Ara sudah tak nyaman lagi dalam duduknya. Apalagi ia berada pada tempat yang baru kali ini ia kunjungi untuk pertama kali, dan sang pemiliknya tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Tentu saja ia bergerak tak nyaman setelah sekian lama. Dan yang membuatnya semakin tak nyaman, sang pemilik tak kunjung kembali setelah menerima telepon itu.
"Bahagia sih dapet wi-fi gratis, tapi tetep aja rasanya nggak enak sama yang punya. Terus kenapa baterainya harus mati disaat-saat yang nggak tepat sih!" keluh Ara membanting ponselnya disamping tubuhnya, lalu mengusap-usap wajah kasar.
Manik matanya sudah memerah karena berjam-jam lamanya, ia gunakan untuk menatap layar ponsel. Jika seperti ini, ia bia mati kebosanan sekarang.
Jam yang terpampang di dinding itu menunjukkan pukul 2 siang, mungkin saja sekolahnya sudah sepi karena bel pulang sekolah telah dibunyikan. Ia mengambil tas dan bersiap untuk pergi, namun diurungkan karena ia tak tahu jalan.
Krukkk... Krukkk...
Bunyi sesuatu membuatnya ia menatap kesekililing ruangan. Lega, tak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri. Ia yang hampir terserang rasa malu, langsung membuncahkan bangga saking leganya. Ia mengusap-usap perutnya berharap ada makanan sekecilpun. Tapi nihil, remah-remahnya saja tidak ada.
"Gue laper, tapi gue nggak tahu arah jalan pulang. Baterai ponsel gue juga habis, terus gue harus gimana?" ia merutuki kebodohannya sendiri, karena mengikuti Aksen si pemuda kantoran itu.
Ia kembali kearah sofa, kemudian membaringkan tubuhnya. Sudah tak ada jalan baginya selain pasrah. Ia sudah siap dengan ajal yang menjemput, karena kelaparan. Ia mendadak lebay, kalau lagi lapar begini!
Cklek...
Pintu ruangan terbuka dengan lebar, tetapi tak membuat Ara berpura-pura seolah-olah sedang memejamkan mata. Ia juga memilih untuk diam, demi meredakan rasa laparnya.
"Gue benci lo Ar, gue benci lo!"
Kerutan dahi jelas keluar dari mulut Ara. Kenapa pemuda kantoran itu benci kepadanya? Memang apa salahnya coba? Di sini ia hanya menumpang wi-fi dan kenyamanan untuk sejenak saja, lalu apakah tanggungan kantornya menjadi membludak akibat dirinya? Bisa gawat, ia tidak punya sepeser uangpun untuk menggantinya!
"Lo ke sini cuma mau minta maaf aja. Sorry, permintaan maaf lo nggak ada gunanya bagi gue!"
Lha kapan ia pernah meminta maaf? Perasaan dari tadi dia hanya diam dan memainkan ponselnya dalam hening. Lagipun, apa kesalahannya coba? Semakin lama dibuat pikir, perutnya tiba-tiba bernyanyi tidak jelas.
"Kalau mutilasi orang nggak dosa, udah dari lama gue mutilasi lo!"
Buset, Ara mendadak takut sejadi-jadinya. Ia meneguk ludahnya tanpa sadar.
Namun tak disadari oleh oleh Ara, Aksen si pemuda kantor itu baru masuk ke dalam ruangan ruangan itu dengan binar luka yang terpampang jelas.
"Lo udah nggak pantes di cap sahabat." Aksen berucap miris. "Gue benci lo Arkan! Gue benci!"
Ara tentu saja terlonjak kaget dengan suara itu, namun secara tidak langsung ia merasa lega. Ternyata yang dimaksud oleh Aksen bukan dirinya. Sembari memegangi dadanya yang sedikit berdenyut, kemudian meletakkan tangannya kembali ke tempat semula. Wajahnya pun sudah ia tampilkan senetral mungkin, agar Aksen tetap tak menyadari ketakutannya.
"Karena lo..." Aksen menjeda kalimatnya. "Gue depresi..." ucap Aksen lirih, kemudian menangisi kebodohannya.
Rasanya percuma saja jika dia menghindar dari lika-liku yang pernah menghantam kehidupannya. Karena dia tetaplah dia yang berdiri sedari dulu. Lukanya tak pernah hilang, dan memilih untuk bersemanyam jauh didalam dirinya.
Aksen meratap sejenak, kenapa segala sesuatu yang dianggapnya buruk itu selalu datang tiba-tiba? Sejenak ia tersenyum miris dengan keadaannya sendiri.
Jika Adiknya berada di sini, mungkin dia bisa mengatasi kekacauan dirinya. Namun? Aksen tersenyum miring, kemudian membuka setiap laci dari mejanya. Entahlah, ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya dan ingin membuainya ke dalam sebuah permainan. Permainan yang tidak menyakitkan baginya, tapi membuat meringis jika orang lain melihatnya.
Dan ya, ketemu! Aksen tersenyum sekaligus bersorak senang, dengan sesuatu yang sudah dipegang olehnya saat ini. Sebuah cutter yang entah sejak kapan berada dilaci mejanya.
Aksen menatap lamat-lamat benda itu kemudian timbul rasa suka didalam sana. Setelah sekian lama ia tak bermain-main, kini ada sebuah rasa yang membuatnya ingin bermain-main lagi. Namun belum saja ia menggoreskan benda itu pada kulitnya, seseorang sudah memegangi benda tajam itu dengan tangan kosong, sehingga menimbulkan darah segar mengalir begitu saja.
Mungkin orang itu tak rela melihat seseorang melukai tangannya sendiri karena sesuatu. Aksen baru sadar, dia sedang tidak sendiri di ruangannya!
"Lo gila?" hanya itu yang keluar dari mulut sang penolongnya.
Aksen sedikit kaget. Namun ia langsung merutuki dirinya sendiri, atas kebodohannya iru. Tentu saja itu Ara, ya Ara yang melukai tangannya sendiri demi memberhentikan niat Aksen yang kehilangan kendali atas dirinya.
"Lo lebih gila!" seru Aksen ketika menyadari Ara sudah kehilangan banyak darah karena niatnya yang datang dengan sendirinya.
Ara mengangguk. Ia terima, jika harus dikatai seperti itu. "Nggak sakit kok! Tapi buat lo yang mau melukai diri sendiri, lebih baik jangan."
Ara berjalan menjauh mendekati tasnya yang sudah ia letakkan tak jauh dari jarak ponselnya. Niatnya ingin makan kerena ia sudah kelaparan, jadi ia tak ingin buang-buang waktu.
Aksen meletakkan benda yang telah melukai Ara itu, kemudian berjalan perlahan mendekati Ara. Ia memegang tangan kanan Ara yang terluka, kemudian bergidik ngeri melihat luka dalam yang diderit sekarang.
"Kerumah sakit sekarang!" tegas Aksen kemudian bersiap untuk membenahi diri. Mengambil dompet, ponsel, yang kemudian ia letakkan pada saku jas dan celananya.
"Nggak!" Ara menolak, ia mengambil ponselnya dengan tangan kiri dan memasukkan kedalam tasnya.
"Terus maunya gimana?" Aksen dirundung rasa bersalah sekarang. Melihat darah itu, sepertinya ia tak ingin darah itu keluar secara terus-terusan dari tangan Ara.
"Makan, gue laper!" rengek Ara, sambil mengusap air matanya yang keluar.
Aksen menepuk jidat. Adakah yang tidak lebih penting selain makan? Tentu saja dengan tangan Ara yang bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja saat ini.
______
"Jadi keadaannya bagaimana Dok?" Aksen membuka suara, setelah melihat tangan Ara yang sudah ditutupi oleh perban.
"Jangan dibawa beraktivitas berlebih. Jahitannya bisa saja terbuka lebar, ini termasuk luka parah." jawab sang dokter.
Aksen menatap Ara sedikit menyindir. Pasalnya, Ara itu gadis ajaib menurutnya. Bisa saja kan ketika keduanya terpisah, Ara melakukan aktivitas yang tidak-tidak.
Ara menghembuskan napas pelan. "Iya Dok. Saya pasti menuruti ucapan anda, jika tidak ada halangan yang mendesak."
Aksen tentu saja melototkan matanya tak percaya, ketika Ara dengan tidak sopannya pergi begitu saja dan meninggalkan Aksen yang masih duduk di depan Dokter. Aksen sedikit menggurutu, sambil mengelus dadanya untuk bersabar.
"Maafkan sikap dia ya Dok." ucap Aksen, kemudian turut pergi meninggalkan Dokter yang masih sedikit menganga tak percaya.
'Benar-benar pasangan ajaib mereka.' batin sang Dokter itu, kemudian mengambil buku catatan hariannya dari laci meja kerjanya.
Aksen sendiri tak melihat keberadaan Ara dimana-mana. Namun ketika ia menuju parkiran mobilnya, ia sedikit lega karena Ara sudah duduk di depan kap mobil.
"Ayo masuk? Atau mau gue bukain pintu, biar kayak Putri-putri kerajaan." Setelah membuka pintu mobil untuk Ara, Aksen langsung berputar di sisi kanan untuk masuk ke dalam mobil juga. Menunggu Ara yang tak kunjung masuk, sepertinya membuat Aksen sedikit kesal.
Tinn... Tinn...
Ara mengusap-usap wajahnya kasar, dengan kaki yang sedikit dihentak-hentakan. Ia mulai masuk kedalam mobil samping kemudi, dan menutup pintu mobilnya rapat-rapat.
Aksen hanya tersenyum tipis. Lucu saja dengan tingkah Ara yang cemberut seperti ini.
"Mau langsung pulang, atau kemana dulu?" Aksen langsung fokus dengan kemudi, dengan arah pandang mengarah ke depan.
Ara berdesis pelan. Ia menatap ke arah Aksen begitu kesal. "Dasar cowok nggak pernah peka!"
Aksen kaget. Ia langsung menatap kearah Ara, kemudian fokus kembali dengan kemudinya. Ia sedikit menggaruk-garukkan kepala bingung, pasalnya Ara menyindirnya dengan begitu keras. Memang apa salahnya pertanyaan dari dirinya tadi?
"Terus mau kemana?" tanya Aksen yang tak mau tersindir lagi.
Hampir saja Ara akan mengeluarkan air matanya, namun tak jadi karena Aksen yang tertawa lepas. Tentu Ara terpana, baru pertama kali ia melihat sikap Aksen seperti itu.
"Mau makan kan? Mau makan di mana?"tanya Aksen sembari mengacak-acak rambut Ara.
"Aishhh..." Ara merapikan rambutnya yang berantakan. "Disitu aja tuh, lagi ramai tempatnya. Kayaknya enak." tunjuk Ara yang melihat beberapa orang tengah mengantri.
Aksen mengernyit. "Yakin di situ? Nggak mau ditempat lain? Di cafe, atau restoran gitu?"
Ara mendengus. "Kelamaan, gue udah laper."
Aksen tersenyum. Melihat Ara yang seperti ini, rasanya ia menginginkan gadis itu agar selalu asa didekatnya. Tapi? Aksen menggeleng-geleng cepat, tak mungkin ia menyukai gadis seperti Ara yang notabennya masih berstatus anak SMA itu.
*****
1163 Kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Dessy Slankysjathy
emang ajaib ara
2020-10-17
7
LILY🌚🤣
next,aku suka
2020-09-22
3
nrasyaaaa
Alooo, mampir dungs cerita aku masih baru2 ni hehew🤗
2020-09-09
2