Aksen merebahkan tubuh diatas kasur, setelah menyegarkan diri seharian penuh. Kedua tangannya digunakan untuk menopang kepalanya, sedangkan tatapan matanya mengarah kearah langit-langit kamarnya. Lampunya dibiarkan menyala, sedangkan matanya perlahan-lahan mulai terpejam dan berimajinasi penuh di dalam sana.
Semuanya memang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Rasa, keinginan, hati, semuanya telah berubah semenjak Mamahnya pergi. Semuanya sudah berbeda. Termasuk waktu yang memberikam celah dan jarak bagi mereka yang berada didekatnya.
Aksen tersenyum miris. Ia mengangkat satu tangannya dan menelisik setiap inci bekas luka ditangannya. Meskipun beberapa tahun telah berlalu, luka-luka sayatan itu masih terbayang ditangan putihnya itu. Menyisakan sejuta tanya, apakah penyakitnya masih ada atau tidak? Karena setahunya penyakit itu sudah melekat dalam dirinya dan sepertinya kekal hidup di dalam sana.
"Mau jadi apa kamu hah? Sudah larut, tapi baru ingat rumah. Kapan kamu mau jadi anak baik-baik dan nggak keluyuran malam-malam Ara, kamu itu anak perempuan!"
Aksen langsung membuka matanya lebar-lebar dan bangkit, kemudian pergi menuju balkon kamarnya yang langsung menatap rumah di seberang jalan. Sejenak ia tertegun dengan lelaki paruh baya itu. Namun kemudian mengangguk-angguk setelah mengetahui orang diseberang rumahnya tak lain adalah kolega bisnisnya.
Arah mata Aksen langsung menatap Ara yang terlihat santai dengan raut wajahnya yang nampak biasa saja. Tidak ada raut takut apapun yang terpancarkan selain diam, kemudian menunduk pasrah. Sama sekali tak berkeinginan untuk membuka suaranya.
"Coba kamu kayak Reval dengan jadi anak baik dan diam di rumah. Nggak pernah tuh dia dikeluarkan dari sekolah, malah dia bisa jadi Ketua Osis. Kamu kapan jadi anak benernya? Nggak bosan kamu diasingkan dari rumah dan hidup sama Kakekmu, seharusnya kamu bisa berubah setelah tahu apa makna kehidupan sebenarnya?!"
Diasingkan? Pantas saja Aksen baru melihat anak itu untuk pertama kali ditempat ini. Padahal sesering mungkin ia pulang ke rumah, meskipun beberapa bulan ini ia lebih senang tinggal di Apartemen.
Ara menghiraukan, kemudian melempar tasnya begitu saja keatas lantai. Waktu telah menunjukkan jam 12 malam saat itu, tetapi ia begitu santainya berjalan ditrotoar sana sembari bersenandung ria. Ia tak ingin lagi menganggu banyak orang yang akan mengistirahatkan diri sejenak, disaat waktu yang akan segera menjelang pagi.
Ara langsung menjatuhkan dirinya, kemudian siap memejamkan mata dengan tas sebagai tumpuan kepalanya. Ia tak ingin bertengkar pada malam-malam larut seperti ini, terlebih lagi ia sudah terlalu lelah karena seharian penuh ini, ia memiliki banyak urusan. Untuk itu, ia memilih diam saja, dan berusaha untuk tidur dengan ala kadarnya.
"Ara?!" bentak Papahnya yang sudah tak tekontrol lagi. Bahkan Mamahnya yang baru saja bangun dari pejaman matanya, langsung saja turun ke bawah untuk menenangkan suaminya itu.
Ara dengan pejaman matanya tersenyum sinis. Dinginnya lantai, tak pernah membuatnya langsung menggigil. Seolah-olah ia tahan, dan sudah berpengalaman dengan keadaan seperti itu. Ara tentu saja tak terlalu kedinginan dengan udara yang sejuk itu.
"Tahu nggak Pah... Selain Papah penuh ambisi, Papah juga terlalu otoriter. Salah jika aku dari kecil udah nakal? Saat itu aku masih kecil dan nggak tau apa-apa Pah. Cukup ajari aku bagaimana caranya bersikap layaknya anak kebanyakan. Yang dulu Papah lakuin cuma bisnis, bisnis, dan bisnis. Bahkan semenjak Reval lahirpun dan hampir masuk sekolah, Papah nggak pernah ada waktu!"
"Ara, masuk kamar!" seru Mamahnya yang baru saja sampai diambang pintu. Membuat suaminya yang hendak melakukan sesuatu, langsung melirik tajam kearah sang isteri.
Ara tak bergeming. Ia masih setia memejamkan matanya, tanpa ada niatan untuk membukanya. Namun dalam hatinya, ia sedikit bersorak kesal. Sampai kapan Mamahnya itu selalu mengganggu niat Papahnya? Ia ingin sekali membuat Papahnya berubah.
"Ara! Jangan membantah Mamah?!" kali ini bentakan Mamah yang keluar dari mulutnya.
Ara langsung membuka matanya mendengar itu, kemudian melirik kearah duanya. Tak ada tatapan bersahabat, tapi hanya satu yang Ara inginkan. Cepat-cepatlah mereka pergi dari hadapannya, Ara sudah muak. Bukannya mencari tahu, yang Papahnya lakukan cuma bisa marah dan marah saja.
"Kenapa?" hanya itu yang keluar dari mulut Ara dengan tubuh yang masih terbaring penuh.
"Dasar anak nggak tahu diuntung! Nggak cukup selama ini kamu jadi berandalan!" bentak Papahnya yang sudah maju mendekati Ara yang langsung bangkit dari rebahannya. Seolah ia menantang kembali rasa emosi yang Papahnya miliki.
"Iya, Ara nggak pernah diuntung untuk hal ini! Kenapa? Papah tahu nggak apa yang dilakuin Ara sampai larut malam begini hah?" Ara menjeda kalimatnya, "Satu hal yang harus Papah tahu, bukan berarti Ara berandalan. Ara masih tahu batasan dan tahu cara menjaga diri."
Papahnya sudah mengangkat tangannya bersiap untuk menampar. Refleks, Ara langsung menutup matanya dengan sedikit getaran aneh dalam hatinya.
Rasanya begitu sakit, ketika Papahnya untuk pertama kali ini hendak melakukan sesuatu di luar dugaannya. Tak ada pergerakan sama sekali, sehingga Ara perlahan-lahan mulai membuka matanya kembali.
"Sebenarnya Ara anak kandung kalian apa bukan sih?" tanya Ara yang nampak frustasi setelahnya. Ia memungut tas nya, kemudian berlari penuh menuju kamarnya. Tak mau lagi melihat wajah kedua orang tuanya yang sudah kelewat batas. Padahal, Ara sendiri ada alasan sendiri kenapa ia bisa pulang selarut ini.
Disisi itu, Aksen nampak kaget dengan perlakuan yang Papah Ara lakukan seperti itu. Rasa bersalahnya naik ke permukaan, ketika ia menjadi salah satu alasan keterlambatan Ara pulang selarut ini. Ya, jika bukan karena Ara, tak mungkin ia sudah sampai ke rumah sekarang.
Aksen menggerutu. Seharusnya ia lebih bisa memaksa Ara sebelumnya. Jadi ada alasan, jika Ara terlambat pulang itu karena dirinya. Ia masuk kedalam kamarnya, kemudian mematikan lampu yang saklarnya berada didekat pintu.
Seperti sudah hafal dengan tata letak kamarnya, dengan sekali loncat, ia langsung terbaring nyaman di atas kasurnya. Pikirannya kembali menerawang kearah gadis yang menjadi tetangga itu entah sedari kapan.
Perlahan, senyumnya mulai terbit karena gadis itu. Dari cara bicara, jahil, hingga membuahkan rasa penasaran dengan luka memar yang sering di dapat oleh Ara. Sejenak Aksen membatin. Sebenarnya Ara itu cewek apa cowok?
Ia menggeleng lemah. Merasa lucu dengan batinnya sekarang ini. Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja gadis tetangga itu berjenis kelamin perempuan. Hanya saja, kelakuannya yang mirip laki-laki. Namun siapa saja yang melihat Ara dari kaumnya sendiri, pasti akan kagum menatapnya.
Klekk...
Lampu kamarnya dinyalakan oleh seseorang. Senyumnya pun langsung pudar kala itu. Tak mengapa, ia lebih suka menampilkan wajahnya yang datar di depan orang lain. Termasuk seseorang yang berada dihadapannya.
"Cieee, Adik gue lagi jatuh cinta nih."
Aksen memutar bola matanya malas. Disaat-saat seperti ini, haruskah ada orang semacam gorila yang mengganggunya? Harusnya tadi ia mengunci kamarnya, jadi tidak ada yang menganggu aktivitasnya itu.
"Ngarang, kata siapa." Aksen mendudukkan dirinya, mensejajarkan tubuhnya dengan Kakak laki-lakinya dihadapannya.
"Lo kalau jatuh cinta, tinggal ngomong aja kali. Lo itu udah jomblo dari lahir, sekali-kali kek cari pasangan buat dijadiin pendamping hidup."
"Masih muda. Ngembangin karir dan sukses fulu." Aksen hanya menjawab seperlunya.
Kakak laki-lakinya tertawa renyah. Jawaban klasik yang sering di dengar olehnya. Untung saja dia menyayangi Adik-adiknya, begitupun dengan anaknya yang masih berusia 2 tahun lebih.
"Galaksi mana?" tanya Aksen kemudian.
Pletakk...
Jitakan keras mendarat didahi Aksen dengan sempurna. Sang tersangka pun hanya tersenyum mengejek sesekali tertawa.
"Lo emang nggak pernah waras." keluh Aksen yang kemudian membaringkan tubuhnya.
"Lagian sih lo, nanyanya nggak nyambung banget. Jelas lah, anak gue udah tidur. Lah lo, kapan punya anak?"
Sindiran pedas. Aksen langsung merubah raut wajahnya lebih datar, namun terkesan emosi.
"Bang, bunuh orang dosa nggak ya?" tanya Aksen sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Dosa lah, apalagi orang yang mau dibunuh gantengnya kayak gue!"
Dalam sekejap Kakak laki-lakinya langsung berlari entah kemana. Aksen yang emosinya sudah naik keubun-ubun, bersiap untuk mengeluarkannya secara spontan.
"Bang Devon! Gue doain lo cepet mati. Secepatnya kalau bisa!"
*****
1131 Kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Atinn
dari sekian novel yg gw baca, cuma ini yang bikin bengek, penasaran, dan seru
semangat Thor
2021-10-12
2
Moelyanach
suka
2021-09-02
1
Bunga_Tidurku
kayaknya mulai ada rasa, lanjottt
2021-08-09
0