Kilas 8

Semilir angin berhembus manja. Menerbangkan helaian hijab berwarna biru dongker yang kini dipakai oleh seorang gadis yang tengah menyeruput satu cup minuman Boba, yang baru saja dia dapat dari Helen, si sahabat bermuka datar.

Pohon-pohon cemara lengkap dengan hamparan rumput luas ditemani warna-warni bunga yang merekah di sepanjang jalan setapak di Taman Anggrek, membuat siapapun yang memandangnya akan merasa tenang.

Taman Anggrek, biasa orang-orang menyebut tempat itu. Masyarakat baik yang kecil, remaja, sampai yang tua pun turut menghiasi kenyamanan dari taman tersebut.

Ditengah taman terlihat sepasang orang tua muda yang tengah mengajari anak balita mereka berjalan, sambil bertepuk tangan ria seolah menyemangati setiap langkah dari si buah hati. Sedangkan di sudut taman, tempat terpencil dan tersudut di taman itu terdapat pasangan muda mudi yang belum halal sedang berpegangan tangan, bercanda ria sambil yang laki-laki menyubit mesra pipi si perempuan belum lagi si perempuannya yang bergenit-genit manja sambil menepuk-nepuk pundak laki-laki dengan gaya slow motion. Pemandangan biasa di bumi ini.

Kaira. Gadis dengan hijab dongker itu mengamati setiap perubahan raut wajah dari para sahabatnya seolah ada hal dari mereka yang ingin ditanyakan. Namun tertahan lantaran masih ragu.

"Kalian berdua mau ngomong apa sih? Dari tadi muka kalian itu kayak maling ayam tahu gak? Cemas-cemas alay!" Sinis Kaira sambil menyipitkan matanya.

Dua sahabatnya itu kemudian saling pandang seolah berkata" Lo aja yang ngomong!" Begitu terus sampai Kaira yang berada di hadapannya di buat jengah.

"To the point! Ada apa?" Cup minuman milik Kaira pun sudah tandas isinya, dilemparkan cup kosong itu ke dalam tempat sampah yang letaknya tak jauh dari tempat duduk mereka. Seraya menatap balik ke arah dua sahabatnya yang kini sudah memasang raut biasa.

"Masalah kak Amar. Ada yang mau gue tanyain ke lo." Helen mengambil alih pembicaraan, mewakilkan Alia yang kini menganggukkan kepalanya setuju.

Kaira terdiam sejenak, topik itu sama sekali tidak pas untuk dibicarakan saat ini. Kenyamanan sore hari ini akan musnah lantaran ia akan menceritakan lagi cerita masa lalunya yang gelap.

Bukan gelap, namun begitulah pandangan dari sisi Kaira. Dia merasa kejadian itu sungguh kejadian yang kelam yang sulit sampai saat ini untuk dia lupakan. Sampai-sampai sahabatnya pun dibuat jengah karena sifat dendam tak berbukti itu.

"Apa alasan lo meng-klaim kak Amar sebagai pelaku dalam peristiwa yang menimpa Bunda lo?" Satu pertanyaan lolos keluar dari bibir Helen. Gadis itu menatap selidik Kaira yang dibuat termangu lantaran pertanyaannya yang tidak disaring lagi.

Hening sejenak, si penjawab sangat sulit untuk menjelaskannya. Hatinya menolak untuk menjelaskan namun pikirannya memburu untuk segera menjelaskan. Tapi yang ada, Kaira hanya menghela nafas berat kemudian tatapannya beralih ke Helen tepat di manik mata gadis itu.

"Gak ada peluang lain selain dia pelakunya. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri."

Mendadak hawa damai yang tadi sempat mereka rasakan berganti menjadi perasaan tegang dan tidak mengenakkan lantaran topik yang di pilih terlampau berat.

Sementara Helen, otak gadis itu dipaksa bekerja lebih cepat. Opininya selalu mempan menembus setiap prasangka yang keluar dari bibir Kaira. Setelah sadar, gadis itu-Helen kembali bertanya.

"Lo yakin di ruangan itu cuma Kak Amar sendirian? Gak ada pasien lain selain dia?" Boom! Kaira jadi kikuk. Benar juga, diruangan itu memang hanya Amar sendirian yang sedang terbaring di atas bangsal rumah sakit. Tetapi kata dokter, sebelumnya ada dua pasien yang berada disana. Lantas kemana pasien yang satunya lagi?

Namun, demi menegaskan opininya pada Helen, gadis itu, Kaira menggelengkan kepalanya mantap.

"Nggak! Cuma dia sendirian! Bang Aga juga lihat kalo cuma dia yang ada di ruangan itu!" Tegasnya sekali lagi.

Alia yang sedari tadi hanya diam pun tak berkutik untuk menyela pembicaraan mereka berdua. Dia tahu, topik ini sangat sulit untuk dibahas dan kemungkinan akan sangat sulit pula untuk dilupakan.

Wajah Kaira terlihat sekali menahan kesal, coba bayangkan! Seakan-akan para sahabatnya tidak percaya dengan omongan Kaira selama ini. Tepat saat itu pula, seseorang datang menghampiri meja mereka lengkap dengan pakaian olahraga yang dia pakai sore ini.

Dia. Topik yang sedang mereka bahas.

"Lagi pada ngumpul ya? Enak banget kalian pada kompak mau joging disini. Lah si Farga sama Rian mereka pada sibuk ngejodoh-jodohin kucing mereka. Kasian tu kucing gak bisa milih pasangan hidupnya sendiri." Lelaki itu Amar. Dengan manis dia menyapa tanpa perduli omongan mengenai sahabatnya yang tidak mau ikut cuma gara-gara urusan 'menjodohkan kucing' itu terdengar konyol di telinga Kaira dan teman-temannya.

"Bye the way, kalian lagi bahas apa? Dan oh ya Kai. Ada yang mau gue tanyain ke lo." Pinta Amar pada Kaira seraya menunjuk meja lain yang berada tidak jauh dari tempat duduk mereka tadi.

Bosan karena terus menerus disalahkan oleh Helen, akhirnya Kaira mengangguk setuju dan berjalan duluan ke meja yang ditunjuk Amar tadi.

"Gue pinjam dia dulu ya, gak papa kan?" Kata Amar.

Alia menggelengkan kepala tanda tidak keberatan, disusul senyuman dari Helen yang berarti dia juga tidak keberatan. Setelah itu, Amar bergegas berjalan ke tempat posisi Kaira.

Tempat yang strategis untuk membicarakan topik pembicaraan mereka kali ini, di belakang gedung namun tidak terlalu menyudut sehingga tidak terkesan seperti orang memojok.

"Mau ngomong apa?" Ucap Kaira sesaat mereka telah sampai di balik bangunan berwarna orange itu.

Amar berdehem. Mencoba untuk menetralkan suaranya agar tidak terdengar kasar. Se-penasarannya ia pada masalah antara dia dan Kaira, Amar akan tetap menjaga image-nya agar tidak dinilai kasar oleh lawan jenis.

"Kenapa lo sebenci itu ke gue?" Satu pertanyaan itu meluncur bebas dari mulutnya. Kaira mengangkat kepala untuk melihat ekspresi dari cowok itu.

Datar dan tidak berekspresi. Tangannya ia letakkan disamping kanan dan kiri pinggangnya.

"Kenapa lo marah tiap ketemu gue?" Dagunya mengarah ke Kaira.

"Lo tu selalu buat gue bingung. Omongan lo tu seakan, gue pernah hancurin hidup lo. Padahal gue-"

"Ya! lo emang udah ngancurin hidup gue!" Tangkas Kaira cepat. Emosi itu kembali lagi mengusai tubuh Kaira. Nafasnya tidak teratur. Sungguh! Gadis itu sangat marah sekarang.

"Hidup gue yang semula indah. Berubah jadi datar." Ucapnya dengan suara lemah. Kepalanya tertunduk menatap rumput hijau yang berada di bawah sepatu putihnya.

"Plis jangan mulai. Gue harus bisa nahan!"

Namun sayang, air mata itu tidak dapat lagi ditahan. Dalam diam Kaira mencoba untuk mengatur nafasnya yang sudah benar-benar kacau.

Gadis itu meresapi setiap terpaan angin yang menerbangkan bagian belakang jilbabnya. Berharap emosi itu akan ikut bersamaan dengan helaan angin-angin sore. Suasana sore yang harusnya tenang namun harus diakhiri dengan pertumpahan air mata.

"Kenapa?" Setelah jeda beberapa menit. Amar kembali bertanya. Kini ia tidak akan membiarkan Kaira lepas sebelum menceritakan semua detail masalah itu. Sudah terlanjur penasaran ternyata cowok ini.

Kaira memantapkan kembali hatinya. Ya! Amar harus tahu sekarang kenapa dia bisa sebenci itu. Tidak ada lagi waktu, ini adalah momen yang pas untuk Kaira melepaskan seluruh emosinya.

"Gue ingat betul saat itu. Bulan dimana musim hujan datang. Gak biasanya Bunda telat jemput. Paling sekitar sepuluh menit aja dia terlambat." Jeda cukup lama.

Kaira menarik nafas pelan, sebelum melanjutkan kembali "Tapi nggak untuk saat itu. Sudah satu jam gue nunggu, dibalik kaca jendela kelas yang udah kosong penghuninya. Gue sendirian, benar-benar sendirian. Bahkan Pak Syamsul yang notaben-nya satpam sekolah gue juga udah pulang." Kaira mulai bercerita. Sedikit demi sedikit ia keluarkan, sambil kembali mengingat peristiwa perih yang ia rasakan dulu.

Amar memasang telinganya baik-baik. Mencoba mendengar lebih tajam setiap kata yang diucap Kaira.

Kaira membuang nafas perlahan, kemudian menghirup kembali.

"Udah berulang-ulang gue coba nelfon bunda, cuman suara operator yang ngejawab. Disitu perasaan gue udah kacau! Ada perasaan gak enak ke Bunda." Kaira memejamkan matanya. Air mata itu luruh membasahi bagian pipinya. Kaira kembali diam, ia membiarkan air mata itu mengalir bersamaan dengan amarah yang selama ini ia pendam.

"Gue memutuskan untuk keluar sekolah. Biar hujan! Gue gak perduli! Yang penting gue bisa lihat mobil bunda datang." Suaranya terdengar parau, rasa sedih itu sangat sulit ia lupakan. Tubuhnya mulai bergetar. Telah banyak ia keluarkan air mata untuk kembali menceritakan masa lalunya.

Kaira menghapus sisa air matanya kasar. Baru kali ini ia membiarkan orang lain melihatnya menangis, di depan orang yang dia benci pula!

Gadis itu menatap Amar. Tanpa satu pun suara ia keluarkan. Pikirannya berkecamuk antara benci dan sedih. Namun gadis itu hanya diam memandang Amar yang juga memandangnya iba.

Sesaat, kaira mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gadis itu menggigit bagian bawah bibirnya. Berharap luka yang ada di hati ini bisa berpindah pada bibirnya saja.

"Baju gue basah. Gue terus berdoa supaya Bunda gak kenapa-kenapa di jalanan dan tiba-tiba handphone gue bunyi!" Nada Kaira berubah riang, senyum pun menghiasi bagian pipinya yang sudah memerah. Namun bukan senyum bahagia, melainkan sebuah perasaan kecewa yang sudah lama ia bendung.

"Ada nama bunda disitu. Gue seneng, gue langsung angkat itu telfon. Tapi anehnya, bukan suara Bunda yang nyahut." Suara Kaira kembali tertahan.

"Itu suara dokter rumah sakit. Dia bilang bunda kecelakaan. Mobil yang dibawa hancur. Disitu gue udah gak sanggup berdiri. Gue jatuh! Handphone gue masih nyala. Pikiran gue mendadak kosong. Gue nangis! Hati gue itu rasanya kayak ditarik-terus dihempas ke lantai. Gak bisa gue tahan rasa sakit itu." Kaira berhenti sejenak. Volume suaranya bertambah membuat orang yang ada disekitar menatapnya aneh.

Seakan Amar telah melakukan pelecehan terhadap Kaira dan Kaira berang akan hal itu.

"Gak lama abang gue nelfon, dan selanjutnya gue di jemput dan di bawa kerumah sakit." Kaira menutup wajahnya dengan tangan. Menyembunyikan isaknya yang tak berujung.

Amar yang sedari tadi mendengar, ikut merasakan kesakitan gadis yang salama ini ia kira kuat. Nyatanya, gadis itu jauh lebih rapuh. Dia juga baru tahu kalau gadis yang saat ini dihadapannya sudah tidak lagi memiliki ibu.

Cowok itu tidak ada niatan untuk menghentikan tangis Kaira. Ia membiarkan Kaira menangis sejadi-jadinya.

Lama Amar menunggu, gadis itu sudah kembali mengangkat wajahnya. Matanya sembab, hidungnya merah, jilbab yang ia kenakan pun sudah tidak berbentuk lagi. Dan syukurnya tangisnya sudah mereda.

"Dan lo mau tau kenapa gue benci banget setiap Lo di dekat gue?" Gadis itu telah kembali ke mode awal. Wajah dan suaranya yang datar. Aura kebencian itu kembali melapisi tubuhnya.

"Benar kata gue. Dia punya dua kepribadian."

"Bunda kecelakaan karena menghindari anak sekolah yang kebut-kebutan di antara persimpangan gagak dan merpati."

Dahi Amar berkerut. Kaitan dengan dirinya apa?

Semua asumsinya tak ada yang keluar. Hanya diam menunggu Kaira melanjutkan kalimatnya.

Kaira tertawa sinis. Sudah dikode dan dia tidak merasa? Heh! Sudah lupakah?

"Dan orang itu, lo kan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!