Kinara Casilda Freissy. Seperti namanya yang mengandung banyak makna, maka orangnya sendiripun memiliki banyak makna dari orang-orang yang mengenalnya lebih dekat.
Meskipun memiliki hobi gonta-ganti sekolah, tak sedikitpun orang yang ingin berteman tulus dengannya. Sedikit pecicilan dengan banyak kejahilan yang dilakukan, mungkin banyak mengandung hiburan tersendiri bagi orang-orang yang bisa resmi menjabat sebagai teman olehnya. Disisi itu ia bisa dibilang cerdas, bisa memahami materi dalam sekali tangkap.
Hanya saja yang dipermasalahkan di sini, Ara tidak terlalu menanggapi mereka yang ingin berhubungan baik dengannya. Sebaliknya, ia menganggap keseriusan mereka sebagai barang lelucon dan menjadikan mereka sebagai objek kejahilannya sendiri. Untuk itu, banyak orang yang memusuhi dirinya karena terlalu sombong. Ara selalu memiliki kebahagian meskipun ia sendiri.
Gadis yang sering disapa Ara itu, kini telah resmi menjadi anak baru dari sekolahan swasta bernuansa megah. Tak ada kebanggaan diri ataupun tatapan memuja untuk gedung-gedung sekolah yang menjulang tinggi. Kali ini Ara menganggapnya sebagai penjara dan meratapi nasibnya yang entah akan terjadi apa di masa depan nanti.
"Come on Ara! You can do it." ucap Ara yang menyemangati dirinya sendiri. Namun nyatanya gagal, hatinya bergemuruh hebat untuk melakukan sesuatu yang jarang pernah ia lakukan.
Menghela nafas panjang, Ara mulai memasuki gerbang sekolah yang masih terbuka lebar dengan pengamanan ketat dari para satpam di mana-mana. Ara memilih untuk menghiraukan, kemudian menapakkan kakinya dilingkungan baru itu secara perlahan.
Sembari mengeratkan genggaman tas nya, ia menghitung langkah tiap langkah yang sedang dipijak olehnya. Ia terdiam tanpa mengucapkan sepatah dua patah kata saja. Namun langkahnya terhenti tatkala tatapan matanya mendapatu kerumunan yang menghalangi jalannya.
Sesekali berjinjit meskipun tetap tidak melihat apapun selain lautan manusia, namun rasanya Ara bisa melihat sesuatu yang mengganjal diotaknya. Ada sesuatu yang membuatnya ingin sekali melihat lebih dekat, meskipun ia masih bisa melintasi jalan lain yang untuk ia tempuh. Tapi ya sudahlah, lagipula ia masih tak tau arah saat ini.
Ara memilih ikut berdesak-desakkan, demi menyaksikan peristiwa apa yang sedang terlaksana. Berulang kali ia mendorong beberapa orang yang menghalangi jalannya, kemudian mendapatkan banyak cemooh dari orang itu. Namun apa pedulinya? Ingatkan Ara yang selalu bersikap semaunya sebelum ini. Lagipula Ara ingin tahu aksi apa yang sedang mereka lakukan disekolah yang seelit ini.
Ara berhasil menerobos ke depan dan mendapatkan jarak paling terdekat. Ternyata ada sebuah aksi tindas menindas yang sedang dilakukan, ditambah lagi tanpa ada satupun yang ingin melerai. Ara jadi menggigit bawah bibirnya yang bergetar. Apa yang harus ia lakukan ketika ada seseorang yang sangat membutuhkan bantuannya?
"Lo itu cuma seonggok debu di sini. Lebih cocok dihempas, kemudian dilempar kayak sampah! Kaya sih, tapi **** nggak ada otak. Sama aja nggak guna!" seru salah satu orang yang tengah melakukan aksinya dengan seember penuh berisi adonan terigu. Semua orang secara serempak tertawa bahagia.
Ara mengeratkan genggaman tasnya. Ia memang jiwa berandal, tapi dia menolak tegas adanya penindasan.
"A.. Aku nggak sengaja kok." jawabnya sesekali sesenggukan karena menangis.
Ara meniup-niup poninya. Dasar lemah, baru digituin aja udah nangis kayak ditinggal mati aja. Pantas aja dibully!
"Udah bodoh, tukang ngeles lagi. Untung aja lo anak orang kaya, kalau nggak! Gue pastiin, lo nggak bakal diterima di sekolah ini. Secara, nilai akademik lo jauh dibawah rata-rata, begonya sampai ke sumsum tulang belakang sih."
Sudah tidak dibenarkan lagi oleh Ara. Jika beberapa orang yang tengah melakukan penindasan itu, sudah bermain fisik dengan seseorang yang sedang ditindas. Tanpa rasa ragu sedikitpun, ia berjalan ringan sembari menyenggol bahu kanannya dengan keras, tentu saja membuat ringisan kesakitan. Seakan tidak peduli, Ara berjalan tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Hahaha.." gema banyak orang tertawa ketika seember adonan terigu yang tersisa itu tidak jatuh ke dalam sasarannya melainkan dirinya sendiri.
Ara sedikit tersenyum. Sedikit membantu, tak membuat citranya buruk lagi dimata Papah dan Mamahnya. Emang dasarnya dia anak baik, tapi kebaikannya tidak pernah dianggap orang lain.
"Woyyy lo?!" bentak siswi yang sepertinya penindasan yang hendak dilakukannya telah gagal. sembari memegang bahunya yang setengah sakin, ia mengeluarkan rasa murkanya.
Ara berbalik, kemudian memasang wajah polos seakan tak terjadi apa-apa.
"Kenapa?" tanya Ara sebari menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal.
"Lo tanya kenapa? Disaat lo udah ngehancurin semuanya. *****!" bentak siswi itu lagi.
Ara bersedekap dada, lalu tersenyum sinis. "Lebih ***** gue atau lo? Nggak sadar diri ya, kalau lo itu orang terbodoh yang pernah gue lihat selama gue pindah sekolah berkali-kali." serobot Ara, "Katanya mah orang kaya, tapi nindas orang masih pakai tepung terigu. Cari yang mahal dikit kek, nggak ada duit ya?"
Siswi itu sudah mengepalkan tangannya penuh emos sedari tadi, dan Ara sudah membaca gerak-geriknya.
"Lo salah nantangin orang?!" Bentak siswi itu disertai dengan pukulan yang siap menerjangnya. Namun dengan gesit, Ara menangkisnya. Ia terkekeh, kemudian memelintir lengan siswi itu yang langsung mengaduh kesakitan.
"Satu hal yang harus lo tahu, bahwa hukum karma di dunia ini masih berlaku. Apa yang lo terima dari gue, emang itulah yang lo lakuin sedari dulu. Semakin lo menebar banyak kebencian kepada orang-orang yang pernah lo sakitin, semakin banyak juga orang yang menaruh dendam terhadap diri lo." Ara dengan santainya kembali menekan bahu siswi itu, dan membuat siswi itu kembali menggelinjang hebat karena kesakitan.
Bahkan ketika siswi itu nampak akan menangis, Ara masih belum ingin melepaskan lengan siswi itu.
"Lo mungkin hebat, tapi ada orang yang lebih hebat dari lo. Dia yang lemah, akan ada saatnya dia bangkit. Siap-siap aja lo kena imbas!" Ara dengan tenaga yang masih tersisa itu, langsung menghempaskan lengan siswi itu begitu saja. Ia menatap seorang siswi yang telah menjadi korban penindasan tadi.
"Lo mau di sini atau mau ngikut?" tanya Ara sembari memperhatikan siswi yang nampak gemetar hebat dengan tangisnya yang mulai reda.
"I... I... I...Ikut..." jawab siswi itu terbata-bata.
Ara menghembuskan napas kesal. Apakah ia menakutkan layaknya hantu? Ara menatap kakinya yang masih memijak tanah, kemudian tersenyum lega.
"Bisa berdiri kan, gue pikir lo nggak selemah bayi yang masih pakai popok."
Siswi itu mengangguk, namun masih urung untuk berdiri. Sedikit melirik jam tangannya, Ara sudah telat untuk menemui kepala sekolahnya. Ditambah dengan letak ruangannya yang tidak tahu.
"Lo bisa berdiri kan?" tanya Ara untuk yang kesekian kali, dan yang ia dapat hanyalah sebuah anggukan kecil saja.
Satu menit, dua menit, lima menit, Ara masih tidak bergeming ditempat lantaran menunggu siswi itu berdiri. Ia mengusap-usap wajahnya dengan kasar, kemudian menatap siswi itu dengan tatapan kesal.
"Lo lelet kayak siput. Bikin gue enek aja!" kesal Ara yang sudah tak tahan lagi.
Ara langsung pergi meninggalkan siswi yang masih mematung. Dengan sedikit bersenandung nada, Ara menghentak-hentakkan jarinya dengan earphone yang baru saja terpasang ditelinganya. Sambil menengok kesana kemari, Ara tak henti-hentinya tersenyum ketika harus menatap bangunan yang nampak asri di depan mata. Sungguh pemandangan yang membuat siapa saja merasa tenang. Tidak bohong jika ia merasa nyaman ditempat baru seperti ini.
Tet... Tet... Tet...
Bel masuk baru saja dibunyikan, namun Ara masih belum menemukan ruang kepala sekolah. Ia mendengus, padahal sudah setengah jam yang lalu Ara berkeliling. Namun tak kunjung mendapatkan.
"Bagi siapa saja yang ber name tag Kinara Casilda Freissy, diharapkan untuk menemui Guru di ruang BK atas kasus yang baru saja terjadi. Sekian dan terimakasih." sebuah pengumuman muncul dari banyak speaker yang terpasang diseluruh penjuru sekolah.
Ara menganga lebar, kemudian menatap kearah pakaian yang dikenakan olehnya. Hampir semua kelengkapan seragam terpasang rapi di sana, termasuk namanya yang berada disisi kanan itu. Ara menepuk jidat, sejak kapan ia memasang name tag di seragamnya?
Mamahnya ternyata tidak segan-segan memasukkan dirinya kesekolah ini. Bahkan dengan begitu niatnya, semua atribut sekolah sudah terpampang dengan jelasnya. Padahal hampir beberapa kali ia berpindah-pindah sekolah, atribut seragamnya tak pernah terpangsang dengan lengkap.
Kali pertamanya, Ara terjerat kasus dimana ia baru saja menjadi anak baru disekolah. Dan untuk kali pertamanya juga, Mamahnya telah berniat mengubah dirinya menjadi anak baik-baik seperti yang ditetapkan.
Saat itu juga Ara mengeluh. Kenapa dirinya harus dituntut untuk menjadi anak baik-baik, disaat ia telah merasa cocok dengan kehidupan sebelumnya. Rasanya tak cukup adil untuk kehidupan yang dulu pernah ia jalani.
"Satu kali mendapatkan sanksi, untuk pertama kali gue dateng kesekolah. Great! Sepertinya ini ide yang nggak terlalu buruk, untuk meliburkan diri sejenak dari sekolah. Gue harap semoga gur kena skorsing." doa yang tidak terlalu buruk bagi Ara. Rasanya ia tidak sabar jika diliburkan untuk sesaat. Begitulah pikirnya, tapi tidak untuk yang lain.
*****
1375 Kata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
zkdlinmy
aku mampiir.. ceritanya seru jg
2021-08-21
0
anotherbyl
Next
2021-04-07
0
VANESHA ANDRIANI
apa om ganteng salah satu gurunya ya
2021-02-23
0