Jam pulang sekolah adalah momen yang paling dinanti. Ada yang langsung dijemput orang tua, ada yang buru-buru memesan ojek online, pulang bareng teman naik motor, naik bus dan tak sedikit yang naik angkot.
Meski terlihat sederhana, perjalanan pulang bisa jadi bagian paling seru dalam sehari. Terutama kalau naik angkot. Angkot menjadi pilihan Dalian dan Chelsey sore ini. Mungkin bukan moda transportasi paling nyaman, tapi ada semacam ketenangan yang hanya bisa ditemukan di balik kursi panjang yang bergoyang, suara mesin tua yang berdengung pelan, dan jendela tanpa kaca yang membiarkan angin sore masuk tanpa permisi.
Angkot mulai berjalan, dan obrolan mereka terhenti saat suara pintu angkot terbuka lagi. Karel naik dengan napas sedikit tersengal, membawa tas yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya.
"Elo lagi?" Dalian melirik Chelsey. "Kayaknya kita nggak bisa lepas dari dia." Sinis Dalian.
Karel langsung tersenyum lebar begitu melihat mereka. "Kebetulan banget ketemu kalian di sini! Tempat duduk favorit gue di angkot nih," katanya sambil duduk di bangku depan mereka.
"Serius, Karel?" tanya Chelsey sambil menahan tawa. "Elo punya tempat duduk favorit di angkot?"
Karel mengangguk penuh semangat. "Iya dong! Kursi deket pintu ini strategis banget. Bisa keluar cepet kalau udah sampai."
Chelsey tertawa kecil. "Strategis buat apa? Takut ketinggalan bus jurusan ke dunia fantasi?"
Karel ikut tertawa. "Gue lebih takut kelewatan tempat turun, sih. Pernah sekali gue ketiduran, dan bangun-bangun udah di ujung kota."
Dalian menggeleng, "Aneh lu!"
Karel menoleh, tampak serius sejenak. "Aneh dalam artian keren atau unik?"
Chelsey menyela sambil tersenyum jahil. "Elo lucu, haha. Kita nggak nyangka elo bisa jadi hiburan."
Karel pura-pura cemberut. "Hiburan? Jangan-jangan gue cuma pelengkap komedi buat kalian?"
Dalian menatap serius. "Nggak juga, lo bikin hari kita lebih seru kok."
Karel tersenyum puas. "Nah, itu baru namanya teman sejati!"
Obrolan ringan di angkot itu, meski receh, membawa kehangatan yang sederhana. Tapi di sudut hati Dalian, ia masih tak bisa mengabaikan perasaan aneh setiap kali melihat Karel. Seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum polosnya.
"Dalian, gue turun sini ya," ucap Chelsey.
"Oke, bye Chelsey. Ketemu lagi besok."
"Okei."
Setelah Chelsey turun di persimpangan, suasana di dalam angkot berubah hening. Hanya ada Dalian dan Karel, duduk berseberangan. Dalian menatap keluar jendela, memperhatikan pemandangan jalan yang berganti-ganti, namun pikirannya melayang entah ke mana. Keheningan itu terasa canggung, seolah-olah angkot membawa mereka ke dunia yang asing.
Karel, yang tadinya duduk dengan tenang, melirik Dalian dan mencoba mencairkan suasana. "Dalian, elo suka diem-diem kayak gini nggak biasanya, deh. Nggak kangen ngobrol receh?"
Dalian tersentak dari lamunannya, lalu menoleh dengan senyum kecut. "Nggak semuanya harus receh, Karel."
Karel mengangguk, berpura-pura bijak. "Bener juga sih. Tapi serius, lo tadi kayak mikirin sesuatu yang berat. Jangan-jangan mikirin... cowok?"
Dalian tertawa kecil, tapi lebih karena bingung. "Ngawur lo. Gue cuma lagi mikir aja."
Karel mengerutkan kening, pura-pura serius. "Oh, mikirin cowok beneran, ya?"
Dalian menatap Karel dengan ekspresi geli. "Lo tuh kenapa, sih? Kayaknya hobi banget nuduh orang suka sama siapa."
Karel tertawa kecil, tapi nada suaranya lebih lembut. "Biar nggak tegang aja, Dalian. Lo kayak lagi bawa beban berat."
Dalian menghela napas panjang, pandangannya kembali ke luar jendela. "Karel, menurut lo... orang bisa beneran lupa sama hal besar yang pernah mereka alami?"
Karel diam sejenak, lalu menjawab sambil menyandarkan punggung. "Mungkin. Tapi kadang bukan lupa, lebih ke pura-pura lupa. Kadang orang nggak siap buat ingat hal-hal tertentu."
Dalian menoleh, menatap Karel dalam-dalam. "Lo pernah pura-pura lupa?"
Karel tersenyum samar, senyum yang sulit diartikan. "Siapa tahu?"
Suasana kembali hening sejenak. Angin sore yang masuk melalui jendela membuat rambut Dalian berayun pelan, dan dia masih terjebak dalam rasa penasaran yang membelitnya.
Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Karel bicara, seolah dia tahu lebih dari yang dia tunjukkan.
"Eh, Dalian," Karel tiba-tiba berkata, mengubah topik dengan nada lebih ringan, "lo pernah nggak kepikiran kalau angkot ini sebenarnya mesin waktu?"
Dalian tertawa kecil, terkejut dengan pertanyaan absurd itu. "Mesin waktu? Seriusan?"
Karel mengangguk serius, tapi jelas-jelas bercanda. "Iya, siapa tahu pas kita turun, tiba-tiba udah ada di zaman dinosaurus."
Dalian menggeleng sambil tertawa. "Lo aneh banget, kocak lu."
"Makanya, jangan kebanyakan serius, Dalian." Karel menutup obrolannya dengan senyum. "Hidup udah cukup ribet, kita yang muda-muda harus lebih santai."
Dalian menatap Karel sejenak, lalu tersenyum tulus. Untuk pertama kalinya sejak pagi, dia merasa sedikit lebih ringan.
Lalu Dalian bertanya, "rumah elo mana sih?"
Karel menjawab, "deket kok."
"Deket mana? Kok nggak turun-turun?"
"Nanti juga tau."
Dalian cemberut sekaligus kesal. Sehingga membuat Karel tertawa kecil melihat sikap Dalian yang mudah sekali kesal.
Angkot berhenti.
Dalian melangkah turun dari angkot, menghela napas panjang, lega akhirnya bisa keluar dari suasana canggung yang tadi menyelimuti. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar langkah kaki lain di belakangnya.
Karel.
Dia juga turun.
Dalian menoleh dengan alis terangkat, menatap Karel yang masih dengan senyum konyolnya. "Loh, lo ikut turun juga?" tanyanya, curiga.
Karel mengangguk santai, memasukkan tangan ke saku celana. "Iya dong."
Dalian menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. "Bukannya tadi lo bilang rumah lo deket? Ini jauh banget dari perumahan, deh."
Karel tertawa kecil, mengangkat bahu seolah tidak ada yang salah. "Deket kok... deket sama hati lo."
Dalian menepuk dahinya, antara kesal dan geli. "Ih, gombalan receh banget! Lo tuh aneh, ya."
Karel tersenyum lebar. "Aneh kan seru."
Dalian mendengus, lalu melanjutkan langkahnya, berusaha tak peduli. Tapi Karel tetap mengikuti dari belakang, membuat Dalian semakin merasa risih.
"Kenapa sih lo ngikutin gue? Lo nggak punya arah pulang, ya?" Dalian menoleh dengan kesal, kedua tangannya di pinggang.
Karel pura-pura berpikir sambil menggaruk dagunya. "Mungkin... mungkin gue lupa arah pulang. Jadi gue ikut lo aja."
Dalian mendengus keras. "Gue bukan peta, Karel!"
Karel terkekeh, lalu menambahkan, "Tenang aja, Dalian. Gue nggak nyasar kok. Gue cuma pengen pastiin lo aman sampai rumah."
Dalian berhenti, menatap Karel dengan curiga. "Sejak kapan lo jadi bodyguard gue?"
"Sejak lo nggak sadar kalau dunia ini penuh bahaya," jawab Karel sambil memasang ekspresi serius yang jelas-jelas bercanda.
Dalian akhirnya tidak bisa menahan tawa. "Lo tuh, ya... ngeselin banget."
Karel mengangkat bahu. "Tapi lo senyum, kan?"
Dalian menghela napas panjang, tetapi senyum kecil tetap tersungging di wajahnya. "Udah deh, sana pulang. Gue nggak perlu bodyguard."
Karel berhenti, menatap Dalian yang mulai menjauh. "Oke. Sampai ketemu lagi, ya!"
Saat Dalian berjalan lebih jauh, dia melirik ke belakang dan melihat Karel melambaikan tangan, senyum lebarnya masih sama. Meski risih, entah kenapa kehadiran Karel tidak terasa seburuk yang ia kira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Afi Afifah
Ini antara jokes atau hidden concern 🤔🤔
Karel tuh kayak badut kelas yang sebenernya protektif. Biasanya cowok kayak gini yang diam-diam paling serius kalau lo kenapa-kenapa. ❤❤
2025-04-11
0
Afi Afifah
Kode keras!!! Kalau cewek jawab begini, artinya dia mikirin banyak hal tapi males ngejelasin. Cowok yang ngerti pasti peka. Karel, kamu lolos satu poin. Pepet teruss!!
2025-04-11
0
Afi Afifah
Aww, ini manis tapi juga kayak red flag kalau cowoknya mulai merasa dia “hanya pelengkap” lucu. 😑😑
Hati-hati, Dalian… kadang yang kayak gini diam-diam nyimpen perasaan.
2025-04-11
0