyai jalan lain.

"Yang harus lo lakuin sekarang adalah...Pulang ke rumah, ajak orang tua lo ngobrol. Dan yakini mereka bahwa lo akan berubah. Dan masalah pindah sekolah, batal!"

Topan terdiam. Tidak tahu akan menjawab apa. Namun, detik berikutnya kepala Topan terangkat seraya mengatakan sesuatu.

Senyum miris tersungging dari wajah Topan "Gue sudah terlanjur setuju. Itu yang mereka mau, dan gue gak punya pilihan lain. Gue cukup sadar diri untuk saat ini

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!