LPDA 6

Ranu menjerit dan tubuhnya terjun bebas ke dalam jurang yang tidak diketahui kedalamannya.

Bagi penduduk desa Karangasri, jurang tersebut adalah jurang yang sangat angker. Entah sudah berapa orang yang menghilang ditelan jurang angker itu, dan tidak ada satupun yang berani untuk turun ke dasar.

"Bocah itu jatuh ke dalam jurang.

Ayo kembali!" ucap salah seorang yang tadi mengejar Ranu.

"Tampaknya dia sudah pasti mati!" balas lelaki lainnya.

Kedua anggota perampok itu kemudian berlari menuju dusun Karangasri yang sudah menjadi ajang pembantaian dan pemerkosaan kelompoknya.

Sementara itu, tubuh Ranu terus melayang turun hingga mendarat dengan keras di dasar jurang. Tubuh pemuda yang bernasib naas itu tidak bergerak lagi.

Entah sudah tewas atau pingsan.

Keesokan harinya, seorang lelaki tua bertubuh pendek dan berambut panjang tidak terawat berjalan mendekati tubuh Ranu yang tengkurap pingsan. Dari mulut, hidung, mata dan kuping pemuda tersebut keluar darah yang sudah mengering.

Lelaki tua itu kemudian memeriksa keadaan Ranu dan melihat luka terbuka lebar di punggungnya. Dia lalu memeriksa pergelangan tangan kiri pemuda yang ditemukannya tersebut untuk memeriksa apakah masih hidup atau sudah mati.

Dahinya tiba-tiba mengernyit keheranan, "Nadinya sangat lemah sekali, seharusnya bocah ini sudah mati setelah terjatuh dari atas," ucapnya seraya mendongakkan wajah.

Lelaki tua bertubuh pendek tersebut kemudian mengangkat tubuh Ranu. Meski berfisik lebih kecil, nyatanya lelaki tua itu tidak telihat kesusahan sama sekali.

seolah-olah hanya membawa kapas dan membawanya masuk tubuh Ranu ke dalam sebuah gua lalu membaringkannya.

Hingga hari kelima berada di dasar jurang, Ranu belum juga siuman dari pingsannya. Lelaki tua tersebut semakin dibuat keheranan. Secara logika, seharusnya pemuda yang terbaring di hadapannya itu sudah mati.

"Sepertinya ada sesuatu yang menghendaki supaya anak ini tetap hidup," ucapnya dalam hati.

Lelaki tua yang juga penghuni dasar jurang angker satu-satunya itu menatap Ranu dengan bingung, sekaligus juga kagum dengan daya tahan tubuh pemuda tersebut.. Dengan hampir seluruh tulang sendinya patah akibat terjatuh dari atas, tapi ternyata Dewata masih memberi kehidupan.

Sudah berbulan-bulan Ranu mengalami mati suri. Selama itu pula, di saat lelaki tua tersebut tidak ada di dalam gua, tato ular merah di pergelangan tangan Ranu mengeluarkan sinar merah terang dan melingkupi seluruh tubuhnya.

Tepat di bulan ke sepuluh Ranu mengalami mati suri, lelaki tua tersebut menyeka seluruh tubuh Ranu dengan kain yang dibasahi.

Dia tiba-tiba dibuat terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Lelaki tua tersebut memandang heran tato bergambar ular merah di pergelangan tangan kanan pemuda yang diselamatkannya.

"Apa mungkin ini yang membuatnya tetap hidup?" ujarnya bertanya-tanya dalam hati.

Dia kemudian membuka pakaian pemuda itu dan lagi-lagi dikejutkan dengan jatuhnya kitab kuno yang disimpan Ranu di balik bajunya. Tangan keriputnya lalu meraih kitab bersampul merah yang jatuh di lantai gua.

"Jurus Dewa Api," bacanya pelan. Lelaki tua itu mengernyitkan dahinya membayangkan sesuatu.

Tiba-tiba, jari tangan Ranu bergerak-gerak dan kemudian mata pemuda itu pun terbuka.

"Ayah... Ibu..." hanya dua kata itu yang terlintas di pikiran Ranu.

"Kau sudah sadar anak muda."

Ranu menoleh pelan, tubuhnya terasa sangat sulit digerakkan karena terlalu lama diam tak bergerak. Dilihatnya sesosok lelaki tua sedang duduk di samping tersenyum kepadanya.

"Aku dimana?"

"Kau sekarang di tempatku, anak muda," jawab lelaki tua.

"Kakek siapa?" tanya Ranu lirih.

"Aku Surojoyo. Panggil saja kakek Joyo."

"Aku Ranu, Kek."

Ranu kemudian berusaha bangkit. Namun langsung dicegah Surojoyo. "Perlahan saja, Ranu! Tulangmu banyak yang patah." Surojoyo kemudian memeriksa tulang Ranubaya.Namun dia tidak merasakan ada satupun tulang Ranu yang patah seperti pertama kali dia menemukannya.

"Aneh sekali!" Surojoyo mengernyitkan dahinya keheranan. Dia kemudian membantu Ranu duduk.

"Tunggu sebentar di sini. Kakek ambilkan makanan untukmu." Lelaki tua bernama Surojoyo itu berdiri, lalu berjalan keluar dari gua.

Seperginya Surojoyo, Ranu mengingat kejadian yang dialaminya sebelum terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat punggungnya terluka parah terkena tebasan pedang. Tangannya kemudian meraba punggungnya, Namun tidak dirasakannya bekas luka apapun, punggungnya mulus seperti sedia kala.

"Aneh sekali!" Kali ini giliran Ranu

yang heran dengan keadaannya.

Dia masih belum bisa memahami

dengan kondisi tubuhnya yang

seperti tidak mengalami suatu

kejadian tragis.

Beberapa saat kemudian, Surojoyo sudah masuk ke dalam gua tersebut sambil membawa buah-buahan di tangannya.

"Makanlah ini dulu untuk mengisi perutmu!" ujar Surojoyo.

"Terima kasih, Kakek." Ranu meraih pisang di depannya lalu memakannya dengan lahap.

Seusai Ranu mengisi perutnya, Surojoyo kemudian mengajaknya berbicara. "Kenapa kau bisa terjatuh ke dalam jurang ini?"

Ranu memandang langit-langit gua sambil menerawang mengingat kejadian sebelum dia terjatuh ke dalam jurang.

Tak lama kemudian, dia mulai bercerita.

"Saat itu terjadi perampokan besar-besaran di kampungku, Kek. Ratusan perampok berbaju hitam dan memakai ikat kepala hitam datang menyatroni setiap rumah penduduk."

Ranu terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Surojoyo melihat kesedihan di mata pemuda yang diselamatkannya tersebut. Dia membiarkan saja dan tidak berusaha untuk bertanya terlebih dahulu.

Pemuda tanggung itu pun kemudian meneruskan ceritanya panjang lebar sampai saat dia sebelum terjatuh ke dalam jurang.

Surojoyo menghela napas berat.

"Tragis sekali ceritamu, Ranu," ucapnya.

"Apa kau ingin membalas dendam atas kematian kedua orang tuamu dan juga seluruh penduduk kampungmu?"

"Aku ingin sekali, Kek. Tapi apa daya, aku sudah dicap tidak bisa mempelajari ilmu kanuragan.

Pernah seorang tetua di Perguruan Elang Hitam memeriksa tubuhku. Katanya aku tidak punya bakat sama sekali, dan tubuhku ini tidak bisa menyimpan tenaga dalam."

"Dan kau percaya ucapan orang itu?"

Ranu mengangguk, "Tetua itu bagian menyeleksi setiap calon murid yang hendak berlatih di perguruan itu, Kek."

Surojoyo tersenyum, "Mana tangan kirimu, Kakek mau lihat."

Ranu menyodorkan tangan kirinya kepada Surojoyo. Tangan keriput lelaki tua penghuni jurang angker itu kemudian meraih tangan Ranu lalu membaliknya dengan telapak tangan menghadap ke atas.

Surojoyo memeriksa nadi Ranu sebelum kemudian senyum tipis tercetak di bibirnya.

"Nadimu tidak beraturan, sehingga aliran darahmu tidak mengalir lancar. Ini yang membuat kamu tidak bisa menyimpan tenaga dalam di tubuhmu."

"Berarti aku benar-benar tidak bisa berlatih tenaga dalam?"

"Hahahaha ..." Surojoyo tertawa lantang. "Itu kata mereka yang tidak bisa menata kembali nadimu. Buat kakek itu hal yang mudah!" balas Surojoyo menenangkan

Mata Ranu berbinar-binar.

Harapannya untuk mempelajari Jurus Dewa Api kembali mengembang. "Benarkah Kakek bisa membantuku?"

Surojoyo mengangguk sambil tersenyum. "Nanti Kakek akan menata semua titik nadimu. Tapi sekarang ayo kita keluar dari gua ini dulu! Ada yang mau kakek tunjukkan kepadamu."

"Apapun perintah Kakek akan aku lakukan, asal tidak melakukan kejahatan."

Surojoyo tersenyum bahagia. Dia yang selama puluhan tahun menyendiri di dalam jurang tersebut kini mempunyai teman bicara.

Ingatan Surojoyo kemudian melayang jauh ke masa, dimana dia masih berusia sekitar 28 tahun. Dia menyepikan diri di dalam jurang tersebut dari dunia luar karena suatu masalah yang membuatnya terluka.

"Kakek, katanya mau menunjukkan sesuatu padaku, kok malah melamun?"

Surojoyo tergagap dari lamunannya, "Eh ... iya, Ranu, ayo kita keluar sekarang!"

Mereka berdua pun kemudian berjalan keluar dari gua.

Sesampainya di luar gua, Ranu dibuat terkesima dengan pemandangan yang ada di dasar jurang tersebut. Dia tidak menyangka jika di tempat yang dikatakan angker oleh warga dusun Karangasri ternyata menyimpan panorama yang indah.Di dasar jurang itu, Ranu melihat banyak sekali berbagai macam pohon buah-buahan tumbuh subur. Ada juga sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari gua.

Beningnya air sungai membuat Ranu ingin segera menceburkan tubuhnya.

Surojoyo lantas mengajak Ranu berjalan menyusuri sungai tersebut hingga sampai di sebuah kolam yang lumayan besar. Anehnya, air di kolam tersebut mengeluarkan uap panas seperti air yang direbus.

Tepat dii tengah kolam terdapat sebuah batu gunung besar namun berbentuk datar bagian atasnya. "Kau lihat batu besar itu Ranu! Di situlah nanti aku akan menata semua titik nadimu yang tidak beraturan."

Ranu menatap batu tersebut dan seolah ada daya tarik yang membuatnya ingin berada di atasnya.

"Sudah, mari kita kembali ke gua.

Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan kepadamu," kata Surojoyo.

"Baik, Kek,"

Sambil berjalan kembali menuju gua, pikiran Ranu teringat kembali dengan kedua orang tuanya yang telah mati terbunuh.Tekadnya untuk belajar ilmu kanuragan semakin menebal. Dia bersumpah akan membalas kematian kedua orang tuanya.

Sesampainya di dalam gua, mereka berdua kemudian duduk di atas lempengan batu yang lumayan lebar.

"Ranu, ada yang ingin kakek tanyakan. Kakek harap kau berkata dengan jujur."

"Selama hidupku ini, aku tidak pernah berbohong, Kek," jawab Ranubaya.

"Dari mana kau dapatkan kitab ini?" tanya Surojoyo sambil mengeluarkan kitab Jurus Dewa Api dari balik bajunya.

Ranu meraba perutnya dan tak menemukan kitab yang dia simpan di balik bajunya.

"Aku menemukan kitab tersebut di bawah sebuah lantai kayu di reruntuhan kuil kuno, Kek," jawab Ranubaya tanpa berbohong sedikitpun. "Memangnya ada apa, Kek?"

Surojoyo berpikir sejenak. Dia bingung bagaimana menjelaskan kepada pemuda 15 tahun yang duduk di hadapannya tersebut.

"Hampir seratus tahun yang lalu, kitab ini pernah menggegerkan dunia persilatan, Ranu. Banyak pendekar, baik dari aliran hitam maupun aliran putih saling membunuh demi memperebutkan kitab ini. Mereka tidak memandang nyawa sebagai hal yang berharga demi ambisi menguasai kitab legendaris ini."

"Lalu istimewanya kitab ini apa, Kek?"

"Coba tunjukkan gambar di pergelangan tangan kananmu."

Ranu kemudian menyingsingkan baju yang menutupi lengan kanannya dan menunjukkan tato bergambar ular berwarna merah.

"Itu tandanya kau dipilih menjadi penerus Pendekar Dewa Api,Ranu. Kau beruntung karena terpilih menjadi penerus seorang pendekar terkuat yang pernah ada di bumi ini."

Ranu terperangah tidak percaya. Mengapa bisa dia yang selalu menjadi bahan olok-olok para pemuda di kampungnya, dan menjadi incaran Sanjaya untuk dihajar, bisa terpilih menjadi penerus Pendekar Dewa Api.

Episodes
1 LPDA 1
2 LPDA 2
3 LPDA 3
4 LPDA 4
5 LPDA 5
6 LPDA 6
7 bab 7
8 bab 8
9 bab 9
10 bab 10
11 bab 11
12 bab 12
13 bab 13
14 bab 14
15 bab 15
16 bab 16
17 bab 17
18 bab 18
19 bab 19
20 bab 20
21 bab 21
22 bab 22
23 bab 23
24 bab 24
25 bab 25
26 bab 26
27 bab 27
28 bab 28
29 bab 29
30 bab 30
31 bab 31
32 bab 32
33 bab 33
34 LPDA 34
35 LPDA 35
36 LPDA 36
37 LPDA 37
38 LPDA 38
39 LPDA 39
40 LPDA 40
41 LPDA 41
42 LPDA 42
43 LPDA 43
44 LPDA 44
45 LPDA 45
46 LPDA 46
47 LPDA 47
48 LPDA 48
49 LPDA 49
50 LPDA 50
51 LPDA 51
52 LPDA 52
53 LPDA 53
54 LPDA 54
55 LPDA 55
56 LPDA 56
57 LPDA 57
58 LPDA 58
59 LPDA 59
60 LPDA 60
61 LPDA 61
62 LPDA 62
63 LPDA 63
64 LPDA 64
65 LPDA 65
66 LPDA 66
67 LPDA 67
68 LPDA 68
69 LPDA 69
70 LPDA 70
71 LPDA 71
72 LPDA 72
73 LPDA 73
74 LPDA 74
75 LPDA 75
76 LPDA 76
77 LPDA 77
78 LPDA 78
79 LPDA 79
80 LPDA 80
81 LPDA 81
82 LPDA 82
83 LPDA 83
84 LPDA 84
85 LPDA 85
86 LPDA 86
87 LPDA 87
88 LPDA 88
89 LPDA 89
90 LPDA 90
91 LPDA 91
92 LPDA 92
93 LPDA 93
94 LPDA 94
95 LPDA 95
96 LPDA 96
97 LPDA 97
98 LPDA 98
99 LPDA 99
100 LPDA 100
101 LPDA 101
102 LPDA 102
103 LPDA 103
104 LPDA 104
105 LPDA 105
106 LPDA 106
Episodes

Updated 106 Episodes

1
LPDA 1
2
LPDA 2
3
LPDA 3
4
LPDA 4
5
LPDA 5
6
LPDA 6
7
bab 7
8
bab 8
9
bab 9
10
bab 10
11
bab 11
12
bab 12
13
bab 13
14
bab 14
15
bab 15
16
bab 16
17
bab 17
18
bab 18
19
bab 19
20
bab 20
21
bab 21
22
bab 22
23
bab 23
24
bab 24
25
bab 25
26
bab 26
27
bab 27
28
bab 28
29
bab 29
30
bab 30
31
bab 31
32
bab 32
33
bab 33
34
LPDA 34
35
LPDA 35
36
LPDA 36
37
LPDA 37
38
LPDA 38
39
LPDA 39
40
LPDA 40
41
LPDA 41
42
LPDA 42
43
LPDA 43
44
LPDA 44
45
LPDA 45
46
LPDA 46
47
LPDA 47
48
LPDA 48
49
LPDA 49
50
LPDA 50
51
LPDA 51
52
LPDA 52
53
LPDA 53
54
LPDA 54
55
LPDA 55
56
LPDA 56
57
LPDA 57
58
LPDA 58
59
LPDA 59
60
LPDA 60
61
LPDA 61
62
LPDA 62
63
LPDA 63
64
LPDA 64
65
LPDA 65
66
LPDA 66
67
LPDA 67
68
LPDA 68
69
LPDA 69
70
LPDA 70
71
LPDA 71
72
LPDA 72
73
LPDA 73
74
LPDA 74
75
LPDA 75
76
LPDA 76
77
LPDA 77
78
LPDA 78
79
LPDA 79
80
LPDA 80
81
LPDA 81
82
LPDA 82
83
LPDA 83
84
LPDA 84
85
LPDA 85
86
LPDA 86
87
LPDA 87
88
LPDA 88
89
LPDA 89
90
LPDA 90
91
LPDA 91
92
LPDA 92
93
LPDA 93
94
LPDA 94
95
LPDA 95
96
LPDA 96
97
LPDA 97
98
LPDA 98
99
LPDA 99
100
LPDA 100
101
LPDA 101
102
LPDA 102
103
LPDA 103
104
LPDA 104
105
LPDA 105
106
LPDA 106

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!