Topan POV
Matahari kembali terang, setelah tadi sang hujan turun mengguyur bumi dengan rinainya. Tetesan rintik masih tersisa di ujung kelopak daun. Mataku terpaku tepat pada daun yang berada di sisi depan ruang kelas, daun itu telah gugur dan tanpak hina karena telah di pijaki oleh ratusan pasang sepatu yang ada di sekolah.
Jika daun saja tidak marah saat kaki-kaki hina milik manusia memijak. Lantas mengapa aku harus pusing memikirkan ocehan mereka yang tak berguna?
Saat daun masih terpaut pada pohon, keberadaannya sungguh berharga di dekat manusia. Menebar udara segar, menciptakan kenyamanan lingkungan, tak lupa sebagai penghias lingkungan. Namun jika masanya telah tiba---gugur, tak lagi dipandang, karena dia telah berubah menjadi sebuah sampah. Tak ada orang yang mau menghargainya.
Sama seperti manusia, dikala keberadaannya masih berguna untuk orang sekitar maka ia akan sangat dijaga, namun jika keberadaannya tidak lagi menguntungkan. Siap-siap, nasibnya akan sama dengan daun yang telah gugur itu---terabaikan.
"Kali ini tentang daun?" Kepalaku menengadah ke atas, tempat si pemilik suara berdiri. Laki-laki dengan seragam yang sama sepertiku, namun hanya cara berpakaian kami yang berbeda.
"Iya." Tangan ini kembali menari di atas hamparan kertas putih, melanjutkan kembali deskripsiku tentang daun dan nasibnya.
"Kenapa gak coba di buat jadi cerpen aja?" Kepalaku kembali terangkat, seolah meminta lebih jelas maksud ucapannya barusan.
Laki-laki itu terkekeh "Maksud gue, Lo kan hobi mendeskripsikan sesuatu. Nah gue rasa modal utama seorang penulis itu harus pandai dalam hal mendeskripsikan. Sayang banget kalau bakat lo ini cuman gue dan Arif yang lihat."
Ku hela nafas dengan pelan, benar juga si ketua rohis. Barangkali aku bisa menghasilkan sesuatu dari hobi ini. Hitung-hitung sebagai bentuk pembuktian, bahwa yang bodoh tidak selamanya berada di bawah.
"Nanti gue pikir lagi."
Dia mengangguk lantas berkata "Oh iya lo tadi di cari Kak Hana, ada hal penting yang mau dia omongin."
Aku masih fokus menulis- tak menggubris. Lelaki itu kesal lantas menggebrak meja "Gue ngomong Pan. Jawab elah."
Jengah, ku jawab "Berisik Ndu. Gue mau lanjutin karya gue. Jangan ganggu penulis, nanti konsennya hilang."
Oke aku sadar, Pandu pasti gedek dengar omongan manusia yang kelewat bikin mual ini. Abaikan!
"Selamat siang, saya mencari Topan."
Pak Hadi berdiri di ujung pintu kelas, mengedarkan pandangan seraya bertanya pada Chairany teman sekelasku.
"Saya." Aku berjalan ke arah pintu. Pak Hadi menatapku sejenak, lantas berkata.
"Orang tuamu ada di kantor."
Good. Masalah baru datang lagi.
"Saya salah apa lagi pak? Kenapa mereka bisa sampai berada di sekolah?" Jujur saja, aku tak menyukai orang tuaku datang ke sekolah. Terlebih, alasan utamanya adalah karena aku telah membuat ulah di sekolah. Orang tua mana yang sudi datang ke sekolah karena ulah anaknya yang bikin malu nama keluarga?"
Pak Hadi terkekeh, tanpa menjawab.
Kini kami telah sampai di depan ruang kepala sekolah. Jika biasanya siswa akan takut saat memasuki ruang yang hawanya menurut mereka mencekam. Justru aku sudah menjadi langganan. Bahkan saking langganannya aku ingat semua foto kepsek bersama keluarganya. Ada yang di Bali, Bandung, Jogja dan yang lain, have a lot of money.
Ruangan yang menurutku paling elite, karena diisi oleh satu unit AC yang dipajang dekat pintu masuk, satu set sofa warna crem dan satu set meja kerja di tambah cat dinding yang dipakai berwarna hitam putih.
Disini lah aku sekarang, duduk berhadapan dengan kedua orang tua-yang kini menatapku dengan tampang sedih. Mereka seolah kasihan melihat penampilanku yang berbanding terbalik dengan anak pertama mereka. Anak yang selalu mereka bangga kan di depan khalayak ramai. Sedangkan aku, aku ada jika 'dia' tak ada.
"Ekhem." Pak Yahya angkat bicara, silih berganti menatap ku dan kedua orang tua itu.
Mereka terdiam, dan aku pun juga sama, enggan untuk berkata.
"Ada hal penting yang ingin orang tua kamu sampaikan." Pak Yahya menatap ibu sekilas, kemudian beralih menatapku.
"Tentang kepindahanmu ke sekolah baru."
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku merasakan kekosongan dalam kalimat itu.
Ini kah wujud amarah mereka? Memindahkanku ke sekolah lain saat aku telah mempunyai banyak teman di sekolah ini? Saat aku telah membuat banyak kenangan di sini dan mereka dengan seenak jidat memindahkanku tanpa izin sedikit pun.
Aku terdiam, rahangku mengeras, seolah dengan begitu mereka bisa melihat murka ini. Aku marah! Merasa tidak dihargai.
"Besok senin kamu akan di pindahkan, dan semua data-datanya telah disiapkan oleh orang tuamu."
Aku mencela "Kenapa? Kenapa saya di pindahkan?
Semua orang menatapku terkejut. "Apa karena saya sering membuat masalah? Banyak kok anak yang lebih badung dari saya. Rombongan Amar, mereka tidak pernah absen walau sehari pun."
Pak Yahya tampak menimbang. "Kenapa bukan mereka saja yang dikeluarkan? Ibaratnya saya ini masih junior dan mereka lebih berpengalaman dari pada saya."
Aku beralih menatap kedua orang tua itu. Mereka tertunduk, lengkap dengan tampang sedih tak tertahan. Seolah takdir membebaninya dengan menghadiahiku sebagai anak mereka. Lama mereka terdiam.
"Saya bertanya. Sekiranya kalian orang yang lebih cerdas mampu menjawab pertanyaan saya saat ini."
"Topan!" Ayah murka, begitupun aku.
"Gue gak mau pindah!" Nafasku naik turun. Emosi kini menguasai kami. Ruangan yang hawanya tadi sejuk berubah menjadi panas akibat pertengkaranku dengan laki-laki tua itu. Dia tampak mengucap, beristighfar seolah bisa membendung amarahnya yang tak sengaja tumpah.
"Kamu tenang dulu Topan, mari kita bicarakan baik-baik." Pak Yahya menarikku duduk. Menepuk-nepuk pundak seraya berbisik menyuruhku beristighfar.
"Saya sadar saya sering membuat masalah." Kepalaku terangkat memandang mereka. Helaan nafasku perlahan mulai stabil.
"Saya paham jika orang tua saya malu dengan hal itstabilpejamkan mata, mengusir emosi yang bangkit kembali. Ibu melihatnya, harap-harap cemas jika aku kembali mengamuk.
"Tapi saya mohon. Masa SMA saya sudah nyaman berada di sekolah ini. Saya tidak bodoh-bodoh sangat. Saya masih termasuk 20 besar di kelas. Sulit bagi saya jika harus di pindahkan lagi." Kembali kubuka mata, menatap mereka serius berharap agar mereka mau mengabulkannya.
Kuhela nafas pelan. Cara ini tidak mungkin berhasil. Kembali kulanjutkan "Anggap ini sebagai permintaan terakhir saya. Dan setelah itu tidak akan ada lagi permintaan."
Ayah cepat mencela. "Kamu harus pindah. Tidak ada alasan untuk kamu bertahan di sini."
Ibu dengan sigap menahan lengan ayah menyuruhnya berbicara sambil duduk saja. Membisikkan sesuatu pada ayah dan setelah itu baru angkat bicara
"Percaya pada ibu nak, ini pilihan terbaik." Ibu mencoba menyakinkan, tangannya menggenggam tanganku yang berada di atas paha. Dan tanpa sadar, kepalan tanganku semakin mengeras. Aku diam, tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan. Membiarkan ibu menitihkan air matanya seraya meremas-remas kepalan tangan ini.
"Sekali ini saja kamu turuti permintaan ayah dan ibu. Kamu akan di pindahkan ke Bungo---tempat kakek. Tenang saja, semua barang-barang pribadimu akan kami siapkan, kamu hanya tinggal datang." Jelas ayah kali ini menatapku penuh harap.
Pak Yahya yang sedari tadi menonton ‘drama keluaraga kamj’ mulai ikut memberi usul. Menyakinkanku bahwa pilihan ayah-ibu adalah yang terbaik. Memberiku nasihat, bahwa hargailah permintaan ayah untuk terakhir kalinya. Berkata bahwa di sekolah ini juga tidak akan menjamin keberhasilanku. Keberhasilan bisa di gapai di mana saja.
Kuyakinkan diri lebih dalam. Mengabsen satu persatu dampak yang nanti akan aku terima setelah proses pindah ini.
Good. Aku telah memutuskan.
"Saya akan pindah, tapi biarkan saya menyelesaikan satu masalah ini saja."
Ayah tampak ingin menyela tapi ibu langsung menggelengkan kepala, mengkode untuk tidak berbicara dulu.
"Masalah ini saya yang buat. Saya tidak ingin di cap sebagai pengecut. Biar saya bisa cepat pergi dan tenang ketika meninggalkan itu semua."
Ayah menatapku sejenak lantas mengangguk. Ibu tersenyum seraya mengucapkan terimakasih dan beralih menatap ayah.
Semoga aku tidak salah dalam penentuan ini.
***
Mendung kembali menyapa, setelah tadi telah berkunjung menurunkan sang rintik. Kembali lagi Topan hanyut dalam dunia khayal nya. Memikirkan nasibnya yang tak lama lagi akan pindah sekolah.
Bukan itu yang seharusnya dia takutkan. Tapi masalah dengan masa lalunya yang membuat laki-laki tempramental ini takut untuk melangkah pergi meninggalkan kota kelahirannya---Jambi.
Yang artinya meninggalkan separuh hidupnya ditelan kenangan.
"Pan?" Gadis berkacamata datang menghampiri Topan, duduk di samping kirinya seraya memandang si lelaki dengan tampang iba.
"Gue lagi malas piket. Suruh yang lain aja." Jawab Topan malas. Seolah menebak kedatangan gadis tersebut untuk menyuruhnya piket. Jangankan piket, mau ke kantin aja dia sudah tidak mood.
Chairany berdecak "Gue bukan mau nyuruh lo piket. Gue cuman-"
Alis Topan terangkat satu, menandakan dia heran dengan sikap gadis di sampingnya ini. Toh tidak menjawab, Topan kembali terdiam.
Bosan dengan situasi canggung ini, Chairny langsung mengajukan pertanyaan utamanya "Lo beneran mau pindah ya?"
Topan langsung menegakkan tubuhnya, menatap serius ke arah si gadis yang kini menatapnya tak kalah serius.
Topan terkekeh "Cepat juga beritanya nyebar." Namun entah mengapa terdengar mengejek ditelinga Chairany.
Gadis itu terperanjat, cepat-cepat dia menyela. "Bu-bukan gitu Pan."
Topan tak menanggapi, dia lebih memilih sibuk memikirkan urusannya ketimbang berkonferensi pers dengan si gadis berkacamata.
Chairany mengeluh "Jawab Pan. Itu semua bener?" Desak si gadis, tak tahan dengan sikap cuek Topan. Gadis itu menepuk keras bahu laki-laki itu dan sukses mendapat tatapan tajam yang sayangnya sudah tidak mempan lagi saat ini.
"Iya.” Kata Topan.
“ Gue bakal pindah. Sorry ya Cha, anggota piket lo jadi berkurang karena gak ada gue." Gadis itu, Chairany memberenggut. Bukan itu maksudnya. Andai saja Topan lebih mengerti, kesedihannya melebihi itu semua ketimbang hanya berkurangnya satu anggota piket.
Tak urung, seperti Chairany sebelumnya. Gadis itu bersikap se-cuek mungkin dengan membalas gurauan Topan dengan kekehan jenakanya.
"Iya gue tahu, bakal buat daftar piket baru lagi nih gue." Keluhnya dengan nada sedih.
Laki-laki itu bergeming. Menatap sendu manik mata Chairany yang kini tertunduk ke bawah. Jemarinya sibuk meremas-remas pangkal rok abunya, seolah menyingkirkan rasa khawatir yang dengan sendiri tertanam dalam diri gadis itu.
Mereka terdiam, menyisakan hawa dingin menyelimuti percakapan tersebut. Sesekali gadis itu bersin lantaran suhu badannya yang mulai terasa tidak enak.
Topan masih menatapnya, sedang pandangan Chairany masih setia tertunduk menatap ke arah ujung sepatu. Sejurus kemudian, Topan memberikan sebuah hoodie hitam pada Chairany. Menyuruh gadis itu untuk membungkus dirinya dari sisa hawa dingin akibat hujan pagi ini.
“Lain kali bawa jaket, sekarang lagi musin hujan.”
Senyum terbit diwajahnya "Thanks Pan.”
Topan mengangguk sekilas lalu permisi ke luar karena ada hal yang ingin dia selesaikan. Chairany mengizinkan dan segera berbalik ke tempat duduknya. Namun sebelum itu si gadis berkata "Apapun keputusan Lo. Gue yakin itu yang terbaik Pan." Akhirnya, dengan seulas senyum tulus.
***
Laki-laki itu berjalan tergesa menuju kelas tempat sang kakak belajar. Sembari melirik jam tangan hitam yang sudah menunjukkan pukul 11.30 yang artinya pelajaran belum usai. Topan sendiri membolos lantaran guru yang mengajar sedang tidak masuk dan hal itu memudahkan Topan karena bisa keluar seenaknya dalam jam mata pelajaran berlangsung.
Satu dua siswa yang berjalan di koridor kelas menyapanya dan Topan membalas hanya dengan senyuman.
Kaki laki-laki itu terus berjalan menuju anak tangga teratas tempat kelas 3 berada, seraya mengedarkan pandangan mencari kelas XII 1---kelas si kakak.
Saat hampir sampai, lelaki itu memelankan langkah kakinya dan melirik ke dalam kelas, pelajaran masih berlangsung dengan guru yang mengajar pak Sapto---guru bahasa Inggris.
Si lelaki memutuskan untuk menunggu di luar---duduk di bangku depan kelas seraya menatap lapangan voli yang basah akibat guyuran hujan.
‘Kriingg’
Yang ditunggu pun datang, si kakakpun kaget dengan kehadiran adiknya---Kemudian bertanya.
"Topan? Ngapain kamu disini?"
Laki-laki bernama Topan itu menatap datar kepada gadis yang selama ini dia panggil 'kakak'.
Topan menyeringai, sangat tidak suka dengan sikap 'sok' tidak tahunya si kakak.
"Lo yang nyuruh ibu dan ayah untuk mindahin gue ke rumah kakek kan?" Pertanyaan bernada tajam itu dia luncurkan tanpa perduli reaksi terkejut dari sang kakak yang kini menatapnya penuh.
Teman-teman sekelasnya menatap silih berganti ke arah dua kakak adik ini. Seolah satu sekolah tahu bahwa hubungan mereka tidaklah seperti sibling goals kebanyakan.
"Kamu di pindahin? Kenapa? Kakak gak pernah kok nyuruh ibu untuk mindahin kamu." Raut heran kini terpatri di wajah gadis tersebut.
Topan berdecih "Nyatanya, tadi mereka datang ke sekolah dan tanpa badai petir nyuruh gue pindah ke rumah kakek di Bungo. Selamat! Karena gue udah setuju dengan mereka." Topan menatapnya sinis.
Topan kembali melanjutkan "Dan lo gak perlu khawatir, karena perhatian ayah dan ibu udah berhasil lo dapetin seutuhnya." Langsung saja, setelah mengatakan itu Topan beranjak pergi meninggalkan sang kakak, yang kembali menitihkan air mata akibat ucapan kasar dari sang adik, lagi.
"Kak Jola gak apa-apa?" Dari belakang, sosok Kaira muncul. Memeluk erat Hana yang luruh ke bawah menyentuh lantai ubin koridor yang dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments