Ara menghempaskan tubuhnya disamping sofa dekat adiknya, yang tak lain adalah Reval. Sambil mengikuti tontonan yang Adiknya kuasai, terkadang Ara ikut memakan camilan yang Adiknya keluarkan dengan tangan kirinya agar tak sakit.
Reval sendiri menatap Ara sinis, camilannya akan cepat habis jika Kakaknya itu ikut memakannya. Ia mengambil bungkus itu, kemudian mendekapnya tanpa niatan untuk bagi-bagi.
"Pelit lo!" semprot Ara yang tak terima, ia ingin merebut camilan itu namun ia tak bisa. Ahasil ia memilih untuk diam, dan ikut menyaksikan tayangan yang sedang terpampang dilayar televisi.
Reval sendiri membuang bungkus itu, lalu menatap Ara yang yang nampak fokus dengan tayangannya. Sudah tak ada lagi camilan yang tersisa, karena semuanya sudah masuk kedalam perutnya.
"Ar, tangan kanan lo kenapa?" Reval bertanya dengan penuh bingung. Pasalnya ia heran dengan telapak tangannya yang terbungkus perban.
"Gue Kakak lo, nggak sopan banget lo manggil gue." sindir Ara dengan tatapan yang masih fokus terhadap televisi.
Reval mendengus. Buang napas, hembuskan! Mungkin itu yang Reval lakukan untuk beberapa saat, lalu kembali menatap Ara dengan setengah bertanya.
"Kak gue tanya sama lo. Itu tangan lo kenapa?"
Ara menatap Reval dengan tatapan mengintimidasi. "Tumben lo panggil gue Kakak? Terus itu kalau bukan lagi nanya apa?"
Reval mengepalkan kedua tangannya. Kesal? Pasti. Maunya apasih Kakaknya itu, ladahal dengan penuh keseriusan dan hati-hat, ia bertanya secara baik-baik.
Reval bersedekap dada, lalu kembali menatap layar televisi. Sudah tak ada gunanya ia bertanya lagi. Ia mengambil remot TV, bersiap untuk mengganti tayangan yang lain.
"Ini gue tadi lagi niatan pengin jadi Super Hero, dan ternyata tangan gue malah ikutan luka. Nggak apa-apa deh, yang penting udah ditraktir makan sepuasnya."
Reval mencibir, Kakaknya memang sangat suka dengan apapun yang berhubungan dengan kata gratisan. Memang nggak mau modal dia!
Tapi biarlah, suka-suka Kakaknya saja. Asal hidupnya tidak terganggu, ia masih bisa dikatakan aman-aman saja.
"Gue mau curhat dong sama lo, tapi gue nggak punya apa-apa buat disumbangin sama lo. Gimana?" Kakaknya ini bisa dikatakan matre. Setiap jasa yang diberikan Kakaknya, tidak ada yang berkedok gratis.
Sialan memang!
"Oke, mau curhat apa? Kali ini lo bakalan gue gratisin, baik kan gue?"
Meskipun rada kesal, setidaknya Reval bisa berbahagia untuk hari ini. Ara adalah teman curhat terbaik yang ia punya, jadi ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali.
"Serius kan ini? Gue bener-bener nggak nyangka." Reval hanya memastikan sekali lagi. Repot kalau setelah ini, Ara meminta yang tidak-tidak.
Meskipun sedikit malas, Ara tetap mengangguk mengiyakan.
"Gue mau tanya, rasanya ja..."
"Ara?! Kamu tadi bolos ya! Kata Nadia, kamu nggak masuk sekolah tadi."
Reval mendengus, karena kata-katanya diinterupsi oleh orang lain. Gagal sudah aksi curhatannya kepada Kakaknya itu.
Ara kenal suara menggelegar seperti itu. Siapa lagi jika bukan Mamahnya! Ara tak tahu seberapa pengaruh besar Nadia terhadap Mamahnya. Intinya Nadia selalu mengadu yang tidak-tidak terhadap Mamahnya, setelah makan malam waktu itu. Nadia jadi bebas berada didekatnya kapan saja, yang membuat Ara makin lama makin muak juga.
Buktinya saat ini. Baru saja Mamahnya masuk ke dalam rumahnya, sudah kena semprot saja dirinya diakibatkan ulah anak itu. Padahal ketika ia bertanya pada temannya yang lain, sekolah dibebaskan karena semua guru akan rapat. Lalu apa yang Nadia adukan?
Mamahnya sudah sampai di depannnya, bersiap menagih penjelasan anak sulungnya yang masih memutak otak mencari-cari alasan. Reval sendiri memilih untuk pergi ke kamar, dan memilih untuk bemain game saja.
Ara berdiri, sedikit menunduk untuk merasa bersalah, padahal ia menikmati waktunya dengan bolos seharian ini. Ia mengangkat tangan kanannya, berharap Mamahnya langsung peka dengan keadaannya.
"Itu tangan kananmu kenapa?" tanya Mamahnya yang nampak peka dengan petunjuk Ara.
"Waktu tadi berangkat, Ara jatuh. Ehhh, ada pecahan kaca yang masuk ke tangan Ara. Untung saja ada tetangga yang mau nganterin Ara kerumah sakit." Ara menjeda kalimatnya. "Lagipula sekolah free kok, ada rapat Guru yang dilaksanakan sedari tadi pagi."
Mamahnya mengangguk-angguk. Namun akhirnya ia menganga ketika mengingat Ara menyebutkan seorang tetangga yang sempat menolong Anaknya.
"Siapa Tetangga yang nolongin Ara tadi, biar Mamah berterimakasih sama dia."
Ara menghempaskan tubuhnya diatas sofa. "Cowok? Tetangga depan."
Mamahnya menganga lagi, merasa tidak percaya dengan ucapan Anaknya. Ia ikut duduk di samping Ara, kemudian mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk kanan.
"Anaknya Pak Gideon?" tanya Mamahnya yang masih berpikir keras. Sepertinya akan seru, jika ia menebaknya layaknya sebuah teki-teki yang harus dipecahkan.
Ara menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Gideon? Nama siapa lagi itu, entah mengapa seharian penuh dengan teki-teki untuknya.
"Namanya Aksen Mah. Cowok yang tinggal dirumah depan." Ara menyerah. Ia tak mungkin berpikir keras lagi, hanya untuk pertanyaan yang tak berbobot. Lagipula, ia tahu nama kecilnya.
Mamahnya mengangguk saja, namun setelahnya ia kembali menganga tak percaya dan memegang kedua bahu putrinya itu.
"Aksenio anaknya Pak Gideon itu. Yang ganteng plus-plus itu kan? Astaga!" pekik Mamahnya kegirangan.
Ara jadi tak yakin Mamahnya itu masih sehat sekarang. Ia bersiap untuk pergi ke kamarnya. Lagipula ia sudah memberikan sebuah alasan keterkaitan ketidak hadirannya di sekolah. Ya, meskipun dengan cara sedikit berdusta tadi.
"Ara ke kamar dulu." ucapnya ketika hendak melangkah, namun dihiraukan begitu saja.
Tidak terdengarkan. Mamahnya masih dalam mode senyum-senyum sendiri sekarang. Apa Mamahnya mendadak gila?
"Awas kalau selingkuhin Papah, nggak dapat harta gono-gini tau rasa Mah. Nggak tau juga kan kalau nanti Mamah mendadak jelek, tua, keriput, karena nggak bisa beli skincare buat perawatan." ujar Ara memperingati, sebelum akhirnya berlari cepat menaiki tangga.
"Bocah kurang ajar, berani-beraninya nyumpahin orang tua!"
terlambat, Ara sudah sampai di dalam kamarnya. Tanpa pikir panjang, ia menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas ranjang.
Lebih baik ia memejamkan mata bersiap untuk tidur, lagipula hari sudah gelap. Itu opsi terbagus, ketimbang tidak ada kerjaan lagi selain diam saja. Sembari mengkhayalkan sesuatu, itu mungkin bisa membuatnya cepat terlelap. Namun belum lama ia tertidur, ia sudah berkeringat dingin. Layaknya seseorang yang sedang bermimpi buruk.
"Bukan gue... Bukan gue..." Ara meracau pelan, kepalanya terus saja menggeleng cepar seperti tak ingin di salahkan.
"Dia... Dia..." Ara menangis sesenggukan. Racauannya semakin lama, semakin terdengar lirih.
"Arghhhhhh...." secepatnya Ara tersadar dari tidurnya. Wajahnya diusap kasar dengan kedua tangannya.
Mungkin itulah sebabnya Ara lebih baik pulang larut, daripada ia tidur lebih awal dan bermimpi yang tidak-tidak seperti sekarang ini. Waktu pagi diawan gelap, membuat dirinya selalu merasa bahwa siang telah tiba. Untuk itu ia bisa tidur nyenyak, meskipun untuk beberapa kali ia harus terbangun.
Semuanya berjalan di atas kendalinya sendiri. Tidak ada yang sesuai dengan kemauannya sedari awal, namun Ara berusaha menikmati harinya itu. Tak ada hal yang membuatnya merasa terpojok ataupun terpukul karena sesuatu dimasa lalu hingga saat ini. Ia bangkit menuju balkon kamarnya, kemudian duduk dengan bersandarkan pembatas balkon.
Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, namun apa. Mimpinya tadi mengingatkannya pada masa lalu, yang membuatnya selalu bermimpi buruk setelahnya. Mimpi itu sepertinya adalah nyata, namun Ara sendiri tak mampu untuk mendefinisikannya. Ia sungguh takut, jika mimpi itu benar-benar kembali.
Brakkkkkk...
Ara yang hendak masuk ke dalam kamarnya lagi, langsung terlonjak merasa kaget. Sebelum itu ia sempat menengok, siapa pelaku yang telah membuatnya terkaget-kaget seperti ini. Namun akhirnya, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Itu Reval. Ternyata bukan dirinya saja yang tak bisa tidur, Adiknya ternyata sama sepertinya. Lihatlah Reval sekarang, meskipun ia telah memakai pakaian lengkap untuk tidur, tangannya masih memegang stik play station. Mau tak mau, Ara bergumam.
"Kenapa lagi?" tanya Ara yang sudah membaringkan tubuhnya diatas ranjang lagi.
"Gue tadi mau cerita, tapi nggak jadi kan! Gue nggak bisa tidur dengan tenang, kalau lo nggak mau ngasih solusi." Reval memberi alasan, agar Kakaknya mau mendengar curatan hatinya kemudian.
Ara mengangguk, kemudian menepuk-nepuk kasur samping tubuhnya. Reval yang peka, langsung tiduran di samping Kakaknya.
"Mau cerita apa?" Ara berusaha untuk berbaik hati saat ini. Lagipula ia sendiri masih sukar memejamkan matanya.
Reval bungkam. Sebenarnya ia tak ingin menceritakan sesuatu pada Kakaknya, namun ia juga tak akan tenang jika ia memendamkan itu semua seorang diri. Ia sudah lelah dengan jawaban hatinya yang tak sesuai dengan logikanya.
Buang napas, hembuskan! Reval menatap Kakaknya dengan penuh harap.
"Sebagai pendahuluan, rasanya jatuh cinta itu gimana sih?" lirih Reval.
Sedetik setelah itu, Ara tertawa lepas mendengarnya. Jadi yang membuat Reval tak bisa tidur dengan tenang karena hal ini. Astaga, anak jaman sekarang!
Tapi sedetik kemudian, Ara mendadak bisu. Memang, rasanya cinta itu bagaimana ya?
*****
1378 kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Bunga_Tidurku
heh bhambanggg gue aja blm pernah
jgn2 jawabannya gtu
2021-08-09
0
Noer Hidayah
hahaha ,, ada beneran nggak sih yg kayak ara , , ,
2020-10-23
4
LILY🌚🤣
hahah ara² ada²aja
2020-09-22
0