Mereka memasuki gedung megah tempat Damian akan melakukan pertemuan dengan koleganya.
Saat memasuki lobby, seseorang memanggil Damian.
“Damian, kau sudah sampai?” tanya seorang pria muda seumuran Damian tapi memiliki kulit kecoklatan, tidak seperti Damian yang memiliki kulit putih pucat.
“Hai Tommy,” balas Damian, merekapun bersamalam, juga dengan pak Indra.
“Kudengar kau sudah menikah,” ucapnya Tommy.
“Kufikir di luar negeri tidak akan sampai kabar itu,” ucap Damian, seakan berkeluh kesah.
“Tentu saja sudah jadi trending dimana-mana, semua teman-teman sudah tahu, mereka menanti undangan resepsi darimu. Kapan resepsinya? Masa kau menikah diam-diam di pulau, sangat disayangkan, berbagilah kebahagiaan dengan teman-temanmu,” ucap Tommy, menepuk bahu Damian. Lalu Tommy menoleh pada Hanna.
“Ini istrimu?” tanya Tommy.
Damian terpaksa mengangguk. Hanna mendelik pada Damian yang melengos pura-pura tidak melihat protes dari Hanna.
Tommy mengulurkan tangan bersalaman dengan Hanna, menatap Hanna lekat-lekat dari atas sampai bawah, hemm ternyata Damian lebih suka wanita local, dia fikir dengan rutinitasnya Damian ke luar negeri, temannya itu akan memilih istri orang luar.
“Aku menunggu di loby saja,” ucap Hanna.
Damian tidak menjawab, dia segera masuk lift bersama Tommy. Hanna memanggil pak Indra kemudian berbisik.
“Bolehkah aku meminjam uang? Aku lapar, aku juga ingin membeli sesuatu,” ucap Hanna. Entah kenapa perutnya terasa lapar karena tidur kelamaan. Damian maupun pak Indra samasekali tidak mengajaknya sarapan.
Pak Indra tampak mengerutkan keningnya.
“Nyonya tunggu di loby,” ucap pak Indra. Hanna mengangguk.
Kemudian pak Indra masuk ke lift mengikuti Damian dan Tommy, menuju lantai tempat diadakannya rapat.
Saat Damian mulai duduk di ruang rapat, tempatnya betemu dengan koleganya, pak Indra mendekatinya.
“Pak, Nyonya membutuhkan uang untuk membeli makanan,” jawab pak Indra. Membuat Damian terkejut. Uang? Untuk wanita itu? Diapun menatap wajah pak Indra, yang juga menatapnya. Tentu saja pak Indra tidak tahu kalau mereka bukan suami istri, pak Indra mengira kalau mereka hanya sedang bertengkar.
Damian mengeluarkan dompetnya, mengambil sebuah kartu dan diberikan pada pak Indra, dia juga menuliskan pin disecarik kertas.
“Terserah dia mau membeli apa,” ucap Damian. Pak Indra mengangguk dan mengambil kartu itu.
Hanna duduk di loby sambil melihat orang-orang yang berlalu lalang. Disana ada juga ruangan yang digunakan oleh perbankan, terlihat dari tempatnya duduk, banyak orang mengantri di teller, padahal atm juga ada di sebelah kanannya.
“Nyonya!” panggil pak Indra.
“Jangan panggil Nyonya, aku merasa lebih tua,” keluh Hanna.
“Bu Hanna,” ulang pak Indra.
“Ya itu lebih baik,” jawab Hanna, mengangguk angguk.
“Ini,” pak Indra memberikan kartu yang dari Damian.
“Apa ini?” tanya Hanna.
“Kartu ATM dari pak Damian. Anda bisa menggunakannya untuk apa saja,” jawab pak Indra.
“Aku kan meminjam uangmu, bukan pada pak Damian,” ucap Hanna.
“Maaf bu Hanna, Pak Damian kan suami anda, sudah sewajarnya kan?” kata Pak Indra. Hanna merenung, jadi Pak Indra benar-benar menganggapnya istri Damian.
“Ya, terimakasih,” ucapnya, sambil mengambil kartu itu.
“Baiklah, saya kembali ke atas,” ucap pak Indra.
“Iya, terimakasih pak Indra,” kata Hanna. Pak indra hanya mengangguk, lalu kembali menuju lift.
Hanna membolak balikkan kartu itu, tertulis sebuah bank. Diapun mengedarkan pandangannya pada atm yang berjajar. Dia membutuhkan uang tunai untuk membeli ini dan itu. Akhirnya dia menuju ATM itu. Dicobanya kartu itu, dan nomor pin yan tertulis dikertas yang dipegangnya.
Sejenak kemudian dia terbelalak. Apa dia tidak salah lihat? Dia hitung angka yang ada di atm itu. Satu dua tiga…ha…Damian memberikan atm dengan saldo milyaran rupiah! Apa pria itu sudah gila? Memberikan kartu dengan saldo begitu banyak pada wanita yang tidak dikenalnya, bagaimana kalau dia kabur? Tapi tidak, Hanna bukan wanita penipu seperti itu. Dia hanya mengambil secukupnya saja. Karena dia tidak memiliki tas, dia meminta kertas folio pada receptionis, dan menggulung uangnya dengan kertas itu.
Hari inipun digunakan Hanna untuk berbelanja tas,kosmetik dan handphone. Ya dia membutuhkan alat komunikasi.
Sore harinya dia kembali ke gedung perkantoran itu. Saat memasuki loby ada yang memanggilnya.
“Nyonya Damian!” panggil suara laki-laki. Hannapun menoleh kearah suara, ternyata supirnya Damian.
“Ada apa?” tanya Hanna.
“Saya akan mengantar anda ke Hotel. Pak Damian dan pak indra sudah ada disana,” kata supir itu.
“Oh ya, baiklah,” ucap Hanna mengagguk. Rupanya Damian sudah selesai meetingnya.
Diapun mengikuti supir itu menuju mobil Damian, yang segera meninggalkan gedung itu. Sesampainya di hotel yang dituju, pak Indra sudah menunggunya di loby.
“Nyonya! “ panggilnya.
“Bu Hanna, kami khawatir dengan keberadaan anda,” ucap pak Indra, mengulang panggilannya.
Hanna mengerutkan keningnya, khawatir? Dia tidak percaya.
“Pak Damian sudah menunggu di kamar 203,” kata pak Indra.
“Kamar 203? Kalau kamarku nomor berapa?” tanya Hanna.
Pak indra malah tertawa.
“Pengantin baru tidak baik terus terusan bertengkar,” ucap pak Indra. Membuat Hanna bengong. Pak Indra benar-benar mengira mereka sudah menikah, sampai sampai kamarpun hanya dipesankan satu kamar.
“Silahkan bu, saya antar,” kata pak Indra. Hanna mengangguk.
Sampailah mereka di kamar 203. Pak Indra mengetuk pintu kamar itu, terdengar suara dari dalam mempersilahkan masuk. Merekapun masuk.
Hanna melihat lihat kamar yang luas itu, terlihat sangat nyaman.
Tiba-tiba dia berteriak dan membalikkan badannya, saat dilihatnya Damian selesai mandi dan hanya menggunakan handuk kecil dipinggangnya.
Damian mengerutkan keningnya, ada apa wanita itu berteriak?
Pak Indra menyimpan kantong kantong belanjanya Hanna di atas sofa, dia hanya tersenyum melihat Hanna masih membelakangi Damian.
“Pak Indra kau mau kemana?” tanya Hanna.
“Saya tidur dikamar lain, Nyonya,” jawab pak Indra kembali menyebutnya Nyonya. Diapun keluar kamar dan menutup pintu kamar itu.
“Kau kenapa?” tanya Damian, kesal dengan sikap anehnya Hanna.
“Kenapa kau mempersilahkan orang masuk sedangkan kau hanya menggunakan handuk seperti itu?” tanya Hanna, masih memunggunginya.
“Memangnya masalahnya apa?” gerutu Damian, diapun menggunakan pakaiannya.
“Masalahnya apa katamu? Itu sangat memalukan!’ seru Hanna.
“Malunya dimana? Biasa saja,” jawab Damian.
“Kau bilang biasa saja? Biasa saja gimana? Kau hanya menggunakan handuk kecil,” keluh Hanna.
Damian tidak bicara apa-apa lagi, dia menyisir rambutnya.
“Apa kau sudah berpakaian?” tanya Hanna. Tidak ada jawaban.
“Kau sudah berpakaian belum?” tanyanya lagi lebih keras. Damian masih tidak menjawab, menurutnya menjawab hal hal yang sepele sangatlah tidak penting.
Dia melirik kantong kantong diatas sofa.
“Kau belanja apa?” tanyanya. Hanna berfikir pasti Damian sudah berpakaian, jadi diapun membalikkan badannya. Benar saja, pria itu terlihat tampan dengan baju casualnya.
“Aku membeli tas, ponsel dan kosmetik,” jawab Hanna, sambil mengeluarkan barang-barang itu.
Diapun mengeluarkan kartu ATM tadi.
“Ini aku kembalikan kartumu,” kata Hanna. Damian naik ke tempat tidur, duduk bersandar sambil memegang hpnya.
“Aku hanya menggunakan seperlunya dan sedikit uang. Aku juga sudah menuliskan jumlah uang yang aku ambil di atm mu,” kata Hanna, dia juga memberikan secarik kertas tanda penarikan saldo di ATM.
Damian mengacuhkannya, membuat Hanna kesal.
“Apa orang sepertimu tidak peduli pada orang lain? Aku bicara padamu, kau tidak pernah menjawab,” kata Hanna.
“Kau simpan saja kartunya,” kata Damian, akhirnya bicara itupun tanpa menoleh.
“Kau yakin? Ini saldonya milyaran rupiah,” kata Hanna. Damian tidak menjawab, membuat Hanna menyerah bicara dengan Damian. Diapun duduk di sofa.
“Kalau begitu bisa aku meminjamnya lagi untuk booking kamar yang lain? Disini pasti harganya sangat mahal,” kata Hanna, menatap Damian.
“Kamar lain untuk apa?” tanya Damian.
“ Tentu saja untuk kamarku,” jawab Hanna.
“Tommy tidur dikamar sebelah,” jawab Damian.
“Tommy yang temanmu itu?” tanya Hanna. Seperti biasa Damian tidak menjawab.
“Jadi bagaimana dengan nasibku?” tanya Hanna lagi. Damian masih diam, dia menyimpan ponsel disampingnya, merebahkan tubuhnya dan tidur.
Hanna hanya memberengut kesal. Ditatapnya pria yang sedang tidur itu. Pria itu benar benar memiliki kepribadian yang tertutup. Siapa sebenarnya dia? Sepertinya dia bukan orang sembarangan, fikirnya.
Hanna merebahkan badannya disofa sambil mencoba ponsel barunya, diapun mencoba link internet dan browsing. Dengan iseng dia mengetik kata Damian. Ternyata hasilnya diluar dugaan. Banyak article tentang Damian. Matanya terbelalak kaget. Ternyata dugaannya benar, dia seorang pengusaha kaya raya, harusnya dia bisa menduga saat dia memberi tumpanganpun Damian menggunakan mobil mewah. Karena waktu itu dia tidak memikirkan hal itu, yang dia fikirkan bagaimana bisa pergi dari pernikahannya.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia malah bersama pria yang tidak dikenalnya.
Tiba-tiba terdengar suara mengigau.
“Jangan, jangan pergi! Jangan, jangan tinggalkan aku, jangan, jangan pergi,” ucap suara lirih di tempat tidur. Hanna menengok ke arah suara. Dilihatnya Damian mengigau dengan wajah pucat dan berkeringat, menggeleng gelengkan kepalanya.
Hannapun mendekatinya, mencoba membangunkannya.
“Damian! Kau mengigau!” ucap Hanna, tangannya menyentuh bahunya Damian.
“Jangan jangan pergi,” igau Damian, memegang tangan Hanna dengan kuat. Melihatnya seperti itu membuat Hanna kasihan. Dia mencoba membangunkannya, tapi tangannya malah ditarik Damian sampai dia jatuh dalam pelukan Damian.
“Jangan pergi, jangan pergi,” ucap Damian. Hanna akan bangun tapi pelukan Damian semakin kuat.
“Tidak, aku tidak akan pergi,” jawab Hanna.
“Jangan jangan pergi!” suara Damian semakin lirih.
“Tidak, tidak akan pergi,” ucap Hanna. Kini igauan Damian terhenti hanya saja pelukannya tidak juga dilepaskannya. Semenit dua menit, tiga menit, setengah jam, pelukan itu masih belum terlepas. Akhirnya Hanna tidur dalam pelukannya Damian.
Keesokan harinya terbangun, Damian terkejut saat sadar dia memeluk Hanna.
“Kau! Kenapa aku tidur bersamaku?” tanya Damian, pada Hanna yang juga baru bangun, mereka segera menjauhkan diri. Hanna buru-buru turun dari tempat tidur.
“Semalam kau mengigau,” ucap Hanna.
“Apakah ini sudah pagi?” tanya Damian lagi, sambil turun dari tempat tidurnya dan membuka jendela kamarnya, dia tersenyum. Hanna merasa heran, bukankah ini pertama kalinya dia melihat Damian tersenyum.
Diapun menoleh pada Hanna.
“Apa yang aku lakukan tadi malam?” tanya Damian.
“Kau hanya memelukku, kau mengigau terus,” jawab Hanna.
“Hanya memelukmu?” Damian memastikan, ada senyum di bibirnya.
Hanna mengangguk.
“Apakah kau mau bekerja untukku?” tanya Damian, mengejutkan.
“Bekerja? Bekerja apa?” Hanna balik bertanya.
“Aku akan membayarmu mahal jika kau mau,” jawab Damian.
“Apa itu?” tanya Hanna, penasaran, pekerjaan apa yang bayarannya mahal.
“Apa kau mau menemaniku tidur?” Jawab Damian, tidak ragu-ragu.
“Apa? Menemani tidur? Tidak, aku tidak mau. Aku bukan wanita seperti itu,” tolak Hanna. Wajahnya langsung ditekuk masam.
********************************
Jangan lupa like dan komen ya.
Baca juga karya author yang lain, “My Secretary” sudah masuk season ke dua My Secretary 2( Love Story in London).
Happy Reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 268 Episodes
Comments
Anizannex
ternyata 11 12 sama Jack 🤩🤩
2021-11-02
0
Kisti Siti
🤔🤔🤔
2021-11-01
0
Fadillah Ahmad
Hallo kak, aku pembaca baru di sini, menurut ku cerita nya menarik dan sangat bagus, sukses terus ya kak
2021-10-13
0