Jikalau waktu bisa diubah, maka aku akan dengan senang hati untuk memilih berjalan kaki menerobos derasnya hujan sore itu. Jikalau waktu bisa diubah, maka aku akan meminta pada sang pencipta untuk membawa orang yang telah menyebabkan bundaku meninggal ikut bersama dengannya.
Aku kejam? Mungkin.
Karena aku membencinya. Percayalah jika kalian ada di posisiku mungkin kalian akan melakukan hal yang sama. Kehilangan orang yang berharga, apa itu tidak menyakitkan?
Jika kalian kira hidupku baik-baik saja saat insiden dua tahun lalu, maka kalian salah besar. Ada lubang
kebencian yang mulai tercipta dihati ini, menganga setiap kali aku mengingat peristiwa itu.
Lamunanku buyar saat satu suara masuk melewati pendengaran, kusadari saat ini kami sedang berada di
dalam kelas menunggu Bu Mila--- guru MTK yang sejak dua puluh menit lalu belum juga datang.
"Lo udah dapat kabar Kai? Dua minggu lagi eskul ngadain trip ke gunung." Ucap Helen dari arah samping.
Ya, Helen memang teman sebangkuku. Sedangkan Alia, dia duduk di depan bersama Lala, si bendahara
kelas.
Wajah yang tadinya kutekuk, perlahan berganti dengan raut bahagia, seolah tidak terjadi masalah apa-apa sebelumnya. Aku pun merespon. "Serius? Wah
kalau gitu gue harus ikut."
Namun ternyata indra perasa Helen lebih kuat. Gadis itu menatapku datar, sangat datar. Ketahuilah, hanya ada dua ekspresi yang gadis itu miliki, datar atau sangat datar. Pribadi yang cukup aneh untuk dijadikan sahabat,
"Lo ada masalah? Cerita!" Aku seolah ditodong oleh pertanyaan Helen barusan yang kini menatapku dengan tampang memaksa.
Aku bergidik ngeri "Lo mirip banget dengan om-om ojek pengkolan yang maksa orang-orang buat naik ke
motornya."
"Demi si mata duitan Tuan Krab, bacot lo berdua tu ngalahin Imul kalo lagi marah tahu gak!" Satu tangan gadis itu ia hentakan ke atas meja sehingga menimbulkan bunyi berisik, otomatis penghuni
kelas yang lagi asik mengobrol pun langsung melotot ke arahAlia dengan pandangan suram.
"Gak sadar, yang bacot itu, lo Al." Tutur Helen sembari memijit pelipisnya yang terasa penat.
Merasa namanya disebut, cowok yang dipanggil 'Imul' itu pun lantas menoleh dengan pandangan meminta jawaban, sementara Alia yang ditatap memasang wajah meringis menyadari kebodohan yang dilakukannya tadi.
Imul. Cowok bernama lengkap Haris Mulyanto itu dikenal sebagai kutu buku seantreo sekolah. Asal nama Imul itu sendiri diciptakan oleh Topan, anak kelas sebelah yang tanpa dosa buat nama panggilan Haris. Mendadak viral, nama itu pun mulai dipakai semua orang.
"Selamat siang anak-anak." Seorang guru muda, Buk Mila berjalan masuk ke dalam kelas dengan tas punggung hitam yang disampirkan ke bahu kanannya. Bisa dilihat apa aja yang guru wanita itu bawa, terlihat dari bentuk luarnya yang sangat besar dan padat. Mungkin, satu buah laptop ditemani dengan berbagai buku cetak MTK yang tebalnya itu masyaallah, yang gak segan-segan bikin otak jadi sariawan.Dan bikin Alia guling-guling ditengah lapangan karena sangking lemotnya tentang pelajaran matematika.
Terdengar helaan nafas dari arah depan. Alia, gadis itu pembenci pelajaran MTK.
"Rasanya gue pengen kabur tiap kali lihat buku cetak itu."
"Gue kayaknya kena penyakit sindrom MTK deh!" Lirih Alia sambil menatapku melas seolah minta bantuan bahwa ini adalah bencana yang akan buat dia mati saat itu juga.
Oke, aku terlalu lebay. Hanya saja tampang Alia yang melas itu membuatku sedikit prihatin dengan nasib rapornya yang tiap semester bertinta merah pada pelajaran MTK.
"Baik. Minggu lalu ada PR bukan? Sekarang kumpulkan semua buku PR kalian dan INGAT! siapa saja yang tidak mengerjakan silahkan keluar dari ruangan ini dan kerjakan PRnya di luar sampai pelajaran saya selesai. Mengerti?" Guru muda itu menatap satu persatu wajah siswa yang ada di kelas dengan tampang yang dibuat seseram mungkin seolah memberi tahu bahwa tidak ada toleransi apapun dalam kelasnya.
Bukan apa-apa, kesadisan guru itu sudah terkenal dari kelas X sampai kelas XII sekalipun, bahkan rumornya guru itu lebih sadis dari guru BK yang lagi interogasi murid-murid yang ketahuan melanggar peraturan sekolah.
Kami satu kelas sudah sepakat untuk tidak mengerjakan PR dengan materi trigonometri yang sudah dijelaskan oleh Bu Mila Minggu lalu. Tapi itu baru satu kali pertemuan dan kuakui satu pun tidak ada yang lengket di kepala, termasuk Dea yang notabenen-nya rangking satu.
“Gua nggak ***** kan Kai?”Tanya Alia minggu lalu.
Saat mata kami saling melirik dengan pandangan was-was, Imul si kutu buku berjalan dari arah belakang dengan membawa buku PR yang tentunya sudah terisi semua.Dengan senyum bangga dia menghampiri meja guru lalu kembali lagi ke tempat duduk semula tanpa perasaan bersalah sekalipun.
Terkutuklah kau Imul!
Perasaan kami semakin takut saat Bu Mila melihat hanya satu dari empat puluh murid yang mengumpulkan tugas. Aura sadis pun mulai menyelimuti raut cantik dari guru muda ini.
"Apa ini? Cuman satu orang yang mengerjakan?"Tanya ibu itu dilengkapi lengkingan suara yang sukses membuat jantung kami jatuh ke tanah.
"Dea!” Pekik guru itu.
“Kamu rangking satu kenapa tidak mengumpul?" Pertanyaan itu ia lontarkan kepada Dea yang posisi duduknya sangat memprihatinkan, yaitu berhadapan langsung dengan meja guru. Otomatis Dea akan menelan semua tatapan tajam itu walau kepala gadis itu sudah ia tundukkan dalam-dalam.
Tidak ada jawaban dari Dea, ia terlihatsangat takut sekarang. Pamornya sebagai rangking satu langsung merosot lantaran sikap tidak solid dari Imul, si manusia penjilat.
Aku yakin, setelah jam pelajaran Bu Mila berakhir, sekelas tidak akan segan-segan untuk kembali mem-bully Imul dengan segala bentuk hinaan karena tidak memperdulikan sikap setia kawannya.
Guru muda itu menghela nafas lelah lantas bertanya kembali, yang sayangnya pertanyaan itu dilemparkan kepadaku. "Kaira! Kamu juga tidak mengerjakan?" Tanpa dijawab pun sebenarnya guru itu sudah tahu, kan hanya Imul yang ngumpulin tugas!
Aku hanya menggeleng lemah, pasrah kalau akan dibentak Bu Mila dihadapan teman sekelas. Namun
sepertinya, kepasrahanku tidak membuahkanhasil, karena Bu Mila semakin mempertajam tatapannya.
Guru itu kembali berceloteh, memarahi sikap kami yang kompak tidak membuat PR pada mata pelajarannya. Bersikukuh bahwa materi yang dia sampaikan minggu lalu sudah sangat jelas dan berasumsi ahwa kami siswa XI 1 akan dengan mudah mengerjakan tugas yang beliau berikan.
Aku sedikit tersinggung engan pola pikir guru itu. Kami memang XI 1 tapi bukan berarti otak kami sudah hebat seperti Albert Einstein yang hanya satu kali pertemuan langsung bisa mengerjakan tugas yang dia berikan. Bahkan Albert Einstein pun mengalami ribuan kali kegagalan sebelum akhirnya dia berhasil.
Kami sama dengan kelas-kelas lain yang akrab disebut, 'kelas buangan’. Kami semua sama, hanya daya tangkap kami yang berbeda. Seringkali ada pengecualian untuk kelas yang tingkatannya
'1', menganggap bahwa itu adalah kelas dengan anak-anak yang pintar. Please, move your opinion and look us same with other.
Aku mulai lelah dengan petuah Bu Mila yang terus menasehati kami bahwa:kami adalah anak-anak pilihan dan kami dituntut untuk lebih unggul dari kelas lain. Bukannya aku durhaka tapi
mendengar kami ditinggi-tinggikan dari kelas lain membuatku sangat muak.
Semua manusia itu sama, ingat kisah Charles Darwin yang sewaktu kecil dianggap bodoh lantaran tidak menguasai dalam bidang akademik?
Ya, dia adalah salah satu tokoh dunia yang waktu kecil dianggap remeh oleh orang lain termasuk ayahnya sendiri. Namun siapa sangka ketertarikannya pada geologipun membawanya untuk berlayar dan mengunjungi banyak negeri di lautan Pasifik
selatan dan setelah itu, dia pun menulis sebuah buku yang berjudul The Origin Of Species. Dimana buku itu
sangat membatu para ilmuan dan peneliti pada zaman sekarang, so, jangan remehkan orang-orang yang kalian anggap bodoh, karena nasib tidak ada yang tahu.
Selama dua jam mata pelajaran berlangsung, akhirnya Bu Mila menghentikan ceramahnya. Itu pun berhenti lantaran bel pertukaran jam yang mengharuskan guru MTK itu menyudahi ceramahnya kali ini. Bisa kulihat, wajah guru itu masih belum puas dengan segala kata-kata yang ingin dia sampaikan.
Kami pun menghela nafas lega saat
punggung Bu Mila telah hilang dibalik daun pintu.
DANNNN
Waktunya pembalasan!
Serentak semua kepala menghadap ke arah Imul dengan tatapan membunuh, tak terkecuali juga Helen, gadis itu melayangkan tatapan super datarnya. Seolah dengan begitu, tatapannya bisa merubah sedikit daya pikir Imul untuk tidak menjatuhkan sesama teman. Namun, bukannya takut, cowok berkaca mata tebal itu malah menatap kami satu persatu seolah tidak merasa bersalah. Wah! Emang minta kina sikat ni bocah!
***
Musholla kali ini terlihat berbeda, mungkin karena jam istirahat kedua atau waktu dimana shalat Dzuhur telah tiba, maka bangunan berukuran medium
itu sudah terisi penuh saat adzan telah selesai.
Sama halnya dengan Pandu, laki-laki itu sudah selesai mengambil wudhu setelah lamanya mengantri.
Ahirnya Pandu pun mendapatkanshafyang paling depan, sejajar dengan para guru.
Hening saat shalat berlangsung, ke-khusyukkan nampak terlihat dari wajah-wajah orang yang shalat kala itu. Shalat di pimpin oleh Pak Ridwan selaku guru agama SMK Mulia. Selain pak Ridwan juga ada pak Sholahudin yang turut berganti menjadi imam shalat Dzuhur.
Karena ukuran mushollanya yang kurang besar otomatis akan ada jama'ah kedua setelah jama'ah
pertama selesai.
Pandu bergeser ke belakang, memberi tempat untuk teman lain yang akan mengikuti gelombang ke dua.
Laki-laki itu berjalan ke arah meja Bu Hana selaku guru agama, sekaligus pembina rohis SMK Mulia karena ada hal lain yang ingin dia bicarakan.
"Assalamu'alaikum Bu." Sapa Pandu saat berhadapan dengan Bu Hana---yang sedang melepas mukenahnya.
Bu Hana menjawab "Wa'alaikumsallam, kenapa Ndu?"
Pandu berdehem sejenak "Begini Bu, sepertinya sajadah kita ini kurang. Soalnya banyak teman-teman yang lain harus nunggu ronde ke dua lantaran udah gak ada tempat lagi untuk shalat.
Bagaimana kalau anak rohis patungan untuk membeli sajadah baru, sekitar empat gulung. Dibagi dua, untuk putra dan putri." Usul Pandu yang langsung
mendapat anggukan setuju dariguru agama itu.
Bu Hana mengangguk "Ya Ibu setuju. Umumkan ke anggota yang lain bahwa nanti sepulang sekolah akan adarapat."
Cowok ketua rohis itu pun tersenyum karena usulnya diterima oleh sang guru dan dengan cepat ia
membuka grup WA rohis dengan bunyi tulisan "Assalamu'alaikum, diharapkan seluruh anggota rohis dapat berkumpul di musholla setelah pulang
sekolah karena akan diadakan rapat penting."
Saat Pandu sedang mengetik, Bu Hana memanggil seorang gadis yang berjalan dari arah kantin.
"Rika!"
Yang dipanggil pun menoleh. Gadis berwajah manis, Rika Afnila Dengan muka sebal ia berjalan ke arah guru tersebut. "Saya Bu." Ucapnya malas.
Bu Hana menggeleng pelan. Muridnya ini memang berbagai macam jenis. Dengan lembut guru wanita itu
bertanya "Sudah shalat kamu?"
Rika memutar bola matanya jengah, menurutnya...guru itu terlalu kepo dengan urusan pribadi Rika. Tiap kali lewat pasti ditanya "Udah shalat Rika?" Begitu terus sampe Rika bosan sendiri menjawab.
"Lagi halangan Bu." Jawaban yang sama saat ditanya dua minggu lalu.
Bu Hana menggeleng pelan "Halangan kamu lama ya, sudah dua minggu masih halangan. Lebih baik kamu
periksa ke dokter takutnya ada yang salah dari tubuh kamu." Bukannya guru itu tidak tahu, gadis itu setiap ditanya pasti akan menjawab 'lagi halangan' padahal sebenarnya gadis itu sudah bersih.
"Nanti deh Bu saya periksa." Jawab Rika sambil meminum minuman yang baru dibelinya dari kantin.
Sementara Bu Hana berbicara dengan Rika, Pandu hanya berdiri diam. Laki-laki itu hanya mendengarkan percakapan antara gurunya dengan kakak kelasnya , Rika Afnila, yang terkenal dengan bad attitude terhadap para guru. Tapi jangan salah, Rika termasuk orang-orang pintar seantreo Mulia. Hal itu karena dia sudah empat kali berturut-turut menduduki posisi juara dua umum.
"Udah bel Bu. Rika masuk dulu, assalamu'alaikum."
Rika buru-buru pergi dari musholla itu tak lupa menyalami sang guru dengan dalih'hanya basa-basi'.
Pandu yang mendengar salam itu pun menjawab 'wa'alaikumussallam'bersamaan dengan Bu Hana di sisi kirinya.
Setibanya diluar, Rika langsung disambut dengan sahabatnya, Bella, yang masih menunggunya
di teras mushola. "Kenapa sih Ka? Kok muka lo bete gitu habis keluar dari musholla?" Tanya Bela sembari
berjalan menuju kelas.
Diperjalanan, Rika pun menjawab "Biasa, tuh guru rese nanyain gue lagi. 'Udah shalat Rika, udah shalat Rika?' ish bosan gue ditanya melulu!" Jawab Rika kesal, wajah gadis itu bersemu merah menahan rasa kesah terhadap sang guru.
Bella terkekeh pelan, rutinitas hidup Rika adalah ditanya 'sudah shalat' oleh guru agama mereka. Bela sedikit berbeda dengan Rika, gadis itu terkenal lebih
kalem walau dia dan Rika sama-sama tidak memakai hijab. Tapi reputasi Bela di sekolah dikenal baik oleh para guru. Sementara Rika, dia bukan jenis
cabe-cabean yang kalau ke sekolah memakai baju crop dengan rok yang sengaja dibuat span dan tentunya ketat.
Dia sama seperti murid lain, memakai seragam yang sopan dan rapi. Gadis itu juga tidak pernah berurusan dengan BK, karena dia tidak pernah melanggar aturan sekolah. Namun karena mulutnya yang ceplos, guru-guru sering naik darahtiap kali berurusan dengan Rika.
Dia hanya gadis keras kepala yang tersesat oleh masa lalunya.
"Ya…ketawa aja terus Bel, hidup gue emang
pantas untuk di ketawain." Sinis Rika kemudian.
Bella kemudian menghentikan tawanya, lalu berdehem "Sorry, gue cuman gak tega sama lo. Tiap hari uring-uringan terus cuman karena di tanya
udah shalat atau belum. Lo tu udah gede Ka, lo udah wajib untuk shalat bahkan lo udah gak boleh lagi ninggal-ninggalin shalat. Dosa tanggung sendiri."
Dia tahu, Rika tidak akan mudah untuk merubah
pola pikirnya apalagi kalau hanya lewat ucapan, itu sama saja dengan omong kosong. Tapi apalah daya, sebagai umat muslim kita hanya bisa menasehati dan
mencegah pada kemungkaran, tidak bisa memaksakan.
"Lo lama-lama udah kayak anak Bu Hana tahu gak. Gue tahu itu semua.”Jawabnya.
“Tapi hati gue masih gak nerima untuk gue ajak shalat."
Bela lagi-lagi prihatin, mungkin sebagian orang menganggap Rika adalah bad girl yang harus dijauhi. Tapi jika mereka tahu lika- liku perjalanan
hidupnya, maka semua celaan itu tidak pantas untuk dilambungkan pada sahabatnya. Maka dari itu, Bela dengan setia menjalin persahabatan itu meskipun dia kerap kali harus merasakan semburan amarah dari Rika lantaran ditanyain 'sudah shalat atau belum' oleh sang guru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments