Seorang pemuda yang selalu tampak berwibawa itu, nyatanya tak akan sama bila ia tengah sendiri. Kadang tatapannya terlihat kosong, diam tak berkutik, mengernyitkan dahi tanpa ekspresi, terkadang pula ia menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa berkutik lagi. Satu hal yang terus melekat dalam hidupnya, dingin.
Rambut acak-acakannya dibiarkan hingga menyentuh dahi. Umurnya yang masih tergolong muda dan masih tergolong mahasiswa tingkat akhir itu, nyatanya sudah bisa menjadi seorang pebisnis sukses. Bahkan diumurnya yang sekarang, ia sudah bisa membangun perusahaannya sendiri meskipun masih dengan sedikit bantuan keluarganya.
Ia tak banyak bicara, bahkan jarang sekali melontarkan senyum. Sekalinya senyum, banyak orang yang tak berkutik. Mungkin karena terlalu terkesima dengan kharismanya dan ketampanannya.
"Tuan Aksenio, kau sudah berkerja terlalu keras. Bahkan malam pun sudah semakin larut saat ini. Bisakah kau beristirahat terlebih dahulu, kita bisa pergi untuk makan malam bersama. Sepertinya itu sangat menyenangkan."
Seseorang yang baru saja terpanggil namanya itu, hanya melirik sekilas saja. Ia langsung memfokuskan kembali ke layar laptop, sesekali menatap waktu yang terpampang disudut layar. Sifatnya yang selalu tidak peduli dari dulu itu, hingga sekarang pun masih berlaku sedemikian rupanya.
"Tuan, kau tidak mau menerima tawaranku?"
Seseorang yang dipanggil Aksen itu langsung melirik tajam. Ia memberhentikan aktivitasnya sebentar, hanya untuk meladeni seseorang yang tidak lain adalah bawahannya itu. Andai jika bukan karena Papahnya yang memilihnya secara langsung untuk menjadi sekretarisnya, ia tidak akan sudi.
"Apa hubungannya dengan saya?" sarkas Aksen sambil tersenyum sinis.
Benar, Aksen menantang. Ia menyandarkan tubuhnya dikursi kuasanya. Kemudian mengetuk-ketukkan jari. Lagi-lagi, waktunya harus terbuang secara sia-sia untuk perempuan tak tahu malu itu. Ia pastikan akan memecatnya, setelah memberikan peringatan terakhir namun tidak digubris.
"Bukankah aku terlihat begitu cantik. Aku tahu kau akan menyukainya, apalagi banyak pria yang mengejarku."
Terlalu percaya diri sekali. Aksen lantas menopangkan dagu, dengan tatapan yang masih serupa seperti sebelumnya. Memang tak pernah ada persahabatan sekalipun dalam matanya, semuanya sudah beku.
Bawahannya yang tak lain adalah sekretarisnya sendiri, entah sampai kapan akan bosan dan menggodanya. Umurnya pun terlampau jauh darinya, lalu untuk apa wanita tua itu selalu datang kepadanya. Padahal ia sendiri masih anak muda, belum pernah sekalipun merasakan jatuh cinta. Lagipula, dia masih bisa mendapatkan wanita yang berada dibawah umurnya. Yang ada jika ia bersamanya, ia akan ditertawakan oleh orang lain.
Satu hal yang Aksen rasa sekarang, jengah. Ia sudah sangat bosan dengan wanita yang selalu berpenampilan seksi tanpa tahu malu. Bibirnya pun berwarna merah padam, yang akan membuat siapa saja tergoda dengan kemolekannya itu. Tapi bukan Aksen jika ia tergoda. Karena Aksen, sama sekali belum pernah tertarik terhadap seorang wanita.
Dengan sengaja, wanita itu mulai mendekati Aksen, sesekali mengedipkan mata. Ia merapikan jas yang dikenakan Aksen, berharap Aksen menanggapinya. Namun nihil, Aksen langsung menepis tangannya dengan keras.
"Sekali anda lancang sama saya, anda akan saya pecat!" kalimat terpanjang yang pernah wanita itu dengar. Bukannya mengalami kemajuan, apa yang ia lakukan tadi berpengaruh sekali dengan pekerjaannya.
Aksen berdiri setelah wanita itu memundurkan tubuhnya. Ia mematikan laptop, kemudian pergi begitu saja dari ruangannya. Pikirannya sudah kacau, karena wanita satu itu. Awas saja, Aksen pasti bertindak cepat untuk memecatnya. Masalah Papahnya, masih bisa belakangan.
Aksen mengambil tisu dari dalam saku, kemudian membersihkan bakteri yang menempel pada jasnya akibat wanita itu. Ia tak ingin ternoda oleh apapun, sebisanya ia akan menjaga dirinya agar tetap bersih.
Aksen pergi menuju parkiran perusahaan. Sudah tampak sepi, karena tersisa beberapa orang saja yang ingin tetap tinggal. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Biarlah, ia tak pernah memaksa mereka untuk lembur. Sebisa mungkin ia memperkerjakan mereka sesuai aturan hukum yang berlaku.
Sembari menghidupkan lagu, berharap rasa sunyi didalam mobilnya bisa hilang. Ia menatap ke sekeliling, terlihat sekali jalanan sudah tak begitu ramai. Mungkin hanya tinggal beberapa kendaraan saja yang masih berlalu lalang di sana. Termasuk dirinya, tapi bukan berarti ia dapat melajukan mobilnya semaunya.
Cittt.. Dorrr..
Aksen refleks mengerem mobilnya ketika salah satu ban mobilnya meledak. Tak mungkin ia membahayakan dirinya sendiri, hanya karena kendaraan yang tak ada harganya dibanding dengan nyawanya sendiri. Ia mulai turun, lalu mulai mengecek ban mobilnya.
Kempes. Bahkan tak mungkin bagi Aksen untuk mengendarainya lebih jauh lagi. Tatapan matanya mulai meneliti setiap inci tempat-tempat yang berada di sekitar jalanan itu. Tapi tak ada sama sekali bengkel yang masih buka di sana. Ia mendesah frustasi, kenapa ia harus terjebak di saat-saat seperti ini.
Aksen menendang ban mobilnya, lalu mengambil ponsel dalam saku. Ia sedikit berdoa, agar ada montir yang mau membantunya pada jam-jam seperti ini. Tapi meskipun begitu ia sama sekali tak ingin memaksa, karena sudah menjadi kodrat manusia bahwa malam-malam seperti ini digunakan untuk tidur.
Tak ada yang menjawab. Nyatanya Aksen bereaksi berlebih, dan langsung saja membanting ponselnya kejalanan aspal yang dipijaknya. Mungkin karena efek wanita tak tahu malu itu, pikirannya jadi bertambah kacau. Sembari menggosok-gosokan wajahnya, berharap ia menemukan jalan keluar.
"Mobilnya kenapa Om?" tanya seseorang yang suaranya nampak familiar ditelinganya.
Ia menoleh kearah orang itu, kemudian menggeram kuat. Gadis SMA yang menjadi tetangga depan rumahnya, yang peduli dan menghampirinya. Tak adakah orang lain yang peduli lagi selain dia?
"Ohh, bannya kempes. Ara bisa bantu kok Om!" bahkan Aksen sama sekali tak membuka suara untuk menjawab pertanya bocah itu.
Aksen langsung mengangkat wajahnya, kemudian tertawa renyah. Dia saja tak tahu cara memasang ban yang benar. Lalu ini? Seorang cewek yang notabennya adalah makhluk yang lebih lemah darinya. Bisa apa gadis itu selain mewek!
"Om bawa ban cadangan?" tanya Ara yang sudah melepas ban kempes itu dari mobilnya. Tentu saja Aksen langsung memekik kaget, dari mana gadis itu memiliki banyak peralatan bengkel? Apakah tas sekolahnya telah bereinkarnasi menjadi kantong ajaib doraemon.
"Lo nggak niat ngrusak mobil gue kan?" hanya itu yang keluar dari mulut Aksen karena masih tidak percaya.
Ara memiringkan senyumnya. Kenapa wajah baik-baiknya ini selalu diragukan? Dia bahkan sudah ditakdirkan menjadi anak baik dari lahir.
"Om nggak percaya, mau Ara pasangin lagi ban kempes ini ketempat semula?"
Aksen menyerahkan kunci mobilnya kepada Ara. Sedikit berdehem, bahwa ia sedikit gengsi dibantu oleh seorang gadis yang dianggapnya lebih lemah darinya.
"Di bagasi kan Om, Ara izin ngambil ban doang kok. Om tinggal tunggu beres aja."
Aksen dengan malas-malasan mengangguk. Sebenarnya ia sedikit tak yakin dengan tenaga yang Ara miliki, namun setelahnya ia menganga lebar. Bisa-bisanya gadis bertubuh kecil itu dapat menurunkan ban mobil tanpa harus membantingnya. Sejenak Aksen merasa kagum kembali, dengan cara kerja Ara yang layaknya montir profesional.
Aksen kagum. Dari seorang gadis yang dari awal terlihat imut kemudian sinting dimatanya, entah mengapa telah berubah menjadi apik dimatanya. Namun Aksen langsung tertegun, ketika seorang gadis masih diperbolehkan berkeliaran larut malam seperti ini.
Aksen kembali mengernyitkan dahi tatkala melihat bekas luka dari lengan gadis itu. Bukan hanya itu, wajahnya terlihat memar kebiru-biruan seperti habis berkelahi. LAGI. Seragamnya pun tampak kotor, seperti baru saja bergelut dengan tanah. Dan..
"Selesai Om, Ara pamit dulu ya!"
Aksen terlonjak kaget, karena terlalu lama beradu dengan pikirannya. Lagi-lagi ia terperangah, dengan Ara yang berkeahlian luar biasa dan lebih darinya. Ia menggelengkan kepalanya, lalu mencubit pipinya berharap hanya mimpi.
Tidak. Ia tidak bermimpi sekarang! Rasanya begitu sakit, ketika tangannya berhasil menyerikan pipinya yang sedikit berdenyut. Ara tertawa, dan itu membuat dirinya tersadar dari kebedohannya didepan gadis berperawakan SMA itu.
"Jangan halusinasi mulu Om. Jatuhnya mahal, kalau udah sampai tahap mengobati."
Ara memakai tasnya, dan berjalan santai seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya. Ia tak begitu takut dengan jalanan yang menyeramkan bagi banyak kaum hawa ini. Baginya jalanan sudah menjadi temannya, bahkan sedari ia kecil dulu. Iya, dimana ia merasakan bagaimana dinginnya udara malam untuk pembelajaran dirinya.
Tinn... Tinn...
Ara langsung menoleh, ketika mobil yang baru saja ditolong olehnya itu berhenti dan menampilkan sang pemilik yang menurunkan kaca jendela.
"Nggak bareng aja. Masuk! Nggak baik, buat gadis malem-malem berkeliaran dijalanan kayak gini." ucap Aksen dengan nada sedikit memerintah.
Ara menggeleng pelan, bersiap untuk menolak ucapan Aksen.
"Nggak deh Om. Ara udah biasa kok pulang jam segini."
"Masuk, atau mau saya culik!" perintah Aksen. Ia begitu sukar untuk menerima nada penolakan.
Ara lagi-lagi menggeleng, namun kemudian berlari meninggalkan Aksen yang langsung terpaku setelah mengeluarkan suaranya.
"Terimakasih deh Om, tapi Ara emang dari awal niat buat jalan kaki." Ara sendiri langsung berlari dan berbelok kesalah satu gang kecil entah kemana.
Sedangkan Aksen hanya menggelengkan kepalanya. 'Gue lagi ditolak sama bocah nih?'
*****
1377 Kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Nur Sipa
kocak ceritanya keren..
2022-01-10
2
Bunga_Tidurku
eeaakkkkk
2021-08-09
1
Lanjar Gistary
Tunggu, sepertinya buat mengganti ban mobil perlu dongkrak kan, masa iya Ara bawa dongkrak di tas nya sedangkan di bagasi mobil dia cuma ngambil ban serep???
Agak aneh aja sih menurutku
2021-08-02
14