"Baru duduk saja, sudah mendengkur. Apakah kamu tidak pernah kapok dengan dikeluarkannya dari sekolah secara terus menerus, Nona Kinara Casilda Freissy?!" bentak guru Fisika itu yang nampaknya sudah setengah emosi. Bayangkan saja baru beberapa menit setelah perkenalan, beberapa menit kemudian gadis itu sudah mendengkur dan berjelajah di alam mimpi.
Semua siswa mulai berbisik menjelek-jelekkan, tak terkecuali dengan Nadia yang sedikit kaget dengan kabar itu. Ia sedikit melirik kearah Ara, lalu menelan salivanya secara kasar. Apakah dia duduk dengan seorang berandalan?
Brakkkkkk..
Nadia yang berada didepan guru fisika itupun langsung terlonjak kaget. Bahkan semua anak yang saling berbisik satu sama lain itu menunduk diam. Ara yang langsung tersadar dari pejaman matanya itu, mendadak langsung mengucek-ngucek matanya seperti baru bangun tidur.
"Udah istirahat ya?" tanya Ara dengan wajah sedikit linglung.
"Tidur di saat pembelajaran sedang dilaksanakan, lantas bertanya apakah istirahat sudah tiba. Padahal beberapa menit yang lalu, kamu baru saja memperkenalkan diri kamu. Hebat sekali!!" Guru fisika itu bertepuk tangan, sembari menahan emosinya yang telah kembali naik ke ubun-ubun.
"Maksud Ibu apa?" tanya Ara sedikit bingung.
"Berapa umurmu? Kenapa kamu masih bertingkah seperti anak-anak hah?!" tanya guru fisika itu lagi.
"Hampir 18 Tahun. Kenapa?" bahkan Ara menjawabnya dengan polos
Guru fisika itu terdiam. Namun tatapan sinisnya masih menusuk ke dalam hati seorang Kinara. Ia menunggu guru itu bertanya kembali, sepertinya akan ada sesuatu yang terluap dari pikiran guru itu. Apakah Bu Kiana marah?
"Oke, karena kita hendak presentasi mengenai penemu-penemu. Apa kamu tahu Albert Einstein lahir pada tahun berapa?"
Ara menggaruk-garukkan kepalanya bingung. Memang ada ya materi Fisika mengenai penemu-penemu disaat ia sudah kelas 12, dari kapan?
Guru Fisika itu nampak menyombongkan diri di depan Ara. Tentu saja membuat Ara kesal setengah mati. Apakah ia terlalu bodoh untuk mendapatkan pertanyaan seperti ini?
Untuk sementara ia menyedekapkan tangannya, sambil menopangkan dagu. Semoga saja dia menemukan jawaban, apalagi jika bukan untuk meluluhkan rasa sombong yang dimiliki Guru itu.
"Mmmm kalau nggak salah ya Bu... Sepertinya Albert Einstein lahir pada tahun 1879. Atau lengkapnya dia lahir di Ulm, Kerajaan Wurttemberg, Kerajaan Jerman, pada tanggal 14 Maret 1879 dan meninggal di Princeton, New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 18 April 1955 ketika umurnya yang memasuki 76 tahun." jawab Ara sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi yang akan digunakan olehnya hingga beberapa hari kedepan, semoga saja bisa mencapai berbulan-bulan dan akhirnya lulus tanpa ada embel-embel pindah sekolah lagi.
Guru Fisika selaku Bu Kiana itu mengangguk-angguk. Merasa harus dibenarkan, karena Ara memang sangat-sangat benar untuk menjawab pertanyaan ini.
Lain halnya seluruh penghuni kelas. Nampaknya semua siswa di sana hanya menganga lebar. Tak begitu buruk bagi Anak yang suka berpindah-pindah tempat dalam sebulan sekali, bahkan bisa dikatakan sangat baik oleh semua siswa yang berada di sana. Dalam hati mereka yang paling dalam sedikit bersorak, setidaknya anak baru dikelasnya itu dapat mengulur-ulur waktu bagi Guru Fisika itu dalam menagih hafalan mereka.
"Apakah kamu tahu penemu dari batu baterai?" tanya Bu Kiana lagi.
Ara meletakkan jari telunjukkan di depan dagu, kemudian mengetuk-ngetukannyanya beberapa kali. Baru saja terlintas dari otaknya, bahwa dia pasti bisa memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia menghentakkan jari jempol dan telunjuknya, lalu menatap Guru Fisikanya dengan agak sedikit menantang.
"Apa yang bisa Ibu berikan jika saya bisa menjawabnya?" tanya Ara tak sopan.
Bu Kiana tersenyum sinis. Dengan kembali bersedekap dada, ia mulai berjalan mondar-mandir di depan Ara.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Bu Kiana itu menawarkan.
"Saya ingin keluar dari kelas Ibu tanpa adanya absensi kosong atau dalam artian lain, saya bolos tanpa adanya keterangan apapun. Sebaliknya, saya akan tetap mendapatkan nilai plus karena berhasil menjawab pertanyaan Ibu."
Semua siswa terdiam. Menantang guru fisika itu, sama saja seperti menantang maut. Bahkan jika nilai kamu mendapatkan nilai cukup, tak segan-segan guru itu akan lebih merendahkannya lagi jika kamu memiliki sikap semena-mena dan tidak sopan.
Tampak saja Bu Kiana itu tertawa lebar karena begitu diremehkan oleh siswa barunya. Namun dalam sekejap, ia mengubah mimik wajahnya menjadi tajam yang kemudian langsung mengarah kepada manik mata Ara.
"Baik, dengan syarat kamu berhasil menjawab beberapa pertanyaan dari saya."
"Deal!" seru Ara menyepakati.
Semua siswa kembali berbisik. Ada yang sedikit menyakinkan, memuji, bahkan mengeluhkan keberanian Ara yang terlanjur tak sopan itu. Bahkan Nadia yang berada di samping Ara, langsung saja melirik kesana kemari dengan cemas.
"Baik, jawab dulu pertanyaan saya yang sebelumnya. Siapakah penemu baterai, dan jelaskan secara singkat biodatanya?"
"Alessandro Volta, atau lebih lengkapnya Alessandro Giuseppe Antonio Anastasio Gerolamo Umberto Volta yang merupakan fisikawan yang berasal dari Italia, yang lahir pada tanggal 18 Februari 1745 dan meninggal pada tanggal 5 Maret 1827, ketika umurnya sudah mencapai 82 tahun."
Semua siswa bertepuk tangan. Merasa bangga, bahwa dikelasnya masih ada orang jenius yang melebihi mereka. Untuk saat ini, mereka mungkin bisa terbebas dari pelajaran yang membuat pusing kepala itu.
"Penemu telepon?" tanya bu Kiana sembari melirik sinis diri Ara itu.
"Katanya ada yang mengatakan bahwa Alexander Graham Bell adalah penemu telepon. Tetapi ada sejarah yang mengatakan bahwa penemu telepon pertama kali adalah Antonio Meucci, atau lebih lengkapnya adalah Antonio Santi Giuseppe Meucci, seorang imigran dari Firenze (Florence), Italia yang telah menciptakan telepon pada tahun 1849 dan mematenkan hasil karyanya pada tahun 1871."
"Lalu bagaimana dengan pendapatmu?" tanya Bu Kiana yang sudah terlalu emosi lagi. Ia sedikit bangga, dengan Ara yang nyatanya tak terlalu buruk dimatanya lagi.
"Mungkin sependapat dengan mereka." jawab Ara yang melontarkan senyuman manis.
Bu Kiana mengangguk. Mengacungkan jempol seolah merasa bangga, tengah dilakukan olehnya.
"Kinara, saya tidak akan menguji kamu lagi. Sekarang, kamu boleh keluar dari kelas saya secara hormat. Kapanpun kamu mau dan menginginkannya, saya bisa mendaftarkan kamu juga pada ajang olimpiade."
Semua siswa kembali bertepuk tangan. Kinara ternyata tak seburuk dengan yang mereka pikirkan. Ara pun bangkit dari duduknya kemudian pamit pada Bu Kiana.
"Saya keluar sekarang ya Bu, saya tidak ingin mengganggu pelajaran anda lagi."
Hanya anggukan, namun membuat Ara dengan semangat keluar kelas. Bu Kiana menatap Nadia lagi dengan tajam, pasalnya hanya dialah siswa yang paling terburuk dimatanya.
"Contohlah Kinara. Meskipun sering dikeluarkan dari sekolah, dia masih bisa mengkondisikan dirinya sebaik rupa pada pelajaran-pelajaran yang sesulit apapun. Kamu punya apa untuk meluluskan diri dari sekolah, kekayaan Ayahmu takkan bisa membuat kamu lulus dengan mudah lagi."
Nadia menunduk. Merasa dibenarkan dengan pernyataan yang terlontarkan dari mulut guru fisikanya. Jika bukan karena aset, ia tak akan berada dikelas ini sekarang. Lemah menghitung, menghafal, bahkan tak bisa mengingat pelajaran apapun, seharusnya ia berada dikelas orang-orang yang memiliki otak kurang dari pas-pasan sekarang.
"Ma.. Maaf Bu.."
"Hanya maaf, maaf, maaf. Bingung saya jika harus mengarang nilaimu lagi untuk semester pertama ini. Luluspun sepertinya tak tentu." keluh guru fisika itu sembari mengusap wajahnya kasar.
Nadia menangis. Tak tahu harus bagaimana lagi. Ia ingin keluar sekarang juga, ketimbang dia terus disudutkan oleh gurunya di sini.
"Kamu itu..."
Tok... Tok...
Semua siswa melirik kearah pintu. Nampaklah Ara yang sedikit tersenyum menatap semuanya. Tak urung jika banyak siswa laki-laki yang luluh terhadap senyuman manisnya. Terlebih lagi dengan wajah natural tanpa polesan apapun. Secaa tak langsung, dia telah menjadi idola para cowok dikelasnya.
"Bolehkah saya meminta sesuatu lagi?" tanya Ara.
Guru fisika itu mengernyit bingung. "Apa yang kamu inginkan lagi? Mungkin Ibu bisa membantu."
"Bolehkah saya membawa Nadia. Sebagai gantinya, anda boleh mengikutsertakan saya pada ajang olimpiade."
Guru fisika itu tersenyum, tetapi ketika melirik Nadia, tatapan matanya langsung berubah tajam. Nadia hanya bisa menunduk tanpa harus berbuat apa-apa lagi.
"Saya sepakati. Kamu Nadia, silahkan keluar dari kelas saya dengan penuh hormat. Tapi ingat, saya takkan mau lagi untuk mengarang nilai fisikamu itu."
Nadia mengangguk, lalu berjalan keluar kelas dengan penuh menunduk. Dalam hati ia bersorak ria, tak perlu lagi mendengar ceramahan guru fisika itu yang selalu mengiris hati.
"Lo utang tiga nyawa sama gue. Suatu saat gue bisa nagih itu semua, karena gue ngebantu lo itu nggak pernah ikhlas. Gue bisa saja ninggalin lo yang lemah itu, dan membuat mereka bahagia atas penderitaan yang lo rasakan. Tapi gue masih punya hati nurani buat ngebantu orang yang lagi tertindas lemah." jelas Ara dengan memamerkan senyuman picik.
Nadia yang baru saja berdiri diambang batas pintu itu, langsung terkaget. Nyatanya Ara tak sebaik yang ia kira.
"Gue pergi, awas aja kalau ngikutin gue!" jawab Ara yang melenggang dengan leluasa dikoridor sekolah. Merasa tak terbebani dengan apapun, padahal dilubuk hati yang paling terdalam ia tengah menyembunyikan sesuatu.
*****
1291 kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
BINTANG PENGHACUR
wah yang kek gini gw cari berandal tapi pinter sama kayak Alena di badboy&badgirl
2021-12-11
3
anotherbyl
Ngelepas penat sekalian belajar juga😂😂😂😂 biar tambah ingat
2021-04-07
0
권 옥타비안🌼🌼
ara jjang👍👍👍👍
2020-10-15
0