Jika sebelumnya Ara nampak bersemangat untuk ke sekolah karena niat buruknya, kali ini ia menatap sekolah barunya dengan wajah yang sedikit lesu. Meskipun masih berada di dalam mobil, Ara rasanya enggan untuk masuk ke dalam sana.
"Cepetan turun, gue udah telat nih!" Reval yang barada disampingnya, hanya bisa manaikkan emosi. Padahal ia dikenal dengan cowok yang tidak pernah peduli, tapi kali ini ia peduli dengan kedisiplinannya.
"Sabar, gue juga mau turun kok!" seru Ara menyahuti.
"Ya udah sih, cepetan!" protes Reval lagi.
Dengan begitu kesal, Ara langsung turun dari mobil yang dikendarai sang sopir pribadi keluarganya itu. Rasanya ia tak mau lagi satu mobil dengan adiknya. Dengan langkah yang sedikit dihentak-hentakkan, Ara mulai berjalan masuk ke dalamnya.
"Hai..." sapa seseorang, ketika Ara baru saja berada pada satu langkah di depan gerbang.
Ara heran, dan menoleh kearah sumber suara. Nampak ada seorang gadis yang tersenyum polos tanpa ada kejelasan sama sekali.
"Lo nyapa gue?" tanya Ara yang masih sedikit tak percaya.
Gadis itu mengangguk. "Iya, aku nyapa kamu."
Ara hanya mengeratkan genggaman tangannya pada tasnya, lalu sedikit mengedikkan bahu. Ia tak perlu ramah kepada orang yang baru saja dikenalnya. Karena dari awalpun, Ara tak pernah menyakinkan dirinya untuk mengakrabkan diri kepada orang lain.
Gadis yang baru saja ditinggal oleh Ara itu, langsung mengerucutkan bibirnya. Ia baru saja diacuhkan oleh orang yang selama berjam-jam ini ditunggu olehnya, untung saja dia gadis yang penyabar. Dengan langkah cepat, ia menyusul Ara yang sudah membelokkan diri kearah koridor sekolah.
"Kinara, tunggu!" pekik gadis itu dengan sekuat tenaga berlari.
Ara yang merasa namanya dipanggil, langsung memberhentikan langkahnya. Ia menatap gadis itu, dengan sedikit bertanya-tanya.
"Lo kenal gue?" tanya Ara yang sedikit bingung.
Gadis itu kembali mengangguk. "Aku Nadia, perempuan cantik yang kemarin kamu tolong dilapangan." jawab gadis yang mengakui dirinya sebagai Nadia.
Ara hanya memamerkan deretan giginya setengah jijik. Bukan karena Nadia yang merasa percaya diri didepan dirinya, tetapi karena semua penampilan orang dihadapannya yang serba pink.
Ara tentu saja tak suka dengan warna pink. Ia lebih suka dengan warna biru laut, atau warna dengan nuansa alam yang enak dipandang mata. Tapi Nadia? Dari bando, ikat rambut, tas, jam tangan, sepatu, kacamata, dan semua pernak-pernik yang diperbolehkan dipakai oleh pihak sekolah, semua dibalur oleh warna pink tanpa ada warna lain yang mencampurinya.
"Lo cupu! Pantes aja kena bully." hanya itu yang Ara ucapkan tanpa ekspresi untuk menggambarkan wajahnya lagi.
Nadia menghentak-hentakkan satu kakinya dengan bibir yang sedikit maju ke depan. Sambil membenarkan posisi kacamatanya yang agak melorot, Nadia langsung menatap Ara dengan penuh rasa kecewanya.
"Kamu jahat, Nadia nggak suka ih!" keluh Nadia dengan suara yang agak melengking, bahkan lebih dari sekedar anak kecil yang memperebutkan mainan.
Ara bergidik ngeri. Manusia apa yang baru saja ditolong olehnya? Rasa-rasanya ia telah salah menolong orang kemarin.
Dengan badan yang sudah berbalik, Ara bersiap untuk melanjutkan langkahnya. Tetapi Nadia langsung menghalangi Ara dengan merentangkan kedua tangannya.
"Nadia belum selesai ngomong. Nadia mau kalau Kinara itu jadi temen Nadia. Kinara pasti mau kan?" tanya Nadia.
Ara mengedipkan berkali-kali matanya, berharap ia hanyalah sedang bermimpi. Namun salah, Nadia memang benar-benar ada dan nyata di depannya. Ia memang sedang tidak berhalusinasi sekarang.
"Ogah! Mimpi lo ketinggian!" seru Ara, yang langsung menyingkirkan Nadia dari hadapannya.
Nadia yang memang memiliki tenaga yang sangat kecil dibandingkan dengan Ara, langsung terjatuh dan bertubrukan langsung dengan lantai. Hampir saja ia akan menangis, namun anak-anak dari kelas unggulan yang mengganggu dirinya kemarin langsung datang menghampiri dirinya.
"Ehhh cupu!" seru salah satu dari mereka yang kemarin baru saja terkena imbasnya.
Nadia sediikit menunduk. Badannya sudah bergetar hebat, seperti tak bisa menahan rasa takutnya.
Beberapa orang itu itu tersenyum miring. Ia berjongkok pelan, kemudian mengangkat dagu Nadia yang memang terlihat sangat cupu dimatanya.
Sedangkan Nadia sedikit meringis pelan, tatkala anak-anak kelas unggulan itu menekan kedua kuku panjangnya pada dagunya yang sudah sedikit memerah. Bahkan air matanya sudah mengalir deras, tanpa harus ditunggu lagi.
"Le... Lepas... Tolong... Lepasin aku.." tutur Nadia yang sudah sedikit sesenggukan.
"Lepas? Lo pikir gue nggak punya dendam sama lo karena insiden kemarin! Dasar cupu, sampah! Pergi jauh-jauh sana!"
Nadia memejamkan mata, berharap ada yang menolong. Tetapi nihil, tak ada yang membantu dirinya hingga sekarang ini. Anak-anak unggulan itu mulai menarik rambut Nadia dengan bringas, tentu saja Nadia mengerang hebat menahan rasa sakit.
Namun itu tak berlangsung lama, ada seseorang yang mau menolong dirinya lagi. Dan itu masih seseorang yang sama seperti kemarin, Kinara yang tak lain adalah Ara sendiri.
"Lo semua juga cupu kayak dia. Nggak ada faedahnya kalian bully dia, termasuk ngebunuh dia sekalipun. Kalian nggak akan dapet reward atas hal ini, bodoh kalian semua." ucap Ara yang memang sudah ditakdirkan memiliki mulut yang sangat pedas.
Anak unggulan yang sudah sedikit dipermalukan oleh Ara, langsung pergi begitu saja meninggalkan Nadia yang sudah menitikkan air mata.
Ara mengulurkan tangannya. "Bangun atau gue tinggal?"
Nadia menerima uluran tangan Ara, kemudian berdiri tegap. Ia sungguh tak tahu lagi dengan apa ia membalas jasa Ara saat ini.
"Te.. Terima.. Kasih.." ucap Nadia yang masih sedikit sesenggukan.
"Lo lemah. Gitu aja langsung nangis!"
Nadia tak mengindahkan itu. Ara yang sudah berlalu dari hadapannya, membuat ia menghembuskan napas pelan. Ia tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Ia tidak lebih dari sekedar penakut, ia tak pernah berani melawan orang lain yang menindasnya.
Tetttt...
Bel yang memang berbunyi nyaring, langsung membuat Nadia masuk ke kelasnya, 12-IPA 3. Ya meskipun ia bodoh dari seluruh mata pelajaran, ia masih menempati sebuah kelas yang memang masih terisi dengan anak-anak pintar. Tentu saja karena kuasa Papahnya. Jika tidak, mana mungkin Nadia bisa menempati kelas ini.
"Selamat pagi anak-anak. Sebelum saya memulai materi, dan menguji pengetahuan kalian. Saya ingin memperkenalkan kalian dengan murid baru." ucap seorang Guru pengajar yang baru saja memasuki kelasnya.
Nadia mengernyit heran, bahkan bukan hanya dirinya. Tetapi semua orang yang berada dikelas ini. Namun keheranan Nadia terbayar sudah, ketika ada seseorang siswi yang begitu dikenalnya masuk dengan langkah ringan.
'Cantik, tapi kayaknya tomboy.'
'Dia yang kemarin nolongin tuh cupu kan?'
'Astaga, semoga aja dia nggak pinter-pinter banget.'
"Perkenalkan nama saya Kinara Casilda Freissy, pindahan dari SMA N 10. Saya berharap, kalian bisa menjadi teman partner terbaik untuk beberapa bulan, beberapa hari, atau beberapa minggu ke depan."
Nadia mengembangkan senyumnya. Merasa bersyukur jika Ara memang ditempatkan pada kelasnya ini.
"Baik, mungkin pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal dari otak kalian itu ditampung dulu untuk istirahat nanti. Perkenalkan saya adalah Ibu Kiana. Saya mengajar Fisika di sekolah ini. Mmm, kamu boleh duduk di.." nampak guru Fisika itu mencari-cari tempat kosong.
Nadia langsung berdiri dengan begitu semangatnya. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, meminta Guru Fisikanya agar Ara itu bisa menjadi teman sebangkunya.
Ibu Kiana menatap Ara meminta kesepakatan. Dengan malas-malasan Ara langsung mengangguk.
"Baiklah, Ara duduk disamping Nadia. Dan kita lanjutkan untuk pelajaran Fisika. Apakah kalian sudah menyiapkan beberapa penemu yang akan kalian persentasikan di depan nanti?" tanya Bu Kiana yang penuh excited.
Tak ada yang mengangkat jarinya. Ara yang baru saja menghampiri meja yang berada dikelas paling sudut itu tampak mendengus kasar. Kenapa harus bertemu dengan gadis cupu itu lagi? Apa lagi harus menjadi teman sebangku.
"Gue boleh duduk dipojok nggak?" tanya Ara yang sudah berdiri tepat dihadapan Nadia.
Nadia menggeleng. "Aku nggak mau tukar tempat. Aku maunya di sini aja."
Ara menggaruk-garuk rambutnya agresif.
"Gue duduk disitu, atau gue pindah tempat duduk!" ancam Ara yang sepertinya sudah tak tahan lagi.
Malas-malasan Nadia mengangguk. "Ya udah, kamu boleh duduk kok di sini."
Ara tersenyum. Ia langsung melempar tasnya, kemudian melipatkan tangannya untuk menutupi wajah. Nadia langsung kaget, kala Ara memilih untuk memejamkan mata.
"Ara, nggak boleh tidur dikelas loh." ucap Nadia memperingati.
Ara hanya terdiam, tanpa mau untuk menjawab.
"Ara, nanti kamu dimarahin loh sama Ibu Kiana."
Lagi-lagi tak ada jawaban.
"Ara ihh!" teriak Nadia yang membuat semua orang langsung menatap Nadia dengan tatapan tertajam. Apalagi dengan Bu Kiana, yang sudah melipat kedua tangannya di depan dada.
"Nadia Stefani, berdiri dan ceritakan sedikit biografi tentang Albert Einstein!"
Nadia terdiam. Apa yang harus ia katakan, dia pun tak tahu apa-apa soal itu. Terlebih lagi ia tak pernah belajar ataupun membaca, dalam sejenak ia langsung menunduk.
"Nadia nggak tahu Bu." jawab Nadia jujur.
Brakkkk...
Guru Fisika itu nampaknya sudah sangat emosi. Dengan meletakkan bukunya diatas meja, lantas berjalan menghampiri meja Nadia dan Ara berada.
'Gawat, Ara harus bangun nih.' gerutu Nadia dalam hati.
*****
1397 Kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Nacita
s ara bar2nya kelas kakap 😂
2021-11-08
0
Midatus Solekhah
meskipun barbar tapi aslinya baek banget si ara😍
2020-10-30
7
Sept September
like
2020-09-13
1