Hanna menghela nafas panjang, menghirup udara yang sangat sejuk hari ini. Sebenarnya panas sangat menyengat karena ini Negara tropis, tapi karena ini adalah Negara tanah kelahirannya, pulang kampung adalah sesuatu yang sangat dirindukan meskipun negera-negara yang dikunjunginya bersama Damian sangat indah.
Mobil terus melaju memasuki sebuah rumah mewah, dikawasan elit ibu kota.
“Apakah ini rumahmu? Waah besar sekali… Siapa saja yang ada disana?” tanya Hanna, menatap rumah besar itu. Tidak ada jawaban dari Damian.
“Kenapa kau jarang sekali menjawab pertanyaanku?” tanya Hanna.
“Kau akan tahu sendiri nanti,” jawab Damian.
“Nah begitu. Bisakah kau membiasakan menjawab jika aku bertanya?” Hanna menoleh pada Damian.
“Tidak ada kewajibanku untuk menjawab,” jawab Damian dengan ketus, dia tidak suka basa basi. Membuat Hanna mencibir mendapat reaksi Damian seperti itu.
Akhirnya mobilpun berhenti di halaman rumah yang luas.
“Ayo turun,” kata Damian, sambil membuka sabuk pengamannya, diapun turun.
“Tunggu, tunggu,” cegah Hanna, membuat Damian menoleh.
“Kau belum memberitahuku aku harus bersikap bagaimana di depan keluargamu?” tanya Hanna.
“Biasa saja. Seperti istri pada suaminya,” jawab Damian, diapun menutup pintu mobil.
“Seperti istri pada suaminya? Maksudnya apa? Mesra mesra begitu? Enak saja. Sudah dia memelukku tiap malam, sekarang harus bermesra-mesra? Ah tidak bisa!” protes Hanna, sambil keluar dari mobil, kemudian berlari mengejar Damian yang sudah menaiki tangga rumahnya.
“Damian! Tunggu!” teriak Hanna.
“Apa lagi?” tanya Damian dengan kesal, menghentikan langkahnya menatap Hanna.
“Aku tidak mau mesra-mesraan denganmu. Aku menolak,” ucap Hanna dengan serius.
Damian mengerutkan keningnya, menatap wanita yang bersamanya berhari hari ini.
“Bermesra-mesraan apa maksudmu?” tanya Damian.
“Tadi kau bilang aku harus bersikap seperti istri pada suaminya. Aku tidak mau bermesra mesraan denganmu,” kata Hanna.
“Memangnya siapa yang mau bermesraan denganmu? Aku minta kau bersikap wajar sebagai istri pada suaminya, bukan bermesraan,” gerutu Damian, dengan ketus, lalu kembali berjalan.
Hanna terdiam, kembali mencerna perkataan Damian. Sikap wajar istri pada suami apalagi selain bermesraan? Dia benar-benar aneh, mengatakan sesuatu yang tidak jelas, fikir Hanna.
Dilihatnya Damian sudah sampai di pintu rumahnya, seseorang membukakan pintu besar itu. Seorang pria yang berumur tapi tampak masih sehat dan bugar, menyambut Damian dengan ramah.
“Selamat datang pak Damian,” sapa pria itu, matanya melirik pada Hanna yang kembali berlari menyusul Damian.
“Ini istriku, Hanna,” jawab Damian pada pria itu. Tangan Damian, menyentuh pinggang Hanna, menariknya lebih dekat kesisinya, membuat Hanna kaget dan gugup. Bukankah tiap malam dia memeluk pria itu? Tapi tidak dengan sadar. Mendapat perlakuan hangat dari Damian saat sadar seperti ini membuat jantungnya seperti akan berhenti.
“Sayang, ini pak Wardi, dia kepala pelayan disini. Jika perlu apa-apa kau bisa minta bantuannya,” kata Damian, memperkenalkan pak wardi pada Hanna yang langsung mengulurkan tangannya pada pak Wardi, mengajak bersalaman.
“Hanna,” ucap Hanna.
“Saya Wardi Bu, kepala pelayan dirumah keluarga besar Pak Aji, ayahnya pak Damian,” balas pak Wardi, menerima uluran tangan dari Hanna yang tersenyum hangat pada pria itu.
“Nyonya sudah menunggu di dalam,” kata pak Wardi. Damian mengangguk, diapun langsung masuk ke rumah diikuti Hanna, yang langsung takjub melihat isi rumah itu.
“Rumahmu besar sekali?” gumam Hanna, memandang sekeliling ruangan yang penuh dengan perabotan yang terlihat sangat mahal.
“Jangan Norak,” ucap Damian, tanpa menoleh.
Seseorang muncul dari sebuah pintu besar.
“Kau sudah datang?” tanya sosok yang muncul itu. Hanna menoleh pada suara itu, menatap wanita yang kini ada dihadapan mereka. Sepertinya dia pernah melihat wanita itu tapi dimana? Diapun melirik pada Damian.
“Ini ibu tiriku, Nyonya besar Sofia,”ucap Damian pada Hanna, dengan nada penekanan ejekan. Hanna langsung tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya pada ibu tiri Damian itu. Tapi Hanna tersentak kaget saat Damian menepis tangannya Hanna.
“Tidak perlu ramah padanya, dia hanya istri dari ayahku yang sudah meninggal,” kata Damian dengan ketus. Hanna hanya terdiam melihat reaksi Damian begitu. Sepertinya hubungan Damian dengan ibu tirinya sangat tidak baik.
“Terserah kau mau bicara apa. Tapi kita perlu bicara untuk persiapan resepsi pernikahanmu,” kata Nyonya Sofia, lalu menoleh kearah pak Wardi.
“Pak Wardi!” panggil ibu tiri Damian itu.
“Ya Nyonya besar,” jawab pak Wardi, buru-buru menghampiri mereka.
“Kapan WO nya datang?” tanya ibu tiri Damian itu.
“Mobilnya sudah ada di depan Nyonya,” kata pak wardi.
“Suruh masuk ke ruang tamu,” kata Ny. Sofia.
“Baik Nyonya.” Pak Wardi kembali keluar rumah, menyambut tamu WO yang baru tiba.
Nyonya Sofia berjalan menuju ruang tamu diikuti Damian dan Hanna. Mereka duduk di sofa-sofa besar yang empuk. Begitu mendudukkan pantatnya di kursi itu, rasanya Hanna langsung ingin berbaring disitu, sepertinya sangat nyaman tidur di sofa yang empuk itu. Kenapa dia hanya memikirkan tidur terus? Tentu saja, tiap malam menunggui Damian tidur sangat membuatnya kurang tidur.
Dua orang pria dan wanita memasuki ruang tamu bersalaman dengan Nyonya Sofia, kemudian pada Damian dan Hanna.
“Mereka Bima dan Andini, yang mengurus resepsi kalian,” kaya Nyonya Sofia.
Bima dan Andini tersenyum ramah pada Damian dan Hanna.
“Apa jadwal hari ini?” tanya Nyonya Sofia.
“Mungkin kita harus tahu dulu konsep yang diusung buat resepsi dulu. Pak Damian dan bu Hanna mau konsep seperti apa?” tanya Bima, menoleh pada Damian.
Damian menoleh pada ibu tirinya.
“Bukankah aku sudah katakan, aku tidak mau ribet soal ini,” kata Damian.
“Sebenarnya konsepnya sudah ada, aku hanya ingin tahu saja apa kau punya keinginan yang lain? Atau mungkin istrimu? Bahkan aku tidak tahu nama istrimu,” kata Ny,Sofia, menatap Hanna.
“Namaku Hanna, Nyonya,” jawab Hanna.
“Kau bisa memanggilku ibu mertua,” kata Ny.Sofia dengan datar, mungkin dia juga terpaksa harus mengatakan itu.
“Baik ibu mertua,” jawab Hanna, sambil melirik pada Damian, yang diam saja.
Nyonya Sofia menolah pada Bima dan Andini.
“Kita ke konsep awal saja. Jadi jadwalnya apa?” tanya Ny.Sofia.
“Kita akan fitting dulu pakaian untuk pemotretan. Meskipun ini hanya resepsi tanpa acara pernikahan, tapi kita tetap membutuhkan foto foto pernikahan yang akan kita pasang di beberapa suduh gedung nanti. Barangkali pak Damian punya foto foto pernikahan yang sudah jadi dan ingin ditampilkan, bisa kita lihat,” kata Andini.
Damian berdehem. Foto pernikahan apa? Menikah juga tidak.
“Foto-fotonya teringgal di pulau. Kita buat foto baru saja atau tidak usah pakai foto,” kata Damian.
“Tapi kurang bagus kalau resepsi tidak ada foto pernikahannya. Kita buat foto baru saja,” ucap Bima.
“Ya terserah kalian saja,” kata Damian.
“Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau kita langsung ke studio, kita juga sudah menyiapkan pakaian pakaiannya. Nyonya Sofia sudah memberikan ukuran pakaian anda dan istri,” kata Bima lagi.
“Iya, sekali melihatnya di acara itu, aku sudah tahu ukuran pakaian istrimu,” kata Ny.Sofia.
“Baiklah,” kata Damian, dia melirik pada Hanna yang tampak mengantuk, tidak menyimak apa yang mereka bicarakan. Duduk di kursi empuk itu benar-benar membuatnya mengantuk dan ingin tidur.
Damian memeluk bahu Hanna yang langsung tersadar dari mengantuknya, dia melirik pada Damian.
“Kita ke studio foto,” ucap Damian pada Hanna, dia sudah bisa membaca kalau Hanna tidak memperhatikan pembicaraan mereka malah mengantuk.
“Iya, baiklah,” jawab Hanna.
Akhirnya Damian dan Hanna pergi ke studio foto bersama Bima dan Andini.
“Apa kau tidak bisa konsentrasi sedikit?” tegur Damian, saat sudah di dalam mobil.
“Maaf aku mengantuk,aku kurang tidur semalam,” ucap Hanna, sambil menguap terus.
“Memangnya kau tidak bisa ikut tidur saja daripada terus memandangiku setiap tidur?” tanya Damian, sambil melajukan mobilnya, mengikuti mobil Bima dan Andini yang ada didepannya.
“Tidak, aku tidak bsia tidur dipeluk orang asing. Aku harus waspada jangan sampai kau melakukan pelanggaran,” kata Hanna.
“Bukankah kau ingin aku membuat pelanggaran supaya uangmu bertambah?” sindir Damian.
“Tidak, tidak, tega sekali kau bicara begitu,” Hanna menggeleng gelengkan kepalanya dan kembali menguap.
“Sudah jangan menguap lagi, kau membuat hasil fotonya menjadi jelek nanti,” gerutu Damian.
“Kenapa kau memikirkan itu? Kita ini kan bukan benar-benar pengantin. Fotonya tidak bagus juga tidak apa-apa,” ucap Hanna.
“Tidak bisa begitu. Apa kata tamu undangan nanti kalau fotomu jelek? Aku akan bilang pada Bima supaya fotonya di edit dulu supaya terlihat sempurna,” kata Damian.
“Apa maksudmu di edit? Apa mukaku sangat jelek sampai di edit segala?” gerutu Hanna, kemudian kembali menguap.
“Karena aku yakin hasil fotonya tidak bagus, apalagi kau menguap terus seperti itu. Sebaikmya kau tidur saja sekarang. Nanti sampai distudio aku bangnkan. Aku tidak mau harus membuat foto yang berulang ulang karena kau menguap terus dan membuat fotonya gagal,” kata Damian.
“Ya ya baiklah, aku tidur dulu, Huaapp,” Hanna kembali menguap, diapun memiringkan tubuhnya ke arah pintu, mencari posisi yang enak untuk tidur.
************
Bagaimana kisah selanjutnya?
Jangan lupa like dan komen ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Katherina Ajawaila
lucu thour cerita, 😇
2021-11-06
0
Ira Susi Lawati
Gimana kabar cincin nya? Perasaan belum di ulas lagi??
2021-11-06
0
Fadillah Ahmad
dialog dialog nya bagus, seperti Tokoh yang benar bener nyata dan hidup, aku suka, dialog yang natural seperti ini, keren...
2021-10-15
0