Rasanya canggung sekali ketika Ara berada pada satu mobil yang sama, dimana di dalamnya itu ia tidak saling mengenal sedari awal. Lalu ditambah lagi dengan salah satu aksi yang belum lama terjadi, di mana pemuda itu terang-terangan mengatakan bahwa dia adalah kekasihnya.
Pandangan mereka terkadang bertemu, kemudian saling memutus kontak mata mereka. Bisa dikatakan bahwa Ara seperti anak ayam yang malu-malu sekarang, tak tahu harus melakukan apa untuk memberhentikan tingkahnya itu.
Bisa saja Ara menolak tumpangan mobil Aksen sebelumnya, kemudian berjalan kaki dengan penuh santai seperti biasa. Rasanya Ara tak begitu tahan dengan kondisi seperti ini. Apa lagi, Ara duduk disamping kursi kemudi. Sedangkan Galaksi, tengah tertidur pulas di kursi belakang.
Ara jadi teringat, ketika Aksen berkata lembut kepadanya tadi. Rasanya begitu asing, dan tenang dalam jiwanya. Rasa apa ini? Sampai detik ini Ara pun belum pernah merasakan rasa seperti ini.
Baik, Ara sudah kehilangan jiwa brandalnya dalam sekejap. Ia tak mungkin berkata lembut, di saat Aksen dengan gamblang mengatakan bahwa ini hanyalah sandiwara. Ada rasa tak rela, namun pasrah dalam keadaan seperti itu. Ibaratnya saja Ara sudah diterbangkan sampai langit ke tujuh, lalu dijatuhkah secara paksa tanpa pengaman.
"Om, bisa nggak berhenti di sini?" Ara mengamati sebuah tempat yang selalu dikunjunginya setiap minggu. Bukan setiap minggu, mungkin hampir setiap hari Ara berada di tempat itu.
Aksen yang mendengar Ara, langsung saja mendongak. Kemudian menatap sebuah tempat yang bertuliskan dengan jelas bahwa itu adalah tempat makan.
"Lo lapar?" tanya Aksen kemudian memberhentikan kemudinya dan menepi kepinggir.
"Enggak. Om pulang saja dulu, kasihan Galaksi yang tidurnya kurang nyaman dibelakang. Pasti tubuhnya pegal-pegal pas bangun tidur nanti." Ara bersikeras untuk membuat Aksen pulang lebih dulu. Tak mungkin Ara melarang dia untuk ikut pergi bersamanya, toh ini masih tempat umum.
Dengan malas-malasan akhirnya Aksen mengangguk.
"Hati-hati." ucap Aksen pada akhirnya.
Ara mengangguk, kemudian membuka mobil sport Aksen yang terbilang baru sehari berada di rumah. Akan tetapi, belum saja ia turun dari mobil. Tangan Aksen mencekal pergelangan tangan kanannya.
"Nanti gue jemput di sini, setelah gue antar Galaksi pulang kerumah." Aksen memperingati Ara untuk tidak pergi ke mana-mana.
Eitsss, sejak kapan hidup Ara diatur-atur seperti itu? Mati-matian Ara menggeleng tegas penuturan dari Aksen.
"Ara di sini enggak lama. Paling cuma beberapa menit, setelah itu Ara pasti pulang ke rumah kok." tolak Ara.
"Ya udah, gue tunggu sampai urusan lo kelar di sini."
Ara mengerang. Aksen si keras kepala, nyatanya lebih keras kepala dibanding dirinya. Ia tersenyum kecut, kemudian pergi menuju tempat itu sekedar untuk berkunjung.
Sedangkan Aksen? Dengan setia menunggui Ara yang sudah masuk ke tempat itu. Rasanya tak begitu tega, jika Ara diharuskan untuk pulang sendiri. Ada sedikit hati yang mengganjal, juga ia tak terima jika Ara sampai pulang larut malam lagi. Sebenarnya dia kenapa?
Mati-matian Aksen untuk tidak tersenyum, meskipun sekarang jatuhnya tertawa. Ara terjatuh tersandung batu, kemudian memaki batu itu sambil menginjak-injakannya dengan penuh bertubi-tubi. Untung saja makanan yang dibawa Ara tak sampai jatuh ketanah. Jika tidak, Ara akan rugi karena tak sempat memakannya.
"Dasar ceroboh." gumam Aksen sesekali menggeleng pelan dengan tingkah Ara yang masih setia memaki sebuah batu yang membuatnya hampir terjatuh itu.
Sebisa mungkin Aksen menetralkan wajahnya seperti semula, ketika menatap tubuh Ara yang berjalan arahnya. Tak mungkin ia senyum-senyum sendiri, disaat ia sudah bereinkarnasi menjadi orang kaku sejagat raya.
"Maaf Ara sedikit lama." hanya itu yang keluar dari mulutnya setelah duduk disamping Aksen.
Aksen mengangguk. Sekeras hati ia menahan mulutnya untuk membuncahkan sebuah tawa. Terlebih lagi bayangan Ara yang lucu tadi telah memenuhi pikirannya. Seakan-akan sekarang tujuannya hanya satu, Kinara.
Uppsss... Aksen menggeleng cepat. Tak mungkin ia menyukai lawan jenisnya dalam waktu singkat, apalagi untuk seorang gadis yang berada di sampingnya. Ia menggeleng, rasanya tak mungkin ia menyukai seorang gadis yang baru beberapa hari ini dikenalnya.
"Om mau?" tanya Ara ketika membuka sebuah makanan yang baru saia dibelinya. Sebuah bubur ayam seporsi, namun isinya lebih banyak dari yang pernah Aksen temukan.
Sejenak Aksen tertegun. Baru kali ini, Aksen merasa tak terima dengan julukannya yang sedikit tua. Skripsi pertamanya saja masih belum ada secercah harapan, apakah ia sudah terlalu tua?
"Umur lo berapa?" tanya Aksen sambil fokus mengemudi.
"Hampir mendekati angka 18. Kenapa?"
Aksen menghembuskan napas pelan. "Bisa nggak, lo jangan panggi gue Om. Usia kita hanya selisih 4 tahun kok."
Ara menganga, dia pikir seseorang berada dihadapannya ini memang terlihat muda dalam penampilannya. Tetapi mengingat bahwa Aksen selalu mengenakan jas kerja, entah apa pikiran yang timbul, sehingga Ara bisa memanggilnya sebagai Om tampan.
Ara cengengesan. "Oke, gue pikir lo udah tua, hanya wajahnya aja yang awet muda. Soalnya penampilan lo formal terus."
Aksen mengutuki Ara di dalam hati. Dari awal Ara memang selalu membuatnya kesal, bahkan sampai detik ini. Mengapa ia sedikit tak terima jika ia dianggap tua oleh gadis dihadapannya? Penampilan formalnya itu memang semata-mata hanya untuk karirnya yang berkembang.
"Gue tanya lagi? Lo mau enggak?" tanya Ara yang sudah melahap makanannya dengan santai.
"Nggak." tolak Aksen cepat.
"Yakin lo nggak mau?" Ara menyodorkan sesendok bubur ayam di depan mulut Aksen. "Buka mulut dong?"
Aksen bersikeras untuk menolak. Namun Ara yang memang keras kepala, sehingga mau tak mau Aksen membukanya.
"Enak kan?" tanya Ara sambil menaik turunkan alisnya.
Aksen terdiam. Ia masih asyik mengunyah makanan yang masih berada dimulutnya. Begitu asing rasanya, jarang-jarang sekali Aksen menemukan bubur seenak ini.
"Itu langganan gue. Jadi gue dapet porsi tambahan, kalau beli sama dia."
Aksen sekarang paham dengan porsi berlebih yang Ara dapatkan. Ternyata itu berasal dari Ara yang berlangganan di sana. Sepertinya Aksen akan ikut berlangganan makan di sana.
"Buka mulut lagi dong. Gue nggak sanggup makan semuanya." pinta Ara, sembari mengeluarkan dua botol air mineral dari dalam plastik.
Sedangkan Aksen hanya mengangguk pelan. Lagipula ia belum makan semenjak dirinya berada dikantor. Dan akhirnya keduanya saling suap-menyuapi, diperjalanan yang begitu panjang ke rumah.
Mereka tak sadar saja jika selama aksi itu, sendok yang mereka pakai adalah sendok yang sama. Apa yang terjadi jika mereka tersadar dari kebodohan mereka sendiri?
So sweet... kata
*****
1001 kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Nab🦄
huahaha... awal yang baik🤣
2022-01-09
0
kayla
tanpa di sadari ye pas da sadar syok tuh jantugan🤣
2021-10-10
1
Iri Bilang Boss
so swett, psti gk nydar tuh mreka klo suap²an 1 sendok brdua 😃😃
2021-09-27
1